Berburu Pengaruh di Kebun Sawit

Date:

“Tentu seharusnya Indonesia sudah menjadi price leader [penentu harga], bukan price taker,” kata Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto dalam salah satu webinar Kamis (19/8/2021) lalu

Airlangga sedang menyinggung ekspektasinya terhadap sektor minyak kelapa sawit alias crude palm oil (CPO). Pemerintah, kata politikus Golkar itu, siap merealisasikan langkah-langkah yang mendukung visi perusahaan perkebunan dalam negeri sebagai penentu harga sawit global.

Di satu sisi Indonesia memang telah menguasai pasokan CPO global. Menurut klaim Airlangga dalam kesempatan yang sama, saat ini pangsa pasar produk CPO Indonesia di skala global telah mencapai 58 persen.

Namun, status pemasok terbesar itu memang tidak atau belum serta merta menjamin bahwa Indonesia memiliki kekuatan absolut pula untuk menggerakkan harga di dunia. Negara-negara penghasil CPO lain, terutama negeri tetangga Malaysia, sampai kini punya pengaruh yang tidak kalah signifikan. Hal ini terutama disebabkan tingginya kebutuhan akan produk negeri Jiran di negara-negara importir CPO terbesar, termasuk bila dibandingkan di Indonesia.

Contoh paling krusial adalah kasus di India, negara dengan permintaan CPO terbesar. Data pemerintah setempat menunjukkan bahwa selama November 2020 hingga Juni 2021, Negeri Anak Benua mengimpor 2,61 juta metrik ton (MT) CPO dari Malaysia. Angka ini menempatkan Malaysia sebagai pengirim CPO tertinggi untuk India dalam setahun terakhir, mengungguli Indonesia yang dalam periode bersamaan baru mengekspor 2,21 juta MT CPO.

Menariknya, bukan berarti angan-angan pemerintah Indonesia untuk memperbesar pengaruh akan sulit diwujudkan. Sebab, dari sinyal yang terjadi dalam sebulan terakhir, mulai ada kecenderungan importir India lebih memprioritaskan produk asal Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari pengiriman CPO Indonesia ke India untuk kontrak bulan Agustus ini, yang terindikasi akan menyalip rapor Malaysia. Setidaknya demikian menurut data awal yang sempat dibocorkan S&P Global Platts. 

Bocoran data tersebut pun turut diamini oleh beberapa pelaku pasar. Marcelo Cultera, manajer penjualan institutional broker CPO asal Malaysia Phillip Futures misal, membenarkannya. Kata Cultera, adanya tanda-tanda menguatnya pengaruh Indonesia di India dipicu kebijakan pemerintah Indonesia dalam beberapa bulan terakhir.

“Dengan posisi harga saat ini, harga CPO Indonesia cenderung terdiskon 15 dolar per mt bila dibandingkan harga CPO Malaysia, sudah termasuk biaya ekspor dan pengiriman. Ini yang membuat mereka mulai lebih tertarik [dengan CPO dari Indonesia],” kata Cultera kepada S&P. 

Kebijakan yang dimaksud Cultera tidak lain adalah regulasi baru soal batas tarif pungutan CPO, yang disahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada pengujung Juni, dan berlaku per awal Juli 2021. Beleid yang diketok palu lewat Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 76/PMK.05/2021 ini mengubah batas pengenaan tarif CPO dari US$670/MT menjadi US$750/MT. 

Sederhananya, bila biasanya pungutan tarif tambahan dibebankan ketika harga CPO sudah di atas US$670 per MT, kini tarif tersebut baru akan dibebankan ketika harga CPO sudah menembus US$750 per MT.

Pungutan tarif tambahan sendiri dalam PMK diatur sebesar US$20 per MT untuk setiap kelipatan harga per U$50 per MT. Sementara, tarif batas bawah secara flat adalah US$55 per MT.

Contoh ilustrasinya: kini produsen CPO hanya dibebani tarif impor US$55 MT bila harga CPO masih berada pada angka US$720 MT. Bila mengacu aturan sebelumnya, tarif yang harus dibayarkan adalah US$75 per MT (US$55 per MT ditambah US$20 per MT).

