Krisis Ekonomi 2020?

Date:

Mulai banyak kekhawatiran yang muncul akan terjadinya krisis ekonomi tahun depan. Berita buruk yang beredar di media massa maupun media sosial memaksa kami untuk membahas hal ini. Ada beberapa macam indikator yang biasanya dijadikan sebagai pertanda apakah krisis ekonomi betul terjadi atau tidak.

Yang baru saja terjadi akhir-akhir ini, inverted yield curve seolah menjadi pertanda kian pastinya krisis ekonomi global pada tahun 2020. Apa betul?

So, let’s talk about it.

Pertama, kita harus mengerti dulu apa itu resesi ekonomi.

Resesi ekonomi adalah sebuah siklus di mana terjadinya penurunan aktivitas ekonomi setidaknya dalam 6 bulan. Biasanya hal ini terlihat dari turunnya minat belanja masyarakat, daya beli yang menurun, kapasitas produksi perusahaan yang tidak optimal, yang pada akhirnya bisa berujung kepada pemotongan tenaga kerja (PHK) dan pengangguran.

Lalu selanjutnya mari kita berkenalan dengan inverted yield curve yang sudah kita sebut di atas. Inverted yield curve adalah momen di mana imbal balik (yield) dari US Treasury Bond jangka pendek (2 years), lebih tinggi dari US Treasury Bond jangka panjang (10 years).

Bond adalah surat utang yang dapat diperjualbelikan seperti saham. Harganya bisa naik atau turun tergantung dari besarnya permintaan dan penawaran bond tersebut. Ketika bond menawarkan kupon sebesar 10%, return yang kita dapatkan belum tentu sebesar kupon tersebut. Hal itu bergantung pada harga berapa kita membeli bond tersebut.

Sebagai contoh, bila kita membeli bond X seharga Rp1.000 dengan kupon 10%, maka return/bunga yang akan kita dapatkan adalah Rp100. Tapi jika bond itu kita beli dengan harga Rp900, maka return yang kita dapatkan adalah Rp100/Rp900, alias sekitar sekitar 11.11%.

Jika harga bond itu naik menjadi Rp1,200, maka yield yang kita terima menurun menjadi Rp100/Rp1.200 atau menjadi 8.33%. Hal inilah yang disebut dengan yield (imbal hasil). Yield akan berubah-ubah tergantung dari pergerakan harga bond tersebut, sebagaimana contoh di atas.

Pada keadaan normal, instrumen jangka panjang tentu harus menawarkan return yang lebih tinggi daripada instrumen jangka pendek, bukan? Contoh paling dekat dengan kehidupan kita adalah deposito, yang menawarkan bunga lebih tinggi ketika tenornya semakin panjang.

US Tresury Bond seringkali dianggap instrumen investasi paling aman di dunia. Soalnya seberapa besar peluang sebuah negara superpower di muka bumi ini akan bangkrut dan gagal bayar?

Namun saat ini, US Treasury Bond dalam jangka pendek (2 years) sudah menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi daripada US Treasury Bond jangka panjang (10 years). Hal ini menandakan kecemasan investor terhadap kondisi perekonomian Amerika dalam jangka pendek yang semakin membesar. Mereka relatif ingin memindahkan dana mereka dari pasar saham, ke instrumen investasi yang lebih aman (US Treasury Bond). Karena mereka berpendapat, dalam jangka panjang, menempatkan dana dalam US Treasury Bond lebih aman daripada di instrumen lain. Sehingga semakin sedikit yang ingin membeli bond yang jatuh temponya dalam waktu 2 tahun.

Oleh karena itu, permintaan (demand) untuk US Treasury Bond untuk tenor jangka panjang akan naik. Ketika permintaan naik, harga bond tersebut akan naik. Dan ketika harga naik, imbal hasil (yield) bond tersebut akan semakin turun.

(Baca kembali contoh di atas kalau bingung).

Fenomena mengecilnya yield US Treasury Bond jangka panjang (dibandingkan dengan US Treasury Bond jangka pendek) inilah yang disebut inverted yield curve. Dengan kata lain, inverted yield curve menjadi indikator para investor bahwa berinvestasi dalam jangka pendek saat ini semakin berisiko.

