Menerka Daya Tahan Berkah Panasnya Harga CPO bagi Emiten Perkebunan

Date:

Pergerakan harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) global akhir-akhir ini terus meningkat, bahkan mencapai level rekor baru. Kendati dalam beberapa kesempatan terkoreksi, harga CPO hampir selalu memantul lebih tinggi lagi di hari-hari selanjutnya dalam beberapa waktu belakangan.

Hal ini menjadi sentimen yang sangat positif bagi emiten-emiten di sektor perkebunan serta bagi ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Bagaimanapun, sawit dan CPO merupakan salah satu komoditas unggulan ekspor Indonesia. Kenaikan harganya bakalan meningkatkan devisa negara.

Oleh karena itu, wajar juga jika pasar melihat CPO sebagai salah satu sentimen utama pendongkrak kinerja IHSG. Sebab, kinerja yang membaik pada komoditas ekspor andalan ini bakal memiliki dampak turunan yang besar pada industri-industri lainnya.

Berdasarkan pergerakan harga di Bursa Malaysia, harga CPO hingga 3 November 2021 ada di level 5.446 ringgit per ton. Harga tersebut naik lagi sebesar 0,85% dibandingkan dengan harga hari sebelumnya. Level harga tersebut sekaligus menjadi rekor baru untuk harga CPO.

Sebagai pembanding, pada akhir 2020 lalu, harga CPO ada di level 3.891 ringgit per ton. Artinya, dengan harga terkini, harga CPO sudah naik 40% year-to-date (YtD). Sebelumnya, puncak pertama harga CPO terjadi pada 7 Mei 2021 lalu yakni 4.883 ringgit per ton, tetapi anjlok ke level 3.559 ringgit per ton pada 14 Juni 2021. Lonjakan harga yang pesat baru dimulai kembali pada paruh kedua tahun ini.  Lihat di sini untuk indeks CPO.

Dinamika harga CPO yang memanas akhir-akhir ini tidak terlepas dari faktor krisis energi yang terjadi di dunia. CPO merupakan salah satu komponen energi alternatif biodiesel, kendati penggunaannya sebagai sumber energi belum semasif minyak bumi dan batu bara.

Namun, di saat harga sumber energi utama melonjak, tentu sebagian pelanggan akan beralih ke energi alternatif. Alhasil, permintaan terhadap energi alternatif pun ikutan meningkat. Seiring dengan itu, harganya pun ikut melonjak.

Di sisi lain, CPO sendiri tidak hanya digunakan sebagai sumber energi, tetapi juga komponen utama untuk banyak produk barang konsumsi lainnya. Di tengah tren pemulihan ekonomi global, kebutuhan terhadap CPO sebagai bahan baku untuk berbagai produk tersebut pun ikut meningkat.

 

Seberapa Lama Sentimen Positif Bertahan?

Kinerja harga CPO akan sangat bergantung pada perkembangan harga komoditas utama energi, seperti minyak bumi, batu bara, dan gas. Jika harga komoditas-komoditas itu masih tetap tinggi, harga CPO pun hampir pasti akan bertahan di level atas.

Selama ini, komoditas-komoditas energi utama itu terkendala oleh pasokan yang terbatas, sebab selama pandemi banyak produsen yang menurunkan kapasitas produksinya sesuai dengan kondisi pasar. Kini, di saat ekonomi mendadak bangkit, butuh waktu bagi produsen untuk menyesuaikan lagi kapasitas mereka.

Di sisi lain, saat ini sudah masuk musim hujan di daerah tropis seperti Indonesia dan Malaysia. Hal ini turut berimbas pada sulitnya proses produksi akibat cuaca yang tidak mendukung. Alhasil, kemungkinan persoalan pasokan ini akan berlanjut hingga setidaknya kuartal pertama 2022.

Selain itu, ketidakpastian pandemi masih menyebabkan negara-negara produsen melakukan lockdown tiap kali ada indikasi peningkatan kasus baru. Selama ini, salah satu hambatan produksi CPO yakni kekurangan panen di Malaysia sebagai dampak dari lockdown dan kurangnya tenaga kerja. Alhasil, banyak buah yang busuk di pohon.

Kalaupun harga komoditas akhirnya turun, penurunannya diyakini tidak begitu sedrastis. Dengan kata lain, secara rata-rata harga jual komoditas masih akan jauh lebih tinggi ketimbang tahun lalu. Hal ini bakal menguntungkan bagi produsen-produsen komoditas ini.

Sebagai contoh, emiten sawit PT Sampoerna Agro Tbk. (SGRO) menjual CPO dengan rata-rata harga Rp10,290 per kilo gram dalam 9 bulan tahun ini. Harga ini rata-rata 25% lebih tinggi ketimbang rata-rata harga periode yang sama tahun 2020 lalu. Sementara itu, harga jual rata-rata inti sawit atau palm kernel (PK) juga naik 49% YoY menjadi Rp6.521 per kg.

Kenaikan harga ini diikuti pula oleh peningkatan penjualan. SGRO mencatat volume penjualan CPO dan PK naik masing-masing 39% dan 38% secara tahunan pada 9 bulan tahun ini.

Penurunan harga kemungkinan akan terjadi jika cuaca kembali mendukung dan aktivitas produksi komoditas energi kembali lagi seperti kondisi normal sebelum pandemi. Artinya, pasokan sudah kembali tinggi dan rasio permintaan dan penawaran pun relatif kembali seimbang.

Adapun, pasokan produksi CPO di Malaysia sendiri kemungkinan baru akan kembali normal pada paruh kedua 2022 nanti.  Hal ini seiring dengan rencana pemerintah Malaysia untuk melonggarkan pembatasan kedatangan pekerja asing pada periode tersebut.

Hal ini bakal meringankan beban kekurangan tenaga kerja di kebun sawit yang selama ini menjadi salah satu faktor penghambat produksi. Selama ini, produksi CPO dari Malaysia selaku negara produsen terbesar kedua di dunia anjlok ke level terendah dalam 5 tahun terakhir akibat faktor tenaga kerja ini.

Di luar itu, bagi Indonesia sendiri, sentimen positif bagi harga CPO bakal panjang, terutama dengan rencana pemerintah untuk memfokuskan konsumsi CPO di dalam negeri untuk pengembangan energi alternatif biodiesel.

Sejatinya, kebijakan B30 atau bauran CPO dalam sumber energi bahan bakar minyak jenis solar sebesar 30% menjadi salah satu sentimen yang telah memanaskan harga CPO tahun ini. Seperti diketahui, kebijakan ini bersifat mandatory atau wajib oleh pemerintah sejak awal 2020.

Program ini merupakan peningkatan dari B20 yang berlaku pada 2019. Kebijakan ini pun bersifat jangka panjang sehingga bakal meningkatkan stabilitas terhadap kebutuhan CPO di masa depan.

Pada Januari 2021 lalu, PT Pertamina telah menguji produksi green diesel yang menggunakan refined, bleached, and deodorized palm oil [RBDPO] dengan kebutuhan 6 ribu barel CPO per hari menjadi green avtur mulai Desember 2022.

Hal ini menjadikan potensi permintaan CPO bakal tetap tinggi di masa mendatang dari dalam negeri saja. Dengan demikian, untuk harga CPO dapat bertahan di atas level 4.000 ringgit per ton tampaknya tidak mustahil.

Sebelumnya, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) memproyeksikan, produksi CPO Indonesia sepanjang 2021 mengalami kenaikan 3,5% YoY menjadi 49 juta ton dari realisasi tahun lalu yang hanya sebanyak 47,4 juta ton.

Untuk konsumsi domestik berupa produk oleopangan, permintaan minyak sawit diperkirakan akan tumbuh 2% YoY menjadi 8,4 juta ton. Sementara itu, untuk produk oleokimia, Gapki memperkirakan akan terjadi kenaikan 14% YoY dari 1,57 juta ton menjadi 1,8 juta ton tahun ini.

Di sisi lain, pasar ekspor juga luas seiring dengan pelonggaran lockdown di negara-negara konsumen minyak nabati seperti China, serta adanya kebijakan pengurangan pajak impor dari India.

 

Prospek Emiten Kebun

Seiring dengan prospek harga komoditas yang masih cerah hingga awal tahun depan, kinerja keuangan dan saham emiten-emiten perkebunan juga turut menjanjikan di masa mendatang. Lagi pula, kinerja keuangan sejumlah emiten ini pun terbukti sangat baik pada periode 9 bulan tahun ini.

Saat ini, setidaknya ada tujuh emiten sawit yang sudah merilis kinerja keuangan mereka, yakni PT Astra Agro Lestari Tbk. (AALI), PT Austindo Nusantara Jaya Tbk. (ANJT), PT Dharma Setya Nusantara Tbk. (DSNG), PT Mahkota Group Tbk. (MGRO), PT Sampoerna Agro Tbk. (SGRO), PT Triputra Agro Persada Tbk. (TAPG), dan PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk. (SMAR).

Berikut ini perbandingan kinerja laba bersih mereka untuk periode 9 bulan tahun ini:

Dari data tersebut terlihat bahwa kinerja laba semua emiten sawit yang telah merilis laporan keuangannya mencatatkan kenaikan yang luar biasa, bahkan hingga ribuan persen secara tahunan.

Selain emiten-emiten tersebut, emiten-emiten sawit lain yang belum merilis laporan keuangannya untuk periode September 2021 juga sudah menunjukkan sinyal penguatan sejak paruh pertama tahun ini.

Sebagai contoh, dua emiten sawit besar dari Grup Salim, yakni PT PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Indonesia Tbk. atau Lonsum (LSIP) dan PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP).

Laba LSIP pada semester I/2021 tercatat Rp501 miliar, meroket 445%, sedangkan SIMP berhasil membalikkan rugi senilai Rp301 miliar pada semester I/2020 menjadi laba Rp219 miliar pada periode yang sama tahun ini.

Dari data-data tersebut, terbukti bahwa emiten sawit memang sedang menikmati untung besar saat ini. Kondisi ini mengompensasi tekanan yang terjadi di bisnis mereka tahun lalu. Bahkan, dengan prospek harga CPO yang masih menjanjikan di masa mendatang, laju pertumbuhan yang tinggi ini pun kemungkinan masih bakal berlanjut.

Pertanyaan selanjutnya lantas, bagaimana dengan prospek saham mereka?

Secara teoritis, tentu saja kenaikan kinerja mestinya berdampak positif terhadap kinerja saham mereka. Jika diperhatikan di pasar, sejauh ini pun pergerakan harga saham emiten sawit cukup tinggi. Meskipun demikian, menariknya, tidak semua emiten terimbas oleh sentimen positif ini.

Dari data tersebut, terlihat bahwa belum semua emiten sawit berhasil kembali menembus zona positif, kendati sudah menunjukkan tanda-tanda peningkatan akhir-akhir ini. Di sisi lain, sejumlah emiten sudah berhasil mencatatkan peningkatan harga yang sangat tinggi, bahkan AALI hingga tiga digit.

Namun, menimbang bahwa prospek kenaikan harga CPO masih akan berlanjut, bisnis emiten-emiten ini pun masih akan dalam kondisi terbaiknya dalam beberapa waktu ke depan. Hal ini masih memberikan ruang bagi peningkatan lanjutan kinerja sahamnya.

Hanya saja, bayang-bayang koreksi tentu saja selalu terbuka. Apalagi, harga komoditas terkenal dengan fluktuasinya. Peningkatan harga hampir selalu akan diikuti oleh penurunan harga. Apalagi, kondisi kenaikan harga yang terjadi saat ini pun tidak terlepas dari kondisi luar biasa akibat lockdown.

Jika kondisi luar biasa itu berakhir, dinamika pasar tentu akan kembali ke kondisi normal. Hal ini mungkin saja bakal membawa koreksi pada kinerja keuangan emiten-emiten ini, termasuk tentu saja sahamnya.