“Kabar Buruk Ekonomi adalah Berita Baik Investasi”

Date:

Acap kali, baik profesional maupun pengamat ekonomi, mereka menggunakan frasa ini: “Kabar buruk bagi ekonomi adalah berita baik bagi investasi.” Tapi, sering kali mereka juga menggunakannya secara terbalik, “Kabar baik bagi ekonomi adalah kabar buruk bagi investasi.”

Sepintas, dengan cara apa pun kita membacanya, kalimat itu mungkin tampak tidak masuk akal. Banyak orang melihat ekonomi dan investasi—baik ia berupa pasar saham ataupun pasar uang—sebagai hubungan timbal balik yang tidak dapat dipisahkan.

Dalam benak mereka, jika ekonomi di suatu negara sedang melemah, makai keuntungan sebuah perusahaan di situ akan berkurang. Pada akhirnya akan menurunkan harga saham. Namun, skenario itu tidak melulu berulang. Sebab, ketika melihat lebih dalam, nyatanya ikatan erat yang saling bersambut antara situasi ekonomi dan konteks investasi itu kerap tidak berlaku.

“Harus digarisbawahi, menjadi baik untuk pasar saham jika frekuensi berita buruk ekonomi yang muncul di media cetak dan online tidak berulang-ulang,” kata Bruce Monrad, ketua dan manajer portofolio di perusahaan reksa dana yang berbasis di Boston, Northeast Investors Trust pada Wall Street Journal. Keadaan demikian sempat terjadi di Amerika Serikat.

Kala itu, tingkat pengangguran di negeri Paman Sam bertambah pesat hingga membuat daya tukar mata uang dolar anjlok cukup parah. Tapi, karena hanya sedikit media yang memuat berita tentang itu, komite kebijakan Federal Reserve sama sekali tidak menaikkan suku bunga kredit. Padahal, secara hitung-hitungan teori, dalam keadaan semacam itu bank sentral Amerika yang umum disebut The Fed itu harusnya meninggikan suku bunga.

“Meski pengangguran dan nilai dolar turun ialah kabar buruk ekonomi, tapi karena frekuensi berita di koran tidak begitu dieksploitasi dan membuat The Fed tidak mengambil sikap, maka ini menjadi kabar baik untuk investasi hingga membantu menjaga harga saham dan obligasi tetap tinggi saat itu,” ujar Monrad. Harus diulang dan ditegaskan kembali di sini. Pada pokoknya, frasa “Kabar buruk ekonomi adalah berita baik investasi” bisa berlaku tergantung sesering apa kondisi buruk ekonomi dieksploitasi secara berlebihan oleh koran cetak maupun media online.

Lalu, bagaimana yang terjadi di sini? 

Di Indonesia, yang berlangsung bukanlah demikian: buruknya ekonomi sudah barang tentu dibuntuti melemahnya nilai investasi. Dalam soal Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat akibat terus bertambahnya jumlah orang yang terpapar Covid-19. Nyaris tiap detik masyarakat di Tanah Air dipaksa selalu menjejal tema dan sudut pandang (angle) berita yang sama dan berulang-ulang tentang itu di hampir semua surat kabar, di media online terutama.

Betul, bahwa PPKM Darurat berpengaruh buruk ke sektor ekonomi dan media wajib memberitakan ini ke publik. Meski pengulangan berita tidak salah jika dinilai dari sisi kaidah jurnalistik, namun jika itu dibumbui nada sinis dan bahkan tidak ditambahi berbagai data akurat, maka hal tersebut bukanlah karya jurnalistik. Derasnya arus informasi PPKM Darurat yang terlalu dieksploitasi itu, secara individu efek yang timbul kemudian ialah kepanikan. Padahal kondisi mental seperti ini dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh yang tengah dibutuhkan dalam menghadapi pandemi.

Sementara dari sisi psikologi pasar, impak yang muncul selanjutnya adalah histeria massa. Maka jangan kaget, ketika berita simpang siur PPKM Darurat ada di mana-mana, banyak investor yang menjual sahamnya di sejumlah emiten.

PT Arthavest Tbk, misalnya. Saham perusahaan finansial multinasional ini tumbang 7 persen di 1 Juli kemarin. Mirisnya, di hari itu padahal PPKM Darurat masih menjadi wacana pemerintah. Namun, karena berita negatifnya sudah ke mana-mana, investor berbondong-bondong menjual saham perusahaan berkode ARTA itu. ARTA tak sendiri. Di hari yang sama, tak sedikit saham beberapa emiten berguguran. Antara lain, PT Saraswanti Anugerah Makmur Tbk turun di angka 6,98 persen, PT Jaya Bersama Indo Tbk melemah 6,98 persen, PT Jasuindo Tiga Perkasa Tbk minus 6,95 persen, PT Triniti Dinamik merosot 6,94 persen, dan masih banyak lagi saham emiten yang berjatuhan yang tak bisa disebutkan di tempat yang terbatas ini.

Begitulah, kumpulan kata “Kabar buruk bagi ekonomi ialah berita baik bagi investasi” barangkali benar-benar tak akan berfungsi di sini. Serupa dengan pengaruh berita PPKM Darurat ini. Jika kita masih ingat, setahun lalu saat awal-awal pandemi itu, hadir di Indonesia kejadian panic buying: tiba-tiba harga sebotol handsanitizer dan sepaket masker menyentuh ratusan ribu. Faktornya? Kita bisa mengira-ngiranya sendiri.  

Namun demikian, terlepas dari semua itu, harapan bersamanya adalah semoga kita berada di tempat di mana kabar baik untuk ekonomi juga menjadi kabar baik bagi investasi, dan begitu pula sebaliknya.