Direksi Borong Saham BBCA Saat Turun Drastis, Pertanda Bagus?

Date:

Entah apa yang ada di benak Jahja Setiaatmadja kala melihat harga saham BBCA berada jauh dari level Rp30.000 sepanjang Maret 2020.

Yang pasti, Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk. itu memutuskan untuk membeli puluhan ribu lembar saham BBCA, saham perusahaan yang dipimpinnya tersebut pada saat itu, dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga 2019.

Berdasarkan data yang disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta dipublikasikan di laman resmi Bursa Efek Indonesia (BEI), Jahja tercatat membeli saham BBCA dalam dua periode pada Maret 2020. 

Periode pertama pada 9 Maret 2020 dimana Jahja membeli 12.500 lembar di harga Rp29.825 dan 20.000 lembar di harga Rp29.800. Periode kedua pada 24 Maret 2020 Jahja membeli 20.000 lembar di harga Rp23.000.

Bukan hanya Jahja, sejumlah direksi BCA lainnya yaitu Santoso dan Lianawaty Suwono juga membeli saham BCA masing-masing sebanyak 10.000 lembar dengan harga Rp25.951 per lembar dan 20.000 lembar dengan harga Rp26.450 per lembar.

Apa yang dilakukan Jahja dan rekan-rekannya sesama direksi BCA biasa dikenal dengan nama averaging down atau strategi menambah kepemilikan saham di kala harga saham sedang mengalami penurunan. 

Strategi itu memiliki berbagai manfaat seperti memperkecil potensi kerugian dan memaksimalkan potensi keuntungan dalam investasi saham. Strategi ini biasa diterapkan oleh investor saham ketika harga saham sedang “jatuh”.

Kenapa Jahja memutuskan membeli saham BBCA pada saat itu? Tentu saja, Jahja memiliki alasan pribadi yang tidak bisa ketahui. Namun, ada kondisi yang dapat kita cermati dan pelajari dari keputusan itu.

Turun Drastis

Sepanjang Maret 2020, harga saham BBCA turun drastis. Ya, penyebabnya tidak lain adalah mewabahnya virus corona di seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia, yang menginfeksi lebih dari 1 juta orang dan menewaskan puluhan ribu orang.

Penyebaran virus itu menyebabkan krisis kesehatan dan kemanusiaan di banyak tempat di dunia ini, mulai dari New York sampai Banyumas. Sebagai akibatnya, aktivitas ekonomi terpukul karena masyarakat mengurangi aktivitasnya secara drastis di luar rumah.

Aktivitas ekonomi yang terpukul dan diprediksikan turun sepanjang 2020 itu kemudian menjadi sentimen negatif bagi bursa saham di seluruh dunia. Harga-harga saham berguguran karena investor menjual saham-sahamnya.

Situasi itu tidak terkecuali menimpa saham BBCA, salah satu saham dengan kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia tersebut. Harga saham BBCA bahkan sempat turun hingga lebih dari 30% sejak akhir 2019 pada 23 Maret 2020 ketika harganya menyentuh Rp22.000.

Sebagai pengingat, pada akhir 2019 atau di kala banyak orang tidak mengetahui akan hadirnya wabah mematikan bernama Covid-19, harga saham BBCA berada di level Rp33.000 per lembar. 

Pada beberapa hari perdagangan di Maret 2020, saham BBCA sempat turun drastis bahkan hingga menyentuh batas maksimal penurunan harga saham (auto reject bawah/ARB) yang telah diperkecil sebesar 7%.

Pada saat itu, banyak orang bertanya-tanya kapan IHSG akan berhenti turun drastis dan mencapai level terbawahnya (bottom). Tidak terkecuali saham BBCA yang terus turun. Kapan saham BBCA akan berhenti turun secara drastis lalu memantul (rebound)?

Nah, pada saat saham BBCA telah meninggalkan level Rp30.000, Jahja memutuskan untuk membeli saham di harga Rp29.000 dan Rp23.000. Keputusan itu barangkali dapat menjadi inspirasi bagi kita dalam berinvestasi saham.

Harga "Murah"

Salah satu pelajaran yang dapat kita pelajari dari keputusan investasi Jahja adalah membeli saham perusahaan bagus di harga "murah". Kita tahu bahwa BCA adalah bank yang memiliki kinerja keuangan yang stabil, reputasi yang bagus dan punya rekam jejak yang baik.

Sebagai salah satu bank terbesar di Indonesia, bahkan Asia Tenggara, BCA terus membukukan keuntungan setiap tahun. Bank milik grup Djarum ini juga rajin membagikan dividen kepada pemegang sahamnya setiap tahun.

Bank swasta ini menjadi salah satu bank raksasa yang bersaing ketat dengan bank-bank pelat merah di Indonesia. Berbagai indikator keuangan menunjukkan BCA adalah bank sehat yang terus tumbuh seiring pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Sumber: Paparan Analyst Meeting 2019

Misalnya, rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) BCA terjaga di level 1,3% pada 2019 atau jauh dari batas NPL "parah" sebesar 5% yang ditetapkan oleh Bank Indonesia. NPL itu juga turun dibandingkan dengan 1,4% pada 2018.

Penurunan harga saham BBCA barangkali dianggap tidak merefleksikan fundamental perusahaan yang bagus. Oleh karena itu, harga saham BBCA terus turun justru dianggap sebagai sebuah kesempatan yang bagus untuk menambah kepemilikan saham dengan ongkos yang tidak mahal.

Jadi Acuan?

Grafik Saham BBCA dalam Jangka Panjang (sumber: Google Finance)

Pada saat "orang dalam" (direksi atau komisaris perusahaan) melaporkan Laporan Kepemilikan atau Setiap Perubahan Kepemilikan kepada OJK dan dipublikasikan di situs BEI, investor yang membaca informasi tersebut sebenarnya memiliki dua pilihan: peduli atau tidak peduli.

Bagi investor yang tidak peduli, keputusan pembelian saham oleh direksi sebuah perusahaan barangkali dianggap sebagai sebuah hal yang biasa dan tidak memiliki makna yang signifikan dalam pembuatan keputusan investasi oleh dirinya sendiri.

Sementara itu, bagi investor yang peduli, keputusan pembelian saham oleh direksi sebuah perusahaan itu bisa menjadi sebuah acuan mengenai timing atau waktu yang tepat untuk membeli saham. Investor saham itu cenderung berpikir: "kalau orang dalem aja sekarang beli, kenapa saya nggak?"

Pemikiran itu berangkat dari asumsi bahwa direksi atau komisaris adalah pihak yang paling paham mengenai kondisi perusahaan. Segala data (termasuk rahasia perusahaan) dan informasi atau fakta material diketahui oleh mereka. 

Jadi, ketika direksi membeli saham perusahaan yang dipimpinnya sendiri bisa menjadi sebuah sinyal yang menarik yang turut dipertimbangkan oleh investor dalam membuat keputusan investasi. Investor saham mengikuti sikap optimis yang dipancarkan oleh direksi itu.

Tentu saja, strategi itu hanyalah satu dari "1001 strategi" berinvestasi di bursa saham. Waktu yang akan membuktikan apakah harga BBCA akan lebih tinggi atau tidak di masa depan dibandingkan dengan harga ketika Jahja membeli saham pada Maret 2020.
 

PS: PO e-book Q4 2019 sudah dibuka, anda bisa mendapatkannya di sini.