Lalu apakah setiap terjadi inverted yield pasti terjadi resesi ekonomi?

Jawabannya adalah: Tidak.

Terdapat dua momen di mana inverted yield terjadi, tapi tidak ada resesi yang mengikuti sesudahnya (yakni tahun 65 dan 98).

Jadi bisa dibilang, inverted yield curve bukanlah pertanda pasti terjadinya resesi ekonomi.

Pun terjadi resesi, hal itu tidak akan terjadi secara mendadak. Berdasarkan tabel di atas, secara rata-rata, dibutuhkan waktu 14 bulan hingga resesi di Amerika Serikat terjadi (kalaupun benar-benar terjadi).

Itu artinya, kalaupun terjadi resesi ekonomi, hal itu baru akan terjadi kira-kira akhir 2020 atau bahkan tahun 2021. Sekali lagi, kalau benar-benar nanti terjadi.

So, apa hubungannya dengan investor di Indonesia?

Tidak bisa dipungkiri, dengan era ekonomi global saat ini, resesi ekonomi yang (apabila) terjadi di US akan sangat mempengaruhi kondisi pasar modal Indonesia.

Hal ini disebabkan oleh masih kuatnya pengaruh investor asing di bursa dalam negeri. Ketika resesi ekonomi terjadi mereka akan menarik dananya dari instrumen yang dianggap risky (pasar saham di negara berkembang misalnya), ke instrumen yang lebih aman, seperti US Treasury Bond atau emas.

Ambil contoh, ketika resesi ekonomi yang terjadi di Amerika pada tahun 2008, IHSG ikut rontok minus 50.64% akibat derasnya dana asing keluar dari bursa.

Perlukah saya khawatir?

Jawabannya: Ya dan Tidak.

You should be worry if you have poor money management. Tapi jika kamu sudah menjalankan asset allocation dengan baik serta memiliki dry powder yang siap untuk digunakan ketika waktunya tiba, resesi ekonomi di US malah akan menawarkan peluang untuk membeli saham-saham baik di dalam negeri dengan harga yang luar biasa murah.

Sebagai contoh ketika bursa kita jatuh -50% di tahun 2008, pasar modal kita memantul dengan sangat tinggi pada tahun 2009 sebesar +86.98%!

Artinya, hanya dalam waktu setahun, bursa kita sudah kembali baik-baik saja.

So, in summary…

Mungkin benar tahun 2020 atau 2021 nanti akan terjadi resesi di Amerika Serikat. Apalagi mengingat saat ini Dow Jones terus saja memecahkan rekor all time high mereka di tahun 2019 ini.

Apalagi sekarang banyak sekali perusahaan teknologi yang IPO di Wall Street dalam kondisi merugi. Sebut saja Pinterest, Uber, Lyft, dll. Dan menerbitkan saham di bursa adalah salah satu exit strategy bagi Venture Capitalists yang mem-backup perusahaan teknologi ini. Valuasi puluhan miliar dolar ini tentu semakin menggelembungkan value bursa Amerika saat ini.

Investment Guru, Warren Buffet pun sekarang menyadari bahwa mereka tidak bisa membeli perusahaan apapun secara signifikan (atau dalam istilahnya Berkshire Hathaway: elephant-sized purchase) di bursa Amerika karena valuasi yang sudah sangat mahal.

Padahal saat ini, Berkshire Hathaway punya hampir $122 miliar yang siap dibelanjakan.

Can you imagine someone who has $122 billions and says ‘it’s too expensive to buy anything right now’?!

Salah satu indikator lain yang kami lihat adalah meroketnya harga emas dunia saat ini. Pada lazimnya, ketika ekonomi akan memburuk, harga emas akan menanjak karena dianggap sebagai instrumen pelindung nilai yang paling baik.

Lihat saja grafik harga emas dalam tiga tahun terakhir di bawah ini:

Terjadi peningkatan harga yang signifikan! Bahkan, harga emas di Indonesia sudah menembus Rp700.000 per gram beberapa hari yang lalu. Hal ini menandakan bahwa orang-orang sudah mencari pelindung nilai yang paling baik bagi harta kekayaan mereka.

***

So that’s it.

We have seen the clouds. But when will the storm come? Or is it coming at all?

Let’s wait and prepare the umbrella!