Apakah Saham Emiten Big Caps Masih Menarik?

Date:

[Waktu baca: 6 menit]

Pasar modal sepanjang kuartal pertama tahun ini dicirikan oleh kinerja yang sangat volatil. IHSG bahkan sempat ditutup di zona merah secara year to date (ytd) pada awal pekan ini, Senin (5 April 2021).

Meskipun demikian, IHSG akhirnya bangkit lagi dan hingga sesi pertama perdagangan Jumat (9 April 2021) sudah kembali meningkat 1,85% ytd.

Volatilitas IHSG ini terjadi seiring dengan volatilitas pada saham-saham berkapitalisasi pasar besar atau big caps, sebab dengan bobotnya yang besar saham-saham ini menjadi penggerak utama IHSG. Saham-saham ini juga umumnya menjadi incaran investor asing dan kerap dipersepsikan sebagai blue chip.

Sepanjang tahun ini, kinerja pasar modal sangat tidak stabil. IHSG sempat meningkat cukup tinggi hingga menyentuh 6.500 dan bahkan menjadi indeks jawara di Asean, tetapi toh tidak mampu bertahan lama. IHSG lalu bergerak lagi ke bawah level 6.000 dan bahkan lebih rendah dari level penutupan akhir 2020.

Perkembangan pasar saham menjadi kurang begitu meyakinkan dan sulit memastikan prospeknya. Lagi pula, fenomena goreng-menggoreng saham cukup mencolok pada awal tahun ini.

Banyak saham kecil yang harganya naik hingga menyentuh auto rejection atas (ARA) dalam beberapa hari dan selanjutnya turun dengan laju yang sama. Selain itu, saham-saham yang baru IPO juga trennya masih sama seperti beberapa tahun belakangan, yakni meningkat pesat dalam beberapa hari usai listing.

Jika ingin menghindari saham-saham yang rawan "dimainkan" pasar tersebut, tentu pilihannya adalah saham-saham yang lebih stabil. Dalam hal ini, yakni saham-saham big caps. Namun, mengingat kinerja big caps yang juga kurang meyakinkan tahun ini, apakah masih layak saham-saham ini menjadi pilihan? 

Kinerja Big Caps

Kinerja big caps cukup bervariasi sepanjang tahun ini. Jika membatasinya pada 10 emiten big caps terbesar, terlihat bahwa lima saham mencetak peningkatan, sedangkan lima lainnya penurunan. Berikut ini kinerja kesepuluh saham tersebut sepanjang tahun ini hingga sesi pertama Jumat (9 April 2021):

Sementara itu, ada beberapa saham lain yang yang dulunya menjadi penghuni setia daftar 10 saham terbesar, tetapi kini sudah terdepak. Mereka antara lain CPIN, BBNI, ICBP, UNTR, dan GGRM. Selain CPIN, kinerja mereka semua kompak memerah secara year to date:

Ada berbagai alasan yang mempengaruhi pergerakan saham masing-masing emiten. Secara umum, hal tersebut mencakup sentimen eksternal dan internal. Termasuk di antaranya yakni perkembangan ekonomi global yang ditandai optimisme pemulihan ekonomi Amerika Serikat.

Optimisme itu mendorong naiknya ekspektasi inflasi, sehingga turut mengerek naik yield US Treasury. Hal ini berdampak pada koreksi berbagai kelas aset investasi di seluruh dunia, termasuk pasar saham Indonesia, terutama dalam hubungannya dengan aksi investasi investor asing.

Di luar itu, pasar saham juga masih terus memantau perkembangan pandemi serta upaya vaksinasi di dalam negeri. Sebab, hal itu bakal sangat menentukan peluang percepatan pemulihan ekonomi nasional dan tentu saja kinerja emiten.

Sayangnya, perkembangan tersebut belum cukup meyakinkan. Kondisi ekonomi Indonesia juga secara umum masih tertekan, meskipun secara kasat mata kini tampak jelas mulai menggeliat lagi seiring aktifnya arus lalu lintas di Ibu Kota.

Kinerja paling mencolok di antara 10 besar saham big caps adalah pada EMTK dan ARTO. Kedua saham ini adalah pendatang baru di jajaran 10 besar big caps. Kedua saham ini naik gila-gilaan dan cenderung tidak sejalan dengan kondisi fundamentalnya.

Dari sisi aset, keduanya kalah jauh dibandingkan dengan saham-saham lain yang baru terdepak dari daftar 10 besar, seperti BBNI, ICBP, GGRM, CPIN, dan UNTR. Hingga akhir tahun 2020, aset EMTK hanya Rp11,94 triliun, sedangkan ARTO bahkan lebih rendah lagi yakni Rp2,18 triliun.

Bandingkan dengan aset BBNI yang mencapai Rp891,34 triliun, ICBP Rp103,59 triliun, UNTR Rp99,8 triliun, GGRM Rp78,19 triliun, dan CPIN Rp31,24 triliun.