Tarif yang lebih murah tersebut otomatis akan membuat duit yang harus dirogoh produsen lebih kecil. Hal ini berpengaruh terhadap harga jual ke negara tujuan, termasuk India yang menjadi lebih murah. Importir India pun cenderung lebih tertarik dengan produk dimaksud.

Sebenarnya, kebijakan perubahan batas tarif tidak akan cukup untuk menjaga pengaruh Indonesia dalam jangka panjang. Sebab, langkah semacam ini hanya akan tampak meringankan perusahaan ketika harga CPO sedang tinggi. Begitu harga sudah turun jauh di bawah batasan tarif, ada atau tidaknya kebijakan ini tidak akan berpengaruh terhadap harga jual ke luar negeri.

Pemerintah pun sudah melihat kemungkinan tersebut. Terbukti, pada paparan nota keuangan dan RAPBN 2022 pekan lalu, Kementerian Keuangan menurunkan target penerimaan bea keluar 72,7 persen lebih rendah dari target APBN 2021, tepatnya ke angka Rp4,91 triliun. Secara total, target penerimaan bukan pajak (PNBP) juga cuma mentok di angka Rp333,2 triliun atau lebih rendah dari proyeksi APBN 2021 yang menyentuh Rp357,21 triliun.

“Target tersebut didasarkan oleh proyeksi harga CPO pada 2022 yang diperkirakan tidak setinggi tahun 2022,” tulis Kemenkeu dalam Buku Nota Keuangan RAPBN 2022 yang dipublikasikan Rabu (18/8). 

Kendati demikian, untuk tetap mengamini ambisi menguatkan pengaruh Indonesia menggerakkan sentimen CPO global, pemerintah mengklaim telah menyiapkan sejumlah mitigasi. Salah satunya adalah hilirisasi alias menggenjot kebutuhan dalam negeri. Tujuan dari hilirisasi ini, salah satunya adalah mengimbangkan hukum permintaan dan penawaran. Harapannya, dengan permintaan dalam negeri yang tinggi, perusahaan-perusahaan sawit bisa mengalihkan alokasi ekspornya menjadi penjualan di dalam negeri. Sehingga, CPO yang dihasilkan tetap terserap dengan harga maksimal.

Proses hilirisasi ini telah dicicil sejak beberapa tahun lalu dan mulai memberikan dampak. Pada 2020 misal, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat hilirisasi yang meluas ke sektor pangan, kosmetik hingga energi (B30) telah membuat konsumsi CPO domestik tembus 17,35 juta ton atau naik 3,6 persen dari 2019.

Di tahun Kerbau Logam ini, GAPKI memproyeksi target pertumbuhan lebih tinggi lagi. Tepatnya 6,6 persen menuju angka 18,5 juta ton.

GAPKI punya harapan besar angka tersebut bisa terealisasi. Sebab, tahun ini produksi juga diprediksi akan naik. Tanpa adanya serapan kuat dalam negeri yang bisa menambal ketidakpastian ekspor akibat pandemi, perusahaan CPO bisa kelimpungan.

“Tahun ini kami optimis produksi minyak sawit 2021 akan naik signifikan karena pemeliharan kebun yang baik, cuaca yang mendukung. Dampak mandatori B30 akan membuat konsumsi biodiesel sebesar 9,2 juta kilo liter yang setara dengan 8 juta ton minyak sawit. Ada juga permintaan dari industri lainnya sebesar 2 juta ton untuk domestik dan ekspor 4,5 juta ton,” kata Ketua Umum GAPKI Joko Supriyono, dilansir dari Bisnis

Sikap masih pede juga cenderung diusung oleh perusahaan-perusahaan perkebunan sawit, tak terkecuali emiten di Bursa Efek Indonesia (BEI).

PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI) contohnya, mengklaim sudah memanfaatkan kebijakan-kebijakan pemerintah dengan optimal. Dalam menjual produk CPO mereka secara harian, AALI selalu menyesuaikan alokasi penjualan ekspor maupun dalam negeri berdasarkan tren harga.

