Jalan Pintas XL Kejar Kompetitor

Date:

PT XL Axiata Tbk. (EXCL) pantang menyerah dalam persaingan pangsa pasar operator internet di Indonesia. Setidaknya hal itu tampak dari rencana entitas milik Grup Axiata tersebut mengakuisisi saham mayoritas PT Link Net Tbk. (LINK).

EXCL dan pengendalinya yakni Axiata Group Berhad akan membeli 66,03 persen saham LINK yang saat ini masih digenggam Grup Lippo lewat Asia Link Dewa Pte Ltd dan PT First Media Tbk. (KBLV). Rencana ini disepakati lewat penandatanganan term sheet antara XL dan Grup Lippo yang diumumkan lewat keterbukaan informasi BEI Jumat (30/7).

“Apabila rencana pengambilalihan telah selesai, XL atau XL dan Axiata akan menjadi pengendali baru Link Net dan akan melaksanakan tender wajib,” tulis Sekretaris Perusahaan EXCL Ranty Astari.

Rival terdekat EXCL, PT Indosat Tbk. (ISAT) sejak awal tahun telah sibuk melancarkan berbagai strategi jitu. Aksi Indosat melego aset berupa bisnis menara dan refocusing ke segmen operator internet telah mengerek pemasukan tambahan dan membalik kinerja perseroan. Dari kondisi rugi Rp341,1 miliar, secara yoy ISAT berbalik menjadi untung Rp5,59 triliun pada semester I/2021.

Ke depan, profitabilitas ISAT berpotensi berlanjut seiring rencana merger dengan PT Tri Hutchison Indonesia yang kemungkinan menghasilkan kesepakatan pembagian beban.

Perusahaan lain yang sekaligus penguasa pasar operator telekomunikasi, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. (TLKM) belum merilis kinerja keuangan terkininya ketika artikel ini dibuat. Namun, sinyal positif juga ditunjukkan TLKM seiring keberhasilan mereka menjaga pertumbuhan kinerja pada kuartal I/2021 lalu.

Lagi-lagi seperti dalam kasus Indosat, rapor tersebut berpotensi berlanjut seiring strategi TLKM mendiversifikasi bisnis, termasuk ke segmen pusat data (data center) dan iklan digital.

XL, di sisi lain, berada dalam posisi tidak diuntungkan. Sepanjang 6 bulan awal 2021 pendapatan perusahaan justru turun 0,82 persen ke posisi Rp12,97 triliun. Laba bersih yang dapat diatribusikan kepada entitas induk EXCL bahkan menyentuh level penyusutan 58,93 persen; dari Rp1,74 triliun menjadi Rp715,95 miliar.

Selain pelemahan pemasukan dan faktor tambahan penjualan menara pada kinerja jumbo tahun lalu, lesunya kinerja EXCL turut dipicu pembengkakan beban usaha. Nilainya mencapai Rp11 triliun beban usaha yang mesti dikeluarkan perusahaan sepanjang semester I/2021, dari semula hanya Rp9,92 triliun.

Namun, dengan akuisisi LINK, rapor jeblok itu lebih dari sekadar mungkin untuk diperbaiki.

LINK adalah salah satu perusahaan operator telekomunikasi dengan rapor yang menjanjikan. Kecuali pada 2018, dalam 6 tahun terakhir perusahaan ini selalu membukukan pertumbuhan laba. Termasuk tahun lalu, tatkala LINK sukses membukukan kenaikan pendapatan dan laba masing-masing 7,79 persen dan 5,27 persen.

Tahun ini, pertumbuhan LINK berpotensi kuat berlanjut, mengingat pada kuartal I/2021 saja perusahaan sudah mampu mencatatkan laba Rp249,02 miliar. Angka itu setara 26,44 persen laba tahun lalu.

Dan, bila hal itu terealisasi, EXCL bakal ikut kecipratan cuan mengingat status mereka sebagai pengendali baru perseroan.

Belum lagi bila bicara soal prospek valuasi LINK yang terus mengembang. Hingga Jumat (6/8) lalu saja misal, secara tahun berjalan kapitalisasi pasar LINK telah naik 75,41 persen ke level Rp12,25 triliun.

Tambahan tenaga dari LINK sebagai anak usaha juga akan meningkatkan pangsa pasar EXCL di bisnis internet kabel. Saat ini, di antara tiga besar operator seluler Indonesia, XL adalah perusahaan dengan proporsi pendapatan pada segmen seluler dan kabel (broadband) paling timpang. Lebih dari 90 persen pemasukan perusahaan masih murni bergantung pada segmen seluler.

Mengacu laporan Kontan baru-baru ini, layanan internet kabel eksisting EXCL yakni XL Home konon baru memiliki sekitar 90.000 pelanggan. 

Angka itu belum ada bandingannya dengan para kompetitor. Indosat, misalnya, hingga akhir tahun lalu tercatat telah memiliki lebih dari 1 juta pelanggan internet kabel lewat anak usahanya, IM2.  

Belum lagi bila bicara kompetisi dengan TLKM, gurita internet kabel terbesar di negeri ini. Per akhir tahun lalu, Telkom tercatat telah memiliki lebih dari 8 juta pelanggan internet kabel.

Angka tersebut memang terlampau berat untuk disalip dalam waktu singkat. Namun, bukan pula sesuatu yang mustahil. Apalagi, Statista mencatat bahwa Telkom mulai turun pamor. Pangsa pasar internet kabel mereka tahun lalu, yang berkisar 82,3 persen, telah turun ketimbang pangsa pasar perusahaan pada 2019 yang mampu menembus 86,5 persen. 

Sebagai informasi, bila mengacu laporan keuangan terkini, LINK merupakan layanan internet kabel dengan jumlah pelanggan segmen keluarga terbanyak kedua di Indonesia, tepatnya pada kisaran 859.000 keluarga. Artinya, akuisisi ini akan membuat layanan internet kabel Grup Axiata di Indonesia bisa melompat mendekati 1 juta waktu singkat.

Namun, bukan berarti tidak akan ada konsekuensi. Harga mahal LINK adalah risiko terbesar yang harus ditanggung EXCL dan Grup Axiata.

Hingga artikel ini rilis, belum ada kepastian berapa kocek yang perlu dirogoh EXCL dan Grup Axiata untuk menebus kepemilikan Grup Lippo di LINK. Yang pasti, dalam salah satu wawancara dengan CNBC Indonesia, CEO Link Net Marlo Budiman menyebut banderolnya di atas harga pasaran.

“Yang pasti [harga] premium, di atas harga saham sekarang,” kata Marlo. 

Bocoran Bloomberg sempat menyebutkan bahwa nilai premium yang dimaksud mencapai kisaran Rp12,4 triliun. Bila benar, maka ini bukanlah angka main-main. Sebab Link Net sendiri baru rutin membukukan keuntungan tahunan pada rentang Rp700 miliar hingga Rp1 triliun, yang artinya butuh belasan tahun bagi investasi tersebut agar impas.

Namun, XL tentunya punya strategi bisa lebih cepat balik modal. Salah satu strategi itu, setidaknya yang terendus sekarang, adalah mengawinkan reputasi layanan yang dimiliki Link Net dengan layanan internet kabel eksisting XL.

Reputasi kecepatan internet Link Net memang sudah jadi rahasia umum. Juni lalu misal, platform OTT paling kondang di dunia Netflix sempat merilis peringkat kecepatan akses provider di Indonesia terhadap layanannya. Hasilnya, Link Net menempati kasta pertama bersama Biznet, MyRepublic dan GIG Indosat.

Dengan estimasi rata-rata kecepatan akses streaming 3,2 Mbps, Link Net unggul jauh dari penguasa pangsa pasar Telkom, yang cuma diestimasi berbekal kecepatan streaming 1,2 Mbps.

Dengan modal tersebut, manajemen XL yakin bahwa akuisisi Link Net tidak saja menaikkan jangkauan, tapi juga reputasi. Apalagi XL Home, layanan broadband mereka juga menempati kasta kedua dalam daftar yang dirilis Netflix. Artinya, layanan ini juga potensial untuk mengikis dominasi Telkom.

Sejauh ini, hasil perkawinan tersebut juga mulai menarik minat banyak mitra. Salah satu yang terbaru adalah ketertarikan PT Surya Semesta Internusa Tbk. (SSIA), yang pekan lalu menyepakati kerja sama dengan EXCL guna membantu ekspansi penyediaan layanan telekomunikasi di segmen kawasan industrial.

“Solusi bisnis berbasis teknologi digital sudah menjadi tuntutan di semua bidang industri, sehingga ketersediaan infrastruktur berupa serat optik juga menjadi keharusan bagi setiap kawasan industri,” kata CEO EXCL Dian Siswarini dalam paparan virtual Kamis (5/8) pekan lalu.

Konon, selain perluasan segmen, kerja sama tersebut juga diyakini manajemen EXCL bakal membuat perusahaan memulai start lebih cepat di bisnis 5G.

Meski kalah cepat dari Telkom dalam menggulirkan layanan 5G perdana, EXCL memang telah mendapatkan izin resmi dari Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk menggelar Uji Laik Operasi (ULO) jaringan 5G per 3-6 Agustus pekan lalu.

Bila lolos dalam ULO tersebut, EXCL juga mengklaim telah menyiapkan manuver untuk menggenjot penggelaran serat optik di berbagai wilayah kawasan industri dalam negeri. Dalam kasus ini, peran Link Net untuk percepatan perluasan segmen XL bakal vital.

Proyeksi tersebut turut diafirmasi lembaga pemeringkatan global Fitch Ratings.

Bukan cuma peluang bersaing di segmen internet kabel, Fitch memproyeksi akuisisi tersebut akan berdampak pada peningkatan kualitas jaringan layanan seluler XL. Pada ujungnya, faktor ini juga dinilai bakal mengerek pendapatan perseroan dari segmen seluler.

“Merger [antara XL dan Link Net] akan memperkuat kemampuan konvergensi XL, memungkinkan mereka mendiversifikasi bisnis seluler untuk menyediakan layanan quadruple play,” papar Direktur Senior Fitch Janice Chong

Saat ini, bila diklasifikasikan berdasarkan jumlah pendapatan operasional, XL memegang kurang dari 20 persen total perputaran uang pada bisnis operator internet. Patut dinanti seberapa jauh proporsi tersebut meningkat pasca-akuisisi Link Net