Mengapa BUMN Sulit IPO Saham?

Date:

[Waktu baca: 6 menit]

Dari lebih 100 BUMN di Indonesia, hanya sekitar belasan BUMN yang sudah melakukan penawaran umum perdana (IPO) saham. BUMN terakhir yang IPO adalah perusahaan semen yang berbasis di Sumatera Selatan yaitu Semen Baturaja (SMBR) pada 2013 di masa kepempimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Dengan kata lain, sepanjang 2014-2020, tidak ada satupun BUMN yang melakukan aksi korporasi IPO tersebut. Periode tersebut adalah periode dimana Presiden Joko Widodo memimpin pemerintahan yang terbagi dalam dua fase, periode pertama (2014-2019) dan periode kedua (2019-2024).

Di saat perusahaan swasta banyak melakukan aksi korporasi ini untuk menggalang dana segar, BUMN memilih untuk tidak melakukannya. Sebagian BUMN lebih memilih melepas anak-anak perusahaannya untuk melakukan IPO. Mengapa BUMN sulit melakukan IPO? Apa saja hambatannya? Apa keuntungan melakukan IPO? Mari kita ulas.

IPO BUMN adalah Keputusan Politik

Pada dasarnya, IPO adalah sebuah kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan untuk mendapatkan dana segar dari pasar modal. Dalam proses IPO, suatu perusahaan menjual sebagian sahamnya kepada masyarakat untuk mendapatkan dana yang akan digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari pengembangan usaha sampai pelunasan utang.

IPO adalah kegiatan yang sangat lazim dilakukan oleh perusahaan di seluruh dunia, bukan hanya Indonesia. Sejak pasar modal diaktifkan kembali oleh Presiden Soeharto pada 1977 sampai Mei 2021, jumlah perusahaan Indonesia yang telah melakukan IPO mencapai lebih dari 700 perusahaan. Dari jumlah tersebut, perusahaan yang berstatus sebagai BUMN yang telah IPO hanya belasan perusahaan, begitupula dengan anak usaha BUMN. 

Daftar IPO BUMN

Apakah IPO itu bermanfaat? Ditinjau dari aspek manfaatnya, IPO bermanfaat bagi berbagai pihak, mulai dari masyarakat, pemerintah, pemegang saham dan perusahaan itu sendiri, kendati demikian tidak sedikit yang menganggap IPO merupakan aktivitas yang tidak murah karena harus merogoh kocek untuk membayar berbagai jasa sebagai bagian dari kewajiban perusahaan publik.

Bagi masyarakat, IPO memungkinkan masyarakat biasa menjadi pemilik dari perusahaan itu dengan cara membeli sahamnya. Masyarakat yang dimaksud bukan hanya investor ritel yang membeli satu atau puluhan lot, tapi juga dana pensiun, manajer investasi atau perusahaan asuransi yang mengelola dana ratusan miliar hingga triliunan Rupiah.

Bagi perusahaan, IPO memungkinkan perusahaan itu mendapatkan dana segar yang dapat digunakan untuk mengembangkan perusahaannya. Dana itu bisa dipakai sebagai modal kerja yang dapat dipakai untuk membawa perusahaan ke level yang lebih tinggi. Jika dimanfaatkan dengan tepat, dana itu akan dapat menumbuhkan perusahaan menjadi lebih besar lagi.

Jika perusahaan membesar maka potensi pajak yang dibayarkan kepada pemerintah berpotensi semakin besar. Pajak itu dapat dipakai oleh pemerintah untuk mendanai APBN untuk pembangunan. Potensi pajak menjadi potensi manfaat IPO bagi pemerintah. Sementara itu, bagi pemegang saham, perusahaan yang semakin tumbuh berpotensi menghasilkan laba besar yang akan diikuti peningkatan harga saham serta dividen.

Kendati berbagai manfaat itu sering dikampanyekan oleh berbagai pihak seperti Bursa Efek Indonesia atau Otoritas Jasa Keuangan, tidak serta merta BUMN bisa melakukan IPO dengan mudahnya. Tidak seperti perusahaan swasta yang saham perusahaannya tidak dikuasai oleh pemerintah, IPO BUMN tidaklah mudah, jika tidak ingin mengatakan sangat sulit.

Salah satu perbedaan utama IPO BUMN dan perusahaan swasta adalah persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. IPO perusahaan swasta hanya membutuhkan izin dari pemegang saham mayoritas atau pengendali dan tidak perlu membutuhkan persetujuan DPR. Sebaliknya, BUMN membutuhkan persetujuan DPR dalam melakukan aksi korporasi seperti right issue dan IPO.

Seperti diketahui, berdasarkan UU No.19/2003 tentang BUMN, rencana IPO atau privatisasi BUMN harus dibahas oleh Komite Privatisasi yang dipimpin oleh Menteri Koordinator Perekonomian dan beranggotakan sejumlah menteri lainnya. Dalam peraturan turunan UU tersebut yaitu PP No.33/2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan, pemerintah menjelaskan mengenai peran DPR dalam privatisasi BUMN.

"....dalam melaksanakan program Privatisasi, Pemerintah tidak dapat bertindak sendiri. Terhadap perusahaan yang telah diseleksi dan memenuhi kriteria yang telah ditentukan perlu dikonsultasikan terlebih dahulu kepada DPR-RI. Hal ini perlu dilakukan untuk mengurangi resistensi dari masyarakat luas karena DPR-RI merupakan representasi dari masyarakat Indonesia. Konsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dilakukan dengan harapan pelaksanaan Privatisasi dapat dilaksanakan dengan lancar."

