Manuver Anthony Salim

Date:

Grup Salim melakukan banyak manuver bisnis di berbagai lini usaha yang dijalankannya akhir-akhir ini. Manuver tidak melulu dilakukan oleh korporasi di bawah naungan Grup Salim, tetapi juga oleh Anthony Salim, bos pemilik grup ini.

Bagaimanapun, langkah Anthony adalah langkah Grup Salim, sebab aksi investasi pribadinya pun ujung-ujungnya bakal berdampak pula pada sinergi dengan grup usaha di bawah bendera Grup Salim.

Saat ini, bisnis Grup Salim tersebar di berbagai lini usaha. Bisnis terbesarnya tentu saja adalah Indofood, perusahaan produsen berbagai jenis barang konsumsi habis pakai. Siapa yang tidak kenal dengan Indomie? Produk ini begitu akrab di lidah masyarakat Indonesia.

Grup Salim mengendalikan bisnis makanannya melalui PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF) serta PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. (ICBP). Bisnis Indofood tidak saja menggurita di dalam negeri, tetapi juga hingga mancanegara.

Sejak akhir 2020 lalu, Pinehill Company Ltd. telah dikonsolidasikan ke dalam ICBP. Pinehill merupakan grup usaha yang bergerak di bidang industri pembuatan mie instan di Arab Saudi, Nigeria, Turki, Mesir, Kenya, Maroko, Serbia dan Ghana. ICBP merogoh kocek Rp42 triliun untuk akuisisi ini.

Pinehill sudah menggunakan merek Indomie untuk pemasaran produk mereka berdasarkan perjanjian lisensi dengan induk INDF. Singkatnya, masuknya Pinehill dalam Grup Salim memastikan penguasaan pasar luar negeri Indomie menjadi makin kuat tahun ini.

Selain itu, grup ini juga mengendalikan dua emiten di industri perkebunan dan pengolahan minyak sawit mentah atau CPO, yakni PT Salim Ivomas Pratama Tbk. (SIMP) dan PT PP London Sumatra Indonesia Tbk. (LSIP). Kenal minyak goreng Bimoli? Itu adalah hasil produksi SIMP.

Produk-produk barang konsumsi Grup Salim dipasarkan juga melalui lini bisnis ritel milik mereka sendiri, yakni melalui PT Indoritel Makmur Internasional Tbk. (DNET). Emiten ini merupakan pemegang 40% saham Indomaret.

DNET juga menjadi pemegang 25,77% saham produsen Sari Roti, yakni PT Nippon Indosari Corpindo Tbk. (ROTI) dan 35,84% saham PT Fast Food Indonesia Tbk. (FAST) yang merupakan pemilik waralaba KFC di Indonesia.

Dari sini, sudah terlihat struktur kesinambungan bisnis Grup Salim di industri barang konsumsi, mulai dari produksi hingga distribusi. Namun, bisnis Grup Salim tidak saja terbatas di industri barang konsumsi.

Akhir-akhir ini, bisnis banknya menjadi sorotan, yakni PT Bank Ina Perdana Tbk. Bank kecil ini berencana untuk segera merilis produk digital mereka tahun ini. Tak ayal, sahamnya pun terbang hingga 736,96% year to date (ytd) dan terkena suspensi hingga hari ini, Kamis (15 Juli 2021).

Bank Ina hanya memiliki modal Rp1,15 triliun dan aset Rp10,6 triliun, tetapi kenaikan harga sahamnya menyebabkan kapitalisasi pasarnya kini mencapai Rp32,65 triliun. Padahal, jika menilik paparan manajemennya tentang rencana digitalisasi bank ini, sebenarnya belum ada hal yang luar biasa.

Lagi pula, rencana pengembangan digital itu pun menuntut adanya suntikan modal baru dari pemegang sahamnya melalui rights issue Rp1 triliun yang bakal segera digelar.

Dengan tambahan modal Rp1 triliun, rasanya sulit untuk berharap Bank Ina bakal segera mampu berkinerja luar biasa dalam waktu dekat, apalagi langkah digital tidak saja dilakukan oleh bank ini. Perbankan digital kini sedang hype dan tentu persaingannya tidak akan mudah.

Manuver lain yang dilakukan secara pribadi oleh Anthony Salim dan menjadikan banyak perbincangan, tentu saja pembelian atas saham PT DCI Indonesia Tbk. (DCII), emiten teknologi pengelola data center. Anthony terkonfirmasi memiliki 11,12% saham DCII sejak awal Juni 2021.

Sejak itu, saham DCII melesat dari level Rp10.000 menjadi Rp59.000 dan menjadikannya saham termahal di Bursa Efek Indonesia saat ini. Jika dihitung dari harga IPO-nya pada 6 Januari 2021 di level Rp420, saham DCII dalam setengah tahun ini sudah melonjak hampir 14.000%.

Tidak lama setelah itu, DCII mengumumkan pendirian data center kedua di Karawang, Jawa Barat, bernama H2. Gedung yang dipakai adalah milik Anthony Salim yang dibangun sejak kuartal IV/2020. Investasi yang disiapkan mencapai Rp1,5 triliun hingga Rp2 triliun.

Anthony Salim juga secara pribadi memiliki saham di PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK) sebesar 9%. EMTK saat ini tengah menjadi sorotan sebab perusahaan ini merupakan pemegang saham terbesar dari PT Bukalapak.com yang sebentar lagi bakal IPO.

Berdasarkan prospektus ringkas IPO Bukalapak, EMTK menguasai 31,9% saham perseroan melalui PT Kreatif Media Karya (KMK). Setelah IPO nanti, kepemilikan KMK akan terdilusi menjadi 23,93%. Adapun, EMTK menjadi pemegang 99,99% saham KMK.

Anthony Salim tampaknya sedang memanfaatkan seoptimal mungkin momentum pandemi dan resesi ekonomi yang kini tengah terjadi. Langkah strategisnya mulai dari akuisisi Pinehill tahun lalu hingga masuk ke bisnis data center DCII tahun ini tentu telah diperhitungkan dengan matang.

Langkah ini menjadikan gurita bisnis Grup Salim dalam jangka panjang bakal makin meluas dan berkembang. Seiring dengan itu, sinergi di dalam bisnis grup konglomerasi ini pun bakal makin kompleks dan membuka peluang-peluang bisnis baru lainnya.

 

Kinerja Awal Tahun

Terlepas dari manuver bisnis Anthony Salim, kinerja emiten-emiten Grup Salim pada awal tahun ini masih cukup solid. Berikut ini laporan kinerja keuangan masing-masing emiten di bawah bendera Grup Salim:

Dari data tersebut, terlihat bahwa pada awal tahun ini telah terjadi lonjakan kinerja yang signifikan di bisnis konsumer, perkebunan, dan perbankan Grup Salim. INDF dan ICBP kompak menguat di kisaran 25% yoy, sedangkan SIMP dan LSIP di atas 40% yoy. Lonjakan tertinggi dialami BINA sebesar 64,3% yoy.

Sementara itu, di bisnis ritel, DNET membukukan pertumbuhan pendapatan yang terbatas, tetapi laba bersihnya mampu meningkat signifikan 22,5% yoy. Tekanan daya beli konsumen selama pandemi tidak sampai menggerus permintaan pada barang-barang kebutuhan pokok, sehingga kinerja minimarket cenderung stabil.

Lagi pula, tuntutan pembatasan kegiatan menyebabkan masyarakat cenderung berbelanja di gerai-gerai minimarket dekat rumah ketimbang ke supermarket.

Di luar kedua bisnis tersebut, kinerja Grup Salim relatif terbatas. Di bisnis infrastruktur, PT Nusantara Infrastructure Tbk. (META) masih lemah dengan tingkat penurunan kinerja yang dalam. Ini tentu tidak terlepas dari turunnya lalu lintas jalan tol selama pandemi yang masih berlanjut.

META mengoperasikan tiga ruas tol, yakni Pondok Aren – Serpong, Tallo – Bandara Hasanuddin, dan Pelabuhan Soekarno Hatta – Pettarani. Ketiganya mencatatkan penurunan pendapatan, sedangkan di lini bisnis penjualan tenaga listrik dan air bersih masih mencatatkan kenaikan kinerja.

Sementara itu, di bisnis otomotif, PT Indomobil Sukses Internasional Tbk. (IMAS) dan PT Indomobil Multi Jasa Tbk. (IMJS) justru mencatatkan kerugian. Hal ini tidak terlepas dari lesunya bisnis otomotif akibat lemahnya permintaan dan daya beli masyarakat. Barang-barang konsumsi bernilai tinggi seperti kendaraan dan rumah cenderung tidak menjadi prioritas konsumen.

Kendati demikian, adanya insentif relaksasi pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) dari pemerintah terhadap industri otomotif pada tahun ini kemungkinan bakal mengerek kinerja mereka pada kuartal-kuartal selanjutnya.

 

Ada Apa dengan Perkebunan?

Jika diperhatikan, kenaikan kinerja tertinggi Grup Salim pada awal tahun ini adalah di lini bisnis perkebunan melalui SIMP dan LSIP. SIMP bahkan mampu berbalik laba pada kuartal pertama tahun ini, sedangkan LSIP mencatatkan lonjakan laba yang sangat tinggi hingga 267% yoy. Ada apa?

Tampaknya, kondisi ini tidak terlepas dari tren kenaikan harga CPO dan produk turunannya. Pada awal tahun ini, harga CPO memang cenderung meningkat akibat sulitnya pasokan di pasar. Hal ini  terutama disebabkan oleh kondisi cuaca dengan curah hujan tinggi yang menyulitkan proses panen dan pengiriman.

Meskipun demikian, tren harga CPO kini cenderung mulai menurun. Setelah memuncak pada pertengahan Mei 2021 lalu di kisaran 4.860 ringgit per ton, harga CPO mulai mendingin di kisaran 3.500 ringgit per ton pada pertengahan Juni 2021 lalu. Namun, setelahnya harga CPO kembali bangkit.

Secara umum, tren pelemahan harga CPO tahun ini belum sampai menyebabkan harga komoditas ini kembali seperti kondisi pada awal 2020 lalu di kisaran 2.100 ringgit per ton. Selain itu, dalam 5 tahun terakhir, harga CPO saat ini sedang berada di puncaknya.

Kesinambungan bisnis CPO Grup Salim juga tertolong oleh sinergi bisnis yang dijalankan grup ini. Produk sawit yang diproduksi LSIP mayoritas akan dijual kepada SIMP. SIMP lalu akan mengolahnya menjadi beragam produk. Produk tersebut bakal dijual lagi ke ICBP yang selanjutnya akan dipasarkan melalui DNET (Indomaret).

Dengan harga CPO yang masih tinggi serta potensi permintaan yang bakal meningkat di tengah tren pemulihan ekonomi global, mendorong kinerja LSIP dan SIMP bakal tetap kuat hingga akhir tahun ini.

Lagi pula, model bisnis Grup Salim yang terintegrasi memungkinkan mereka tetap untung dalam berbagai kondisi. Jika harga CPO menurun, pendapatan LSIP mungkin akan turun. Namun, biaya bahan baku bagi SIMP dan ICBP pun akan menurun, sehingga mempertebal margin mereka.

Di samping itu, kebijakan pemerintah untuk menurunkan pajak ekspor CPO juga turut menguntungkan bagi bisnis Grup Salim. Hal ini dapat menekan potensi koreksi kinerja karena penurunan harga jual CPO.

 

Dampak Besar Akuisisi Pinehill

Pertumbuhan kinerja yang tinggi pada Grup Salim juga terlihat pada INDF dan ICBP. Jika lebih dalam menilik laporan keuangan ICBP, peningkatan pendapatannya terutama disebabkan karena meningkatnya penjualan ke negara Timur Tengah dan Afrika.

Pada kuartal I/2020, nilai penjualan ke Timur Tengah dan Afrika baru mencapai Rp724 miliar, tetapi pada kuartal I/2021 melesat 325% yoy menjadi Rp3,1 triliun. Hal ini tidak terlepas dari hasil akuisisi Pinehill tahun lalu, sehingga penjualan Pinehill pun kini dikonsolidasikan pada ICBP.

Naiknya kinerja ICBP tentu berdampak pada INDF sebagai induknya, sebab ICBP dikonsolidasikan ke dalam INDF. Lantas, mengapa laba ICBP justru turun, sedangkan INDF masih mampu tumbuh pesat?

Berdasarkan laporan keuangan ICBP, terjadi peningkatan besar pada beban keuangannya dari Rp91 miliar menjadi Rp1,25 triliun. Tampaknya, ini akibat tingginya beban utang yang ditarik ICBP tahun lalu untuk membeli Pinehill.

ICBP mengantongi pinjaman sindikasi senilai US$2,05 juta pada Agustus 2020 lalu untuk membeli Pinehill. Adapun, nilai akuisisi Pinehill adalah US$2,99 juta, sehingga terlihat bahwa mayoritas dana untuk akuisisi itu berasal dari pinjaman. 

Pinjaman tersebut berjangka waktu 5 tahun, sehingga tekanan beban keuangan ICBP kemungkinan juga akan berlangsung selama itu. Namun, setelahnya, kinerja keuangan perseroan tentu bakal jauh lebih baik seiring dengan luasnya pemasaran perusahaan di Afrika dan Timur Tengah.

 

Prospek di Bisnis Teknologi

Anthony Salim sendiri tampaknya memiliki ambisi untuk membawa Grup Salim memperlebar sayapnya ke industri teknologi digital yang selama ini belum menjadi core business mereka. Langkah investasi di EMTK serta DCII adalah wujud dari visi tersebut.

Kondisi pandemi pun telah memaksa percepatan adopsi teknologi digital oleh masyarakat di banyak lini kehidupan. Ini menjadi momentum peningkatan bisnis berbasis digital di masa mendatang. Jelas, ceruk bisnis ini pun sangat besar, menimbang populasi penduduk Indonesia yang tinggi.

Sejauh ini, kita memang belum dapat melihat besarnya keuntungan di bisnis ini. Bukalapak hingga kini masih rugi, sedangkan laba DCII tidak seberapa, hanya Rp48 miliar pada kuartal pertama tahun ini. Kinerja EMTK pun tidak luar biasa, bahkan rugi pada 2018-2019.

Pada kuartal pertama tahun ini, laba EMTK baru mencapai Rp102 miliar, berbalik dari rugi Rp157 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Kinerja EMTK baru terlihat membaik pada tiga kuartal terakhir, sebab pada kuartal-kuartal sebelumnya selalu rugi.

Jelas, butuh waktu bagi Anthony Salim untuk menikmati keuntungan di bisnis baru yang dijajakinya ini. Namun, jika menimbang dari sisi kenaikan harga saham DCII saat ini, investasi Anthony Salim sudah sangat menguntungkan. Kita belum tahu bagaimana kinerja Bukalapak nantinya.

Hal yang pasti, dengan jaringan bisnisnya yang sudah sangat mengakar di Indonesia, Grup Salim sangatlah kuat. Rasanya sulit untuk mengikhlaskan jika seandainya produk Indomie akan hilang dari pasar Indonesia. Tampaknya, hal itu pun sangat sulit terjadi