Hanya saja, keduanya memang sedang mendapatkan banyak sentimen positif. ARTO terdorong oleh prospeknya sebagai bank digital serta afiliasinya dengan Gojek, sedangkan EMTK baru disuntik modal besar senilai Rp9,29 triliun serta kedatangan investor strategis yang dapat membuka peluang ekspansinya.

Baca juga: Prospek Besar EMTK Setelah Suntikan Modal Jumbo


Prospek Big Caps Masih Menarik?

Kinerja big caps sejauh ini memang masih terbatas. Namun, sebagai perusahaan-perusahaan dengan kinerja keuangan yang umumnya sangat kuat, tentu saja prospek bisnis emiten-emiten dalam daftar big cap ini sangat menjanjikan.

Hanya saja, sejauh mana kita dapat berharap saham-saham mereka akan bangkit lagi tahun ini?

Ada beberapa sentimen yang dapat menjadi pendorong bagi bangkitnya kinerja saham-saham big caps di masa mendatang.

Saham BBCA, misalnya, seharusnya masih berpeluang bangkit kembali sebab bank ini menjadi bank besar dengan kinerja terbaik tahun lalu di tengah tekanan pandemi. Kinerja BCA juga jauh lebih baik ketimbang bank-bank BUMN.

Selain BBCA, secara umum saham-saham perbankan besar juga masih berpeluang bangkit, karena cukup banyak insentif yang diberikan pemerintah untuk sektor ini. Bank menjadi sasaran kucuran insentif pemerintah demi mendorong ekonomi, sebab bank adalah jantungnya perekonomian.

Beberapa insentif antara lain penurunan suku bunga acuan, pelonggaran perhitungan aset tertimbang menurut risiko (ATMR) pada pembiayaan KPR, pelonggaran batasan uang muka kredit untuk rumah dan kendaraan, relaksasi restrukturisasi kredit, dan penundaan implementasi basel III.

Untuk BBRI, ada juga sentimen rencana pembentukan holding BUMN ultra mikro bersama Pegadaian dan Permodalan Nasional Madani (PNM). Selain itu, penurunan bunga kredit usaha rakyat (KUR) juga bakal mendorong penyaluran kredit BBRI.

Sementara itu, insentif untuk sektor otomotif seperti pelonggaran uang muka kredit hingga relaksasi pajak berupa potongan PPnBM bagi mobil 1500 cc dan 2500 cc menjadi sentimen positif bagi ASII. Meskipun demikian, efektivitas insentif ini masih harus diuji. Pasar masih menanti data penjualan terbaru ASII sebagai hasil penerapan insentif yang dimulai sejak Maret 2021 ini.

TLKM juga masih punya sentimen positif yang bakal mendorong kinerjanya, antara lain yakni rencana IPO anak usahanya, yakni Mitratel. UU Cipta Kerja juga menjadi sentimen positif bagi TLKM. Selain itu, kondisi pandemi masih mendorong peningkatan permintaan layanan data TLKM.

UNVR sahamnya kini sudah di level yang cukup murah jika berkaca pada historis valuasinya. Setelah terus menurun dalam 5 tahun terakhir, saham

UNVR kini justru tampak terdiskon. Lagi pula, prospek jangka panjang emiten barang konsumsi ini sangat menjanjikan.

Baca juga: Di Balik Merahnya Kinerja Saham Unilever (UNVR)

Demikian juga dengan TPIA. Rencana pembangunan pabrik barunya bakal meningkatkan kapasitasnya produksinya dua kali lipat. Sebagai pemain terbesar industri petrokimia di Indonesia, prospeknya masih sangat besar. Hingga kini pun kebutuhan petrokimia Indonesia masih harus ditopang impor, sehingga peluang TPIA jelas masih besar. 

Sementara itu, untuk emiten rokok seperti HMSP dan GGRM, tantangannya memang lebih berat, sebab bukannya mendapatkan insentif, sektor ini justru terkena disinsentif, yakni kenaikan cukai. Kondisi pandemi juga kemungkinan mendorong masyarakat untuk beralih ke gaya hidup sehat.

Bisnis rokok kemungkinan akan meningkat lagi jika daya beli masyarakat sudah sepenuhnya pulih dari dampak pandemi. Bagi konsumen setia rokok, kenaikan harga kemungkinan akan kecil pengaruhnya terhadap penurunan tingkat konsumsi mereka.

Kini, pelaku pasar masih menunggu hasil kinerja keuangan emiten-emiten big caps ini untuk periode kuartal I/2021. Jika hasilnya menggembirakan, besar kemungkinan kinerja saham mereka juga akan membaik.

Adapun, jika menilik laporan keuangan emiten-emiten big caps ini pada 2020 lalu, mayoritas kinerjanya sangat tertekan. Hanya dua emiten yang berhasil menaikkan kinerja labanya, yakni TPIA dan TLKM.

Oleh karena itu, kinerja pada awal tahun ini akan menjadi sentimen utama yang menentukan arah perkembangan lanjutan harga saham emiten-emiten ini. Kinerja kondisi penurunan dapat berbalik, tekanan harga sahamnya pun kemungkinan akan berakhir.
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Tags: