Manuver Kecil ITIC di Tengah Tren Kenaikan Tarif Cukai

Date:

Bisnis rokok menjadi salah satu lini bisnis yang sangat terpukul akibat pandemi. Pelemahan kinerja pada emiten rokok ini tidak terlepas dari faktor pelemahan daya beli dan kenaikan cukai yang terjadi pada 2020 lalu. Saat itu, rata-rata kenaikan tarif cukai rokok mencapai 23%.

Ditambah pula dengan pelemahan daya beli akibat pandemi serta perhatian yang lebih tinggi terhadap isu kesehatan, konsumsi rokok pun menjadi berkurang.

Tahun ini, pandemi masih berlanjut dan pemerintah kembali menaikkan tarif cukai rokok sebesar rata-rata 12,5%. Meskipun berkurang dibandingkan dengan tahun lalu, kenaikan ini masih tetap tergolong sangat tinggi bagi industri rokok. Apalagi, pandemi belum berakhir.

Alhasil, industri rokok pun kembali mengalami tekanan. Meskipun penjualan mereka mungkin meningkat karena kenaikan harga jual dan adanya indikasi pemulihan daya beli tahun ini, laba mereka tergerus akibat tingginya beban cukai.

Hanya saja, berbeda dibandingkan dengan tahun 2020, pada 2021 pemerintah tidak menaikkan tarif cukai untuk golongan rokok yang lebih rendah, seperti sigaret kretek tangan (SKT). Bahkan, untuk produk tembakau iris, tarif cukai tidak meningkat sejak 2018, masih di level Rp10-Rp30 per gram.

Hal ini memberikan keuntungan kompetitif bagi produsen rokok yang berfokus pada segmen produk yang lebih rendah tersebut. Salah satu emiten yang berfokus pada produk rokok level rendah tersebut adalah PT Indonesian Tobacco Tbk.

Emiten berkode saham ITIC ini fokus pada produk tembakau iris, rokok gulung, atau tembakau linting sendiri. Produk mereka mencakup beberapa merek, seperti Pohon Sagu, Kuda Terbang, Anggur Kupu, dan Lampion Lilin. Produk ini sudah beredar lebih dari 50 tahun.

Perseroan telah menjual produk dengan merek Pohon Sagu dan Butterfly ke Malaysia dan Singapura selama lebih dari 30 tahun. Perseroan juga merambah pasar tembakau iris di Jepang melalui merek Papillon selama 4 tahun terakhir.

Selain itu, ada juga merek yang baru dikembangkan perseroan, yakni Manna. Saat ini, produk Manna juga telah menjadi produk perseroan dengan kontribusi pendapatan yang tinggi.

ITIC diuntungkan oleh kondisi pandemi dan kenaikan tarif cukai pada produk rokok di level yang lebih tinggi, seperti sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM). Harga produk mereka masih tetap murah, apalagi ketika dibandingkan dengan produk rokok lain yang terpaksa menaikkan harganya demi mengimbangi kenaikan cukai.

Perseroan melihat adanya peningkatan minat pada produk tembakau iris selama periode pelemahan daya beli akibat pandemi. Hal ini juga diakui oleh produsen rokok papan atas seperti PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP).

Manajemen HMSP mengakui adanya tren down shifting akhir-akhir ini, yakni perpindahan perokok ke produk dengan cukai dan harga lebih murah. Hal ini menyebabkan terjadi penurunan pangsa pasar HMSP sebesar 1,3 bps menjadi 28% sepanjang paruh pertama tahun ini saja.

 

Kinerja Membaik

Kondisi yang tengah menguntungkan bagi bisnis ITIC menjadikan perseroan selama periode pandemi cenderung jauh mengungguli kinerja emiten rokok lainnya. Meskipun skala usaha emiten ini masih relatif kecil, demikian pula nilai pendapatan dan labanya, pertumbuhan kinerjanya justru paling tinggi.

Pada 2020 lalu, ITIC berhasil mengerek kinerja pendapatan hingga tumbuh 34,7% year-on-year (YoY) menjadi Rp224,2 miliar, serta membalikkan kinerja rugi bersih Rp7 miliar pada 2019 menjadi laba Rp6,12 miliar pada 2020.

Padahal, saat itu kinerja emiten rokok besar justru terpukul. Sebagai contoh, PT Gudang Garam Tbk.  (GGRM) pada 2020 hanya mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 3,6% YoY, sedangkan laba bersihnya anjlok 29,7% YoY.

Demikian pula PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP), pendapatannya merosot turun 12,9% YoY, sedangkan laba bersihnya anjlok 37,5% YoY. Ini terjadi akibat lonjakan cukai yang besar mencapai 23% sepanjang 2020.

Pada paruh pertama tahun ini, kondisi belum banyak berubah. Bahkan, dengan tambahan kenaikan cukai sebesar rata-rata 12,5%, beban cukai emiten rokok menjadi kian berat. Di sisi lain, tidak mudah bagi mereka untuk begitu saja menaikkan harga, sebab daya beli masyarakat masih tertekan akibat pandemi.

Akibatnya, margin laba bersih mereka tergerus signifikan. Sebagai contoh, margin laba bersih atau net profit margin (NPM) GGRM pada paruh pertama tahun ini hanya 3,8%, padahal pada 2019 lalu masih sebesar 9,8%.

Perlu diingat, kenaikan tarif cukai 2021 sebesar 12,5% ini adalah kenaikan rata-rata tarif cukai. Kenyataannya, untuk produk SKM dan SPM, kenaikannya jauh lebih tinggi, yakni berkisar antara 13,8% hingga 18,4%, sedangkan untuk SKT dan tembakau iris justru 0% atau tidak naik.

Kenaikan tertinggi yakni pada SPM Golongan I dan IIB, serta SKM Golongan I, masing-masing 18,4%, 18,1%, dan 16,9%. Emiten rokok papan atas justru kebanyakan bermain di segmen rokok ini, sehingga mengalami tekanan kinerja yang dalam.

Sebaliknya, ITIC yang fokus di segmen tembakau iris justru diuntungkan. Hal ini memungkinkan perseroan untuk mengerek kinerjanya lebih tinggi lagi tahun ini. Berikut ini kinerja keuangan ITIC dalam beberapa tahun terakhir:

Dari data tersebut terlihat bahwa pendapatan ITIC terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, kinerja labanya tidak konsisten. Kadang untung, kadang rugi. Namun, pada 2020 lalu perseroan berhasil mencetak keuntungan di saat emiten rokok lain menderita penurunan kinerja.

Sementara itu, pada paruh pertama tahun ini, laba bersih ITIC sudah melampaui kinerja setahun penuh 2020. Ini adalah capaian laba bersih tertinggi ITIC untuk periode paruh pertama. Meskipun nilainya masih kecil, yakni hanya Rp6,34 miliar, tetapi tingkat pertumbuhannya mencapai 38,2% YoY.

Selain itu, dari sisi margin atau NPM juga terjadi peningkatan pesat, meskipun memang belum setinggi periode 2017-2018. Realisasi kinerja ini mengonfirmasi bahwa kondisi pandemi memberikan keuntungan bagi ITIC.

 

Optimisme ITIC

Melihat kinerjanya yang kuat pada paruh pertama tahun ini, manajemen ITIC optimistis hingga akhir tahun nanti akan mampu mempertahankan tren ini. Pada dasarnya, kenaikan kinerja tidak saja ditopang oleh peningkatan penjualan, tetapi juga kemampuan perusahaan dalam mengendalikan biaya.

Oleh karena itu, perseroan yakin mampu memanfaatkan momentum pertumbuhan yang ada saat ini dengan seoptimal mungkin, sehingga dapat bertumbuh lebih cepat dan bertahan lebih kuat pada periode pascapandemi nantinya.

Meskipun pendapatannya baru tumbuh 6,4% YoY pada paruh pertama tahun ini, perseroan optimistis pada sisa tahun ini dapat memacunya lebih tinggi lagi sehingga dapat mencapai target pertumbuhan 10% YoY.

Perseroan tengah memaksimalkan strategi posisi harga agar dapat memanfaatkan momentum tekanan pendapatan rumah tangga dan kenaikan cukai pada rokok dari tier yang lebih tinggi.

Seiring dengan itu, perseroan berupaya menjaga kualitas produk agar pengalaman awal para pengguna baru benar-benar positif. Dengan demikian, mereka dapat menjadi pelanggan rutin bagi produk perseroan.

