Benarkah Pulihnya Daya Beli Sudah di Depan Mata?

Date:

[Waktu baca: 5 menit]

Pada Kamis (22/4/2021) kemarin, Menteri Keuangan Sri Mulyani  menyatakan keyakinannya bahwa daya beli masyarakat berada di jalur yang tepat untuk pulih.

Sri Mulyani merujuk angka Indeks Keyakinan Konsumsi (IKK) Indonesia yang terus membaik sejak awal tahun sebagai dasar argumennya.

“Ini artinya konsumen di Indonesia memiliki keyakinan yang membaik,” paparnya di tengah sesi konferensi pers virtual. 

Seperti kata Sri Mulyani, perbaikan IKK pada awal tahun memang bukan fenomena biasa. Bila dirunut mundur, dalam 3 tahun sebelumnya IKK Indonesia selalu memulai perjalanan di awal tahun (Januari-Maret) dengan tren menurun, sebelum lazimnya mulai naik pada kuartal kedua.

Namun, bukan berarti kondisi saat ini sudah ideal. Sebaliknya, hal yang perlu digarisbawahi sekaligus diwaspadai adalah angka IKK yang—terlepas dari sinyal bagusnya—tetap  mengindikasikan bahwa situasi belum ideal.

IKK, atau dalam istilah global juga biasa disebut dengan istilah Consumer Confidence Index (CCI), secara konseptual merupakan alat ukur untuk menggambarkan perilaku konsumen tingkat rumah tangga atas berbabagi faktor ekonomi yang mempengaruhi pengambilan keputusan.

Semakin tinggi IKK, artinya semakin tinggi pula keyakinan konsumen tingkat rumah tangga untuk membelanjakan uangnya.

Di Indonesia IKK biasa dirilis Bank Indonesia (BI) secara bulanan lewat sebuah survei. Angka idealnya adalah di atas 100, dan itulah sebabnya mengapa kondisi saat ini masih belum bisa dikatakan normal.

Kendati dalam tren naik, IKK Indonesia pada bulan Maret 2021 masih mentok di angka 93,4 atau di bawah standar wajar. Bandingkan, misal, dengan IKK bulan Maret sepanjang 3 tahun sebelumnya (2018-2020) yang selalu berada di atas 115.

Indeks Keyakinan Konsumen 2018-2021

Sumber: Bank Indonesia

Tingkat keyakinan yang masih cenderung rendah itulah yang agaknya berpotensi membuat pemulihan daya beli belum akan maksimal. Setidaknya dalam waktu dekat.

Atau, bisa dikatakan, konsumsi masyarakat kemungkinan belum akan kembali ke kondisi seperti sebelum pandemi (prapandemi) dalam 1-2 bulan ke depan. Apalagi bila disandingkan dengan fakta bahwa kondisi inflasi di Indonesia masih cenderung mengecewakan.

Mengacu data Badan Pusat Statistik (BPS), pada Maret 2021 Indonesia mengalami inflasi 0,08 persen secara month to month (mtm), atau lebih rendah dari rapor Februari ketika perbaikan inflasi mtm Indonesia ada pada kisaran 0,10 persen.

Situasi tersebut terjadi karena adanya perlambatan indikator kelompok inti, atau biasa disebut inflasi inti.  Pada bulan Maret 2021 inflasi inti Indonesia masih berada pada angka minus 0,03 persen atau bisa dikatakan Indonesia mengalami deflasi di komponen inti sebesar 0,03 persen.

Padahal, inflasi inti biasanya cenderung lebih akurat untuk menggambarkan daya beli masyarakat dengan lebih menyeluruh. Sebab komponen ini sangat mengacu pada interaksi permintaan-penawaran hingga faktor eksternal seperti harga komoditas dan nilai tukar rupiah.

Tren Inflasi Indonesia

Maka, bisa disimpulkan bahwa selain karena IKK atau keyakinan rumah tangga yang belum pulih secara utuh, untuk kembali ke kondisi prapandemi pemulihan daya beli masyarakat masih akan mengalami perjalanan sedikit lebih panjang, mengacu tren inflasi Indonesia yang belum mendekati kondisi prapandemi sejak awal tahun.

Patut digarisbawahi bahwa dalam setahun terakhir, sejak pandemi Covid-19 tiba di Indonesia, pemerintah bukannya tidak berbuat sama sekali.
Mesti diakui bahwa berbagai kebijakan seperti pengucuran stimulus lewat anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) jumbo hingga realokasi anggaran belanja negara juga membuahkan hasil di beberapa aspek. Misalnya, terkait tingkat konsumsi masyarakat yang memang menunjukkan perbaikan. Khususnya untuk kebutuhan pokok seperti makanan.

Membaiknya konsumsi produk makanan oleh masyarakat tercermin dari peran kelompok kategori makanan, minuman dan tembakau yang punya kontribusi terbesar terhadap inflasi Indonesia pada Maret 2021 sebagaimana tergambar dalam tabel berikut.

Andil Kelompok Pengeluaran terhadap Inflasi Maret 2021

Selain mengilustrasikan mulai berdampaknya stimulus pemerintah untuk konsumsi kebutuhan pokok, tabel di atas sebenarnya juga memberikan gambaran terhadap pekerjaan rumah (PR) pemerintah.

PR terbesar agaknya tampak dari dua kelompok pengeluaran, yakni pertama transportasi, lalu kedua adalah perawatan pribadi dan jasa lainnya. Dua komponen ini menjadi komponen pemberat yang paling membebani indikator pemulihan daya beli jika mengacu angka-angka inflasi.

Dan, pemerintah, tentu saja juga telah menyadari hal tersebut.

Per awal Maret kemarin, pemerintah baru saja meluncurkan stimulus untuk merelaksasi Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM). Diskon PPnBM ini salah satunya dikucurkan dengan harapan penjualan mobil mengalami kenaikan pada kuartal II/2021.

Tak tanggung-tanggung, dana yang dikucurkan pemerintah untuk program tersebut mencapai nominal Rp7,9 triliun. 

Untuk sektor perawatan pribadi dan jasa lainnya, yang juga memberatkan, pemerintah juga mulai bereaksi dengan mewacanakan stimulus diskon ongkir belanja online di e-commerce. Ketentuan mengenai subsidi tersebut rencananya bakal dikucurkan sekitar pekan depan.

Dengan adanya stimulus tersebut, pemerintah juga berharap daya beli tidak akan menurun akibat adanya larangan mudik yang diberlakukan untuk mengurangi angka penyebaran kasus Coid-19. Terlebih bertepatan dengan hari raya, biasanya masyarakat cenderung ingin membelanjakan uang tunjangan hari raya (THR).

Pada akhirnya, pandangan Menteri Keuangan Sri Mulyani bahwa daya beli sudah di depan mata masih bisa diperdebatkan. Sebab keyakinan orang Indonesia untuk berbelanja—setidaknya hingga akhir Maret 2021—masih belum mencapai titik ideal bila mengacu IKK dan kondisi inflasi.

Namun, toh kepercayaan diri itu juga disertai upaya-upaya nyata. Kini hanya waktu yang bisa menjawab apakah pemerintah bisa merealisasikan pandangan optimistisnya.