Harga CPO Meroket, Saham Sawit Berpotensi Naik?

Date:

[Waktu baca: 5 menit]

Harga salah satu komoditas unggulan Indonesia, yakni Crude Palm Oil (CPO) terus menanjak dalam beberapa bulan terakhir. Per hari Senin (16/11/20), harga CPO sudah menembus 3,500 ringgit per ton.

Hal ini tentu menguntungkan bagi negara-negara pengekspor CPO seperti Indonesia dan Malaysia.

Sumber: Business Insider

Penyebab kenaikan harga CPO ini diakibatkan oleh terjadi perubahan di dua sisi, baik supply dan demand. Dari sisi demand, terjadi kenaikan permintaan dari China akibat mulai membaiknya kondisi ekonomi negara Tirai Bambu tersebut. Sebagai salah satu konsumen CPO terbesar di dunia, demand dari China tentu saja bisa mengerek permintaan di pasar CPO internasional.

Baca Juga: Sektor Saham Jawara 2020: Tambang!

India juga tidak mau ketinggalan. Berdasarkan pernyataan dari Ketua Malaysian Palm Oil Board (MPOB), Datuk Ahmad Jazlan Yaakub, India mulai menumpuk persediaan CPO mereka sebagai bagian dari mempersiapkan market domestik mereka atas datangnya beberapa festival dan hari raya di India.

Faktor kedua yang mempengaruhi naiknya harga CPO juga terjadi di sisi supply.

Ketua MPOB juga menyatakan terjadinya penurunan stock di Malaysia pada bulan Oktober 2020, di mana stok CPO yang tersedia menjadi 1,57 juta ton. Stok tersebut merupakan yang level terendah dalam lebih tiga tahun terakhir, atau tepatnya sejak Juni 2017.

Hal yang serupa juga terjadi di Indonesia, di mana Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pada Kamis (12/11/2020) menunjukkan produksi CPO selama Januari-September 2020 mencapai 34,4 juta ton, atau turun sekitar 4,7% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Hantaman dari dua sisi ini yang menyebabkan kenaikan harga CPO di pasar.

Lalu dampaknya ke saham-saham perkebunan sawit bagaimana?

Saham-saham perkebunan sawit yang ada di bursa, sedikit banyak memiliki persamaan dengan perusahaan-perusahaan batubara, di mana mereka akan bertindak sebagai price taker. Kinerja keuangan mereka akan sangat bergantung kepada harga jual acuan yang berlaku di seluruh dunia. 

Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan sawit termasuk kepada golongan perusahaan-perusahaan cyclical yang memiliki periode boom and bust dalam pergerakan harganya. Terakhir kali perusahaan-perusahaan sawit berhasil ‘manggung’ di bursa adalah pada tahun 2011-2012 dan 2014.

Ketika itu, harga CPO juga berada di level yang tidak jauh berbeda dari sekarang.

Baca Juga: Analisa Fundamental PT Uni-charm Indonesia Tbk (UCID)

Kenaikan harga CPO yang terjadi ini sebenarnya sudah bisa diobservasi sejak beberapa bulan yang lalu, karena itu lah kami berani memasukkan dua saham sawit ke dalam e-book kuartalan yang Big Alpha terbitkan di kuartal I dan II.

Astra Agro Lestari (AALI) masuk di e-book kuartal I di saat harganya sekitar Rp6.200an per lembar. Sebagai emiten terbesar di sektor sawit, sepertinya tidak adil membahas CPO tanpa mengupas emiten ini. 

Di kuartal III, kinerja AALI sudah membaik dibandingkan dengan kinerja kuartal I mereka. Per Q3 2020, laba mereka mencapai Rp582 miliar atau naik 424% dibandingkan Q3 2019 yang lalu di mana mereka berhasil mencetak laba sebesar Rp111 miliar.

Hal ini sejalan dengan kenaikan penjualan mereka yang sudah mencapai Rp13,3 triliun di Q3 2020 vs Rp12,3 triliun (Q3 2019)

Di kuartal II, kami memasukkan PT. London Sumatera Indonesia (LSIP) sebagai emiten sawit yang kami kupas berdasarkan laporan keuangannya. Saat itu harga nya masih di Rp995 per lembar. Pertimbangan sederhana untuk memasukkan LSIP juga sederhana. Sebagai emiten sawit milik salah satu konglomerasi terbesar di Indoneia (Salim Group), emiten ini memiliki posisi balance sheet yang sangat sehat. 

Mereka memiliki posisi cash yang besar dengan jumlah utang berbunga yang sangat minim. Karakteristik ini juga berlanjut di kuartal II yang lalu (LSIP belum menerbitkan laporan keuangan triwulan III mereka).

Per Q2 2020, posisi cash mereka ada di Rp1,6 triliun dengan kondisi neraca yang bebas utang. Di enam bulan pertama 2020, penjualan LSIP cukup stagnan di Rp1,5 triliun dibandingkan 2019, tapi laba bersih mereka naik drastis 778% dari Rp10 miliar di 1H19 menjadi Rp91 miliar di 1H20.

Kami cukup optimis LSIP bisa meningkatkan kinerja mereka di Q3 2020 mengingat terjadinya kenaikan harga jual CPO selama beberapa minggu ke belakang.

Kesimpulan.

Kenaikan harga CPO yang terjadi ini masih berupa sentimen jangka pendek, di mana dampaknya terhadap laporan keuangan emiten-emiten perkebunan sawit belum sepenuhnya terlihat. Return on Equity (ROE) emiten-emiten sawit masih berkisar di bawah dua digit. Belum benar-benar menguntungkan jika dilihat dari sisi pemberi modal.

Gejala perbaikan kinerja memang sudah mulai terlihat di beberapa emiten sawit yang ada di bursa akibat adanya kenaikan harga CPO dunia.

Pun harga saham-sahamnya belum naik terlalu jauh. 

Tapi untuk memberikan return yang bombastis, kenaikan harga ini harus berlangsung untuk beberapa waktu ke depan, sehingga bisa memberikan dampak yang sustainable terhadap penjualan CPO di Indonesia, dan pada akhirnya bisa mengerek harga saham-saham sawit yang ada di bursa.

Untuk itu, mari kita tunggu begitu perbaikan kinerja telah tercatat secara nyata di laporan keuangan mereka.

PS: Big Alpha telah menerbitkan e-book Q3 2020. Anda bisa mendapatkannya di sini.