Dari kutipan itu diketahui secara jelas bahwa IPO BUMN tidak hanya melibatkan pemerintah, tapi juga melibatkan DPR. Lalu kenapa jika DPR terlibat? Bisa dipastikan proses IPO itu memakan waktu yang begitu lama mengingat banyaknya rapat yang perlu digelar. Tidak semua anggota DPR, apalagi dari partai yang berbeda-beda, dalam suatu komisi memiliki pandangan yang sama menghadapi suatu isu.

Proses rapat aksi korporasi BUMN bisa memakan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Kemesraan hubungan antara pemerintah dan DPR juga sangat menentukan keberhasilan proses rapat tersebut. Jika Menteri BUMN "dibenci" oleh DPR seperti yang pernah terjadi di era Rini Soemarno, aksi korporasi bisa sangat terhambat. Singkat kata, dapat dibilang bahwa IPO BUMN adalah keputusan politik.

Sementara itu, tidak semua BUMN dapat diprivatisasi. Menurut penjelasan peraturan pemerintah yang dibuat di era Presiden SBY itu, BUMN yang dapat diprivatisasi sekurang-kurangnya memenuhi kriteria, yaitu industri/sektor usahanya kompetitif atau industri/sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah. 

"Sedangkan Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah Persero yang bidang usahanya berdasarkan peraturan perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN, Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara, Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh Pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat, dan Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi."

Membaca peraturan itu membuat kita paham mengapa BUMN raksasa seperti Pertamina, PLN dan sebagainya tidak melakukan IPO pada saat ini padahal potensinya begitu besar. Secara regulasi, IPO BUMN, termasuk BUMN yang mengelola sumber daya alam seperti itu, tidak memungkinkan untuk dilakukan, kecuali pemerintah mengubah peraturan itu dan berkomitmen memajukan perusahaan dengan cara IPO.

Di negara lain, perusahaan minyak milik negara diprivatisasi sebagai bagian dari upaya membesarkan perusahaan. Salah satu contohnya adalah "Pertamina Thailand" yaitu PTT. Sama seperti Pertamina di Indonesia, PTT juga dikuasai oleh pemerintah melalui Kementerian Keuangan. Pemerintah Thailand memutuskan melakukan IPO PTT sebagai bagian dari pengembangan perusahaan pada 2001.

Dalam peringkat perusahaan besar dunia yang disusun oleh Fortune, PTT kini berada di peringkat 140 dunia. Berapa peringkat Pertamina yang memiliki bisnis yang sama dengan PTT? 253! 

Momentum Politik

Selain soal regulasi yang masih menghambat dan belum diubah, persepsi publik mengenai IPO seringkali didistorsi oleh politisi dengan sentimen nasionalisme. Penjualan saham BUMN melalui proses IPO sering dituding sebagai bagian dari upaya menjual BUMN ke pihak asing. Padahal, faktanya tidak selalu demikian.

Dalam proses IPO BUMN, pemerintah tetap akan menjadi pemegang saham mayoritas dengan porsi kepemilikan lebih dari 51 persen. Porsi lainnya dapat dimiliki oleh investor dengan latar belakang yang beraneka ragam, bukan hanya investor asing, melainkan juga investor lokal dengan dana kelolaan yang tidak kecil seperti BPJS Ketenagakerjaan, Taspen, manajer investasi reksa dana hingga pengelola dana-dana pensiun. 

Di samping itu, porsi investor domestik kini juga lebih banyak daripada investor asing di BEI.  Dengan kata lain, IPO BUMN adalah upaya menjual saham BUMN kepada asing merupakan misinformasi yang memang seringkali dipakai untuk menjatuhkan kredibilitas pemerintah. 

Tidak mengherankan pemerintahan Jokowi tidak berani mengambil risiko melakukan IPO BUMN dalam periode pertama pemerintahan 2014-2019 di saat Jokowi sering dituduh lawan politik sebagai "antek asing". Melakukan IPO BUMN bukan tidak mungkin semakin mempertebal tuduhan "antek asing" tersebut.

Kemenangan Jokowi dalam Pemilihan Presiden 2019 seharusnya membuat pemerintahannya tidak lagi memiliki beban politik dalam melakukan privatisasi BUMN hingga 2024. Dukungan yang besar di parlemen dan solidnya aliansi politik seharusnya menjadi dasar yang kuat bagi pemerintahan Jokowi dalam melakukan IPO BUMN sebagai bagian dari pengembangan BUMN menjadi lebih besar sekaligus transparan.

Momentum yang langka ini tampaknya dimanfaatkan oleh Menteri BUMN Erick Thohir. Dalam pernyataan terbukanya belum lama ini, Erick menyatakan 14 perusahaan yang terdiri dari BUMN dan anak usaha BUMN akan melakukan IPO di masa mendatang. Dari 14 perusahaan itu, dua di antaranya adalah perusahaan yang berstatus sebagai BUMN yaitu Bio Farma dan Inalum, dan sisanya adalah anak usaha BUMN.

Baik Bio Farma maupun Inalum kini merupakan BUMN yang berstatus sebagai holding BUMN. Bio Farma mengelola holding BUMN farmasi dengan anggota antara lain Kimia Farma (KAEF) dan Indofarma (INAF), sedangkan Inalum mengelola holding BUMN tambang dengan anggota Bukit Asam (PTBA), Timah (TINS) dan Antam (ANTM).

Jika IPO Bio Farma dan Inalum itu dapat terealisasi sebelum berakhirnya masa pemerintahan Jokowi maka pemerintah ini berhasil menorehkan suatu noktah penting dalam sejarah BUMN. Namun, jika rencana itu menguap begitu saja seperti rencana IPO BUMN konstruksi Brantas Abipraya pada 2017-2018, maka publik lagi-lagi kehilangan kesempatan menjadi pemegang saham lebih banyak BUMN di Tanah Air ini.

 

Tags: