Menakar Dampak PPKM Darurat pada Kinerja Pasar Saham

Date:

Keputusan pemerintah menetapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat pada 3—20 Juli 2021 sempat direspons negatif oleh pasar. Pada awal sesi kedua perdagangan hari Kamis, 1 Juli 2021, IHSG menukik ke level 5.969,26 bersamaan pengumuman keputusan pemerintah itu.

Akan tetapi, pada akhir perdagangan di hari yang sama, IHSG justru kembali meningkat dan berakhir di zona positif. Kini, IHSG sudah kembali bergerak ke level 6.000. Pada sesi pertama perdagangan hari ini, Selasa, 6 Juli 2021, IHSG bahkan sudah meningkat lagi 0,51% ke level 6.036,32.

PPKM Darurat yang berlangsung cukup lama, yakni hampir 3 pekan, jelas bakal berdampak pada prospek pemulihan ekonomi Indonesia. Indonesia seakan mengalami badai tak berkesudahan. Lonjakan kasus Covid-19 disertai tingkat okupansi tempat tidur yang hampir penuh membuat keadaan jadi tak terkendali.

Setidaknya dalam seminggu terakhir, sudah lebih dari 120.000 kasus terkonfirmasi. Bahkan beberapa kali mencetak rekor harian dengan positivity rate yang mengkhawatirkan. Wajar jika kondisi saat ini membuat kita semua ketar-ketir. Tak hanya soal pandemi, tapi ancaman resesi yang mungkin akan terulang tahun ini.

Tentu kita ingin pandemi cepat selesai, hidup bahagia dan ekonomi kembali pulih. 

Secara umum, PPKM Darurat kali ini lebih ketat dibandingkan dengan pembatasan aktivitas masyarakat yang selama ini berlaku. Beberapa sektor ekonomi seperti transportasi, properti, ritel, jalan tol, perhotelan, dan restoran kini tak dapat beroperasi optimal.

Kita juga belum dapat memastikan, apakah PPKM Darurat akan benar-benar berakhir pada 20 Juli 2021 mendatang atau justru bakal kembali diperpanjang karena lonjakan kasus baru Covid-19 belum terkendali.

Kondisi demikian melenyapkan harapan pulih lebih cepat. Pemerintah bahkan sudah merevisi target pertumbuhan kuartal III yang berada di angka 3,7 sampai 4,5 persen dari semula 4,5% - 5,3%. 

Tidak ada yang lebih penting dari pengendalian pandemi. Mengapa? Jika keadaan seperti ini terus berulang, harapan untuk tumbuh tentu hanya mimpi dan bualan. Pertumbuhan ekonomi hanya bisa ditopang dengan aktivitas dan mobilitas. Pelaku ekonomi memiliki pemikiran yang rasional. Tindakan rasional tentu didasari pada situasi yang baik-baik saja.

Meski PPKM Darurat hanya berlaku di Jawa dan Bali, tetapi kontribusi ekonomi kedua kawasan ini mencakup 60% ekonomi nasional. 

Sejauh ini, kinerja IHSG yang positif mengonfirmasi bahwa pasar merestui langkah pemerintah ini. Kondisi ekonomi bisa jadi bakal lebih parah jika kebijakan ini lebih lambat diambil.

Namun, dengan kinerja keuangan korporasi yang bakal terancam melemah pada paruh kedua tahun ini, seberapa besar prospek peningkatan kinerja IHSG?

Lama Stagnasi

IHSG menutup paruh pertama 2021 dengan kinerja stagnan. Hingga akhir Juni 2021, IHSG hanya tercatat meningkat 0,11% year to date (ytd) ke level 5.985,49. Peningkatan IHSG ini ditopang oleh emiten-emiten berkapitalisasi pasar kecil-menengah dan dari kalangan emiten di papan pengembangan.

Hal ini terlihat dari kinerja indeks IDX SMC Composite yang naik 8,97% ytd serta indeks Development Board yang melesat 49,75% ytd. Mayoritas emiten-emiten besar justru melemah. Alhasil, kinerja indeks-indeks tematis lain yang berisi saham-saham big caps semuanya memerah.

Sebagai contoh, LQ45 terkoreksi -9,63% ytd, IDX30 -10,34% ytd, dan IDX80 -10,20% ytd. Indeks Papan Utama atau Main Board tercatat turun 7,28% ytd. Kinerja saham-saham yang rajin membagikan dividen yang tergabung dalam indeks IDX High Dividend 20 juga terkoreksi 10,82% ytd.

Tampaknya, kondisi ekonomi sepanjang tahun ini belum cukup meyakinkan bagi pasar untuk dapat mengapresiasi saham emiten-emiten yang ada di bursa. Mayoritas saham-saham yang naik harganya lebih didorong oleh spekulasi atas dasar sentimen, terutama terkait digital dan teknologi.

Dua indeks sektoral dengan kinerja tertinggi di bursa pada semester pertama tahun ini yakni IDX Sector Technology yang naik 860,98% ytd dan IDX Sector Financials yang naik 4,75% ytd. Kenaikan di sektor finansial terdorong oleh lonjakan harga bank-bank kecil yang ingin bertransformasi menjadi bank digital. Kondisi serba digital dan keadaan yang membatasi seseorang untuk tatap muka juga menjadi alasan.

Meskipun kenaikan harga mereka sangat tinggi, tetap saja tidak cukup untuk mengimbangi tekanan kinerja dari kalangan emiten-emiten besar. Artinya, jika ingin mengharapkan IHSG dapat berkinerja tinggi tahun ini, pemulihan nyata harus terjadi pada bisnis emiten-emiten besar tersebut, bukan hanya sentimen.

Prospek Pasar Setelah PPKM Darurat

Selama pandemi masih berlanjut, volatilitas pasar akan sulit mereda. Dengan demikian, sukar untuk memastikan apakah pasar akan cenderung terus menguat atau justru berbalik melemah pada semester kedua nanti.

Selain itu, kejenuhan terhadap pandemi dan pembatasan aktivitas pun berpotensi mendorong masyarakat untuk tidak begitu mempedulikan anjuran pemerintah. Jika kerumunan masih terjadi dan lonjakan kasus baru tidak kunjung turun, bukan tidak mungkin sentimen positif PPKM Darurat akan berbalik menjadi mimpi buruk.

Investor bisa saja menarik dananya sewaktu-waktu akibat pandemi tak berkesudahan dan melihat kondisi ekonomi Indonesia yang bakalan amburadul. Skenario tersebut tentunya tidak akan terjadi jika pandemi bisa ditangani dengan baik.  

Saat ini, pelaku pasar masih menanti data-data perekonomian. Sebelumnya, pasar mendapatkan data Indeks Kinerja PMI Manufaktur dan inflasi bulan Juni 2021 yang lebih rendah dari perkiraan.

Indeks PMI Manufaktur turun dari 55,3 menjadi 53,5, sedangkan inflasi turun dari 1,68% menjadi 1,33%. Pelemahan kemungkinan bakal berlanjut pada bulan ini akibat PPKM Darurat. Mimpi pemulihan ekonomi pun harus tertunda lebih lama.

Kini, pasar masih menanti rilis kinerja ekonomi kuartal II/2021. Pemerintah masih PD kinerja ekonomi kuartal II/2021 tumbuh sekitar 7%, lebih rendah dari proyeksi awal di kisaran 7,1%-8,3%. Namun, kinerja yang tinggi ini jelas tak akan berlanjut pada semester kedua tahun ini.

Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menyampaikan bahwa pemerintah memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi kuartal III/2021 menjadi hanya 4% dari semula 6,5%.

Proyeksi itupun didasarkan pada asumsi moderat, yakni jika kenaikan kasus baru Covid-19 sudah dapat dikendalikan pada bulan ini dan aktivitas masyarakat sudah kembali berjalan normal pada Agustus 2021 nanti. 

Jika proyeksi pemerintah ini berjalan sesuai harapan, maka ada kemungkinan IHSG akan bangkit lagi, terutama jika emiten-emiten besar melaporkan kinerja yang positif pada kuartal II/2021 lalu.

Saat ini, negara-negara tujuan ekspor Indonesia, seperti Amerika Serikat dan Eropa, mulai mencatatkan kinerja positif setelah cukup berhasil menangani pandemi. Kinerja ekspor Indonesia pada Mei 2021 lalu mencapai US$16,60 miliar.

Nilai tersebut memang turun 10,25% dibandingkan dengan bulan sebelumnya, tetapi jika dibandingkan dengan Mei 2020, telah terjadi lonjakan drastis sebesar 58,76% year on year (yoy). Sayangnya, PPKM Darurat akan menghambat laju kinerja manufaktur Indonesia, sehingga laju ekspor pun bakal tertahan.

Pasar berharap pada efektivitas dan respon cepat pemerintah. Setidaknya, kebijakan PPKM Darurat menjadikan pelaku pasar dapat mengukur dampak kenaikan kasus pandemi ini dengan lebih baik, ketimbang jika pemerintah tidak memberlakukannya.

Sebab, ketidakpastian akan lebih parah tanpa PPKM Darurat dan mengganggu stabilitas kurs. Sepekan terakhir, kinerja rupiah cenderung menguat.

Pasar kemungkinan akan terdorong oleh kinerja emiten-emiten dari sektor yang tidak terdampak pandemi atau yang diuntungkan oleh pandemi, seperti kesehatan, teknologi, telekomunikasi, bank digital, pangan, pertanian, komoditas, dan e-commerce.

Oleh karena itu, jika pelaku pasar ingin menikmati potensi return di tengah tekanan pasar, sektor-sektor itu dapat menjadi pilihan yang lebih masuk akal.

Selain itu, masih berlanjutnya program vaksinasi juga turut memberikan harapan. Untuk menciptakan herd immunity, pemerintah kabarnya bakal getol mendorong pelaksanaan vaksinasi hingga 2 juta per hari. Pada Oktober-November bahkan akan didorong menjadi 3 juta per hari.

Vaksinasi sejauh ini telah menjadi tiket bagi kesembuhan ekonomi Eropa, sehingga diharapkan percepatan di Indonesia pun bakal mampu menyusul pemulihan itu. World Bank telah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi global akhir tahun ini bakal mencapai 5,6%, sedangkan IMF 6%.

Jika ekonomi dunia membaik, Indonesia pun bakal ikut terdampak. Namun, kuncinya Indonesia harus mampu keluar dari tekanan peningkatan kasus baru Covid-19, sehingga geliat manufaktur kembali meningkat dan mampu mendorong ekspor.

Harga komoditas global kini telah bergerak ke level yang sangat tinggi. Sebagai contoh, harga batu bara acuan (HBA) Kementerian ESDM untuk bulan Juli 2021 ada di level US$115,35 per ton, naik 14,97% dari bulan sebelumnya yang sebesar US$100,33 per ton. Ini adalah level harga tertinggi sejak Desember 2011.

Sebagai negara pengekspor komoditas, prospek kinerja ekonomi Indonesia masih tetap menjanjikan. Kondisi ini pun tidak terlepas dari kembali menggeliatnya aktivitas ekonomi global.

Lagi pula, dari dalam negeri pun pemerintah tidak tinggal diam dalam memacu ekonomi, antara lain dengan mengerek porsi alokasi anggaran stimulus guna memastikan daya beli masyarakat tidak tertekan dan penanganan pandemi tetap optimal.

Jelas bahwa PPKM Darurat ini menuntut ongkos ekonomi yang besar, tetapi jika berhasil, dampaknya akan positif bagi ekonomi. Lagi pula, berjalannya vaksinasi masih memberikan harapan bahwa kondisi ini bakal segera berlalu.

Dengan demikian, harapan bagi pemulihan kinerja pasar jelas masih ada tahun ini. Bahkan, sejumlah analis pun masih cukup yakni IHSG akan mampu bergerak hingga lebih dari 6.500 pada tahun ini. Setidaknya, PPKM Darurat ini belum mendorong banyak analis untuk memangkas proyeksi mereka dan menjadikan kita lebih realistis menghadapi tahun yang serba tak pasti