“AALI menjual secara harian dengan harga terbaik. Artinya kalau harga ekspor lebih bagus, ya kami jualnya [untuk ekspor], demikian pula sebaliknya [jual di dalam negeri bila harga dalam negeri bagus]. Jadi, kami oportunistik saja,” kata Santosa dalam siaran pers Senin (16/8) pekan lalu.

Manuver serupa juga dilakukan emiten CPO lain seperti perusahaan milik Grup Salim PT PP London Sumatera Tbk. (LSIP) hingga PT Sampoerna Agro Tbk. (SGRO).

Berdasarkan data yang dihimpun Big Alpha, dari total 28 emiten yang memiliki bisnis utama perkebunan khususnya CPO,  terhitung hingga artikel ini rilis baru 8 emiten yang telah merilis laporan keuangan terkini.

Kedelapan emiten tersebut seluruhnya membukukan kenaikan penjualan sepanjang Januari-Juni 2021. Sedangkan dari sisi keuntungan, hanya PT Eagle High Plantations Tbk. (BWPT) yang mengalami pembengkakan kerugian. Sisa tujuh emiten lain cenderung melaporkan kenaikan laba bersih ataupun penurunan kerugian.

AALI dan LSIP pun turut masuk dalam deretan emiten CPO yang menambang cuan besar sepanjang tahun pertama 2021.

Sepanjang paruh pertama tahun ini, AALI telah membukukan laba bersih yang dapat diatribusikan kepada entitas induk Rp649,34 miliar. Besaran tersebut tumbuh 65,69 persen dari rapor Rp391,9 miliar secara year on year (yoy).

Di sisi lain, LSIP memang memiliki skala produksi dan pendapatan lebih kecil. Namun, dari tingkat pertumbuhan, rapor mereka berani diadu.

Bila mengacu angka-angka pada laporan keuangan, pertumbuhan laba LSIP sepanjang semester I/2021 yang menyentuh 444,86 persen, tepatnya dari Rp91,98 miliar menjadi Rp501,21 miliar memang sensasional.

Angka tersebut juga cenderung melebihi pertumbuhan laba AALI (65,69 persen) dan empat  kompetitor lainnya, dan sejauh ini hanya kalah dari pertumbuhan laba PT Sampoerna Agro Tbk. (SGRO, 9.000 persen lebih) dan PT Sinar Mas Agro Resources and Tech Tbk. (SMAR, 3.900 persen lebih).

“Lonsum [LSIP] meraih kinerja keuangan yang kuat terutama seiring naiknya volume penjualan dan harga jual rata-rata produk kelapa sawit, serta didukung oleh upaya-upaya pengendalian biaya dan efisiensi,” kata Presiden Direktur LSIP Benny Tjoeng lewat keterbukaan informasi Jumat (13/8) lalu. 

Perkataan Benny memang bukan sesumbar. Berdasarkan hitung-hitungan, Secara margin laba kotor, LSIP naik signifikan pada kelasnya. Dengan rapor laba bruto Rp754,95 miliar, margin laba bruto LSIP pada paruh tahun ini mencapai 34,68 persen. Angka ini naik nyaris 100 persen ketimbang margin laba bruto pada semester I/2020 yang hanya 17,63 persen.

Dalam laporan keuangannya LSIP menyebut bahwa harga jual rata-rata atau average selling price (ASP) produk CPO perseroan naik 25 persen secara yoy. ASP produk palm kernel LSIP bahkan tumbuh lebih signifikan lagi, yakni 56 persen secara yoy.

Harga CPO memang masih berpotensi tertekan sampai akhir tahun. Namun, dengan situasi tren kenaikan yang sudah cukup tinggi sejak awal tahun, adanya koreksi minor tampaknya tidak akan banyak mengganggu estimasi harga rata-rata tahun ini yang terindikasi bakal cenderung naik dibandingkan harga rata-rata tahun lalu.

Namun, bisa tidaknya situasi positif tersebut bertahan sampai bertahun-tahun mendatang masih akan bergantung pada dinamika kebijakan ekspor dan hilirisasi pemerintah


source: tradingeconomics.com