Saat ini, ITIC masih mempertahankan posisi pangsa pasar yang kuat di wilayah Papua, Sulawesi, Kalimantan, dan Nusa Tenggara. Perlahan tapi pasti, perseroan juga mulai memantapkan posisi di pasar baru Sumatra dan Maluku.

ITIC telah menikmati tarif cukai yang tetap dalam 4 tahun terakhir, sehingga telah memiliki keuntungan kompetitif dibandingkan dengan produsen rokok papan atas. Meskipun demikian, pangsa pasar ITIC masih jauh lebih kecil dibandingkan dengan pemain-pemain besar tersebut.

Oleh karena itu, jika tahun depan pemerintah memutuskan untuk kembali menaikkan tarif cukai, ITIC tidak begitu khawatir. Sebab, hampir pasti kenaikan yang terjadi di produk rokok tier atas akan lebih tinggi ketimbang produk tembakau iris perseroan.

Hal ini hanya akan kian memperlebar selisih harga antara produk rokok kelas atas dengan tembakau iris perseroan. Hal ini kemungkinan dapat makin mendorong peningkatan pangsa pasar perseroan seiring dengan makin bergesernya preferensi konsumsi rokok masyarakat ke produk yang lebih terjangkau.

Adapun, sinyal kenaikan tarif cukai tahun depan sudah mulai terlihat sejak pembacaan nota keuangan pada pertengahan Agustus 2021 lalu, pemerintah menargetkan penerimaan cukai pada 2022 sebesar Rp203,92 triliun. Nilai itu 11% lebih tinggi ketimbang outlook tahun ini.

 

Saham Lesu

Kendati demikian, kondisi tersebut tidak otomatis menjadikan saham ITIC menjadi incaran investor. Justru, saham ITIC ikut terseret oleh sentimen negatif yang membayangi industri rokok saat ini.

Sepanjang tahun berjalan hingga sesi I perdagangan hari ini, Kamis (16 September 2021), saham ITIC telah melemah 48,92% year-to-date (YtD) ke level Rp332. Ini relatif sejalan dengan pelemahan yang terjadi pada emiten rokok lain.

GGRM, misalnya, turun 22,2% YtD ke level Rp31.900, sedangkan HMSP turun 34,55% YtD menjadi Rp985. Saham PT Wismilak Inti Makmur Tbk. (WIIM) juga melemah, meski tipis, yakni -8,15% YtD menjadi Rp496.

Sementara itu, saham PT Bentoel International Tbk. (RMBA) turun 10% YtD, tetapi masih disuspensi akibat rencana delisting.

Penurunan tajam saham ITIC terjadi terutama setelah pembacaan nota keuangan dan RAPBN 2022. Sahamnya segera turun dari level Rp400-an menjadi Rp200-an. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pelaku pasar tidak melihat adanya keuntungan kompetitif bagi ITIC jika cukai naik.

Meskipun demikian, pemerintah belum mengumumkan secara resmi rentang kenaikan tarif cukai hasil tembakau untuk tahun depan. Oleh karena itu, kita juga belum tahu apakah tembakau iris akan kembali mendapatkan keistimewaan dan tidak mengalami kenaikan tarif, atau justru ikut terkena kenaikan.

Mungkin setelah pengumuman resmi tersebut disampaikan, kita dapat lebih berimbang menilai prospek saham ITIC.

Meskipun demikian, perusahaan ini tampaknya bukanlah perusahaan yang cukup getol dalam upaya diversifikasi bisnis, melainkan cukup setia dengan produknya. Pangsa pasarnya pun tetap kecil meski sudah beroperasi puluhan tahun. Hal ini bukanlah ciri perusahaan yang ideal.

Kini di saat sejumlah pemain baru di industri rokok bermunculan, terutama rokok elektrik, ITIC masih setia dengan produk lamanya. Di satu sisi, penggemar setia produk rokok linting sendiri mungkin akan tetap ada. Namun, ada alasan mengapa produk ini tidak banyak peminat, yakni kurang praktis.

Tanpa upaya diversifikasi bisnis yang signifikan, tampaknya kinerja keuangan ITIC akan di situ-situ saja. Meskipun mampu mencetak kenaikan laba hingga puluhan persen, butuh waktu sangat lama bagi ITIC untuk dapat mengerek labanya hingga mencapai Rp100 miliar per tahun.