Menimbang Rencana GGRM ke Bisnis Rokok Elektrik

Date:

Rencana untuk terjun ke bisnis rokok elektrik menjadi kabar paling menarik dari emiten produsen rokok besar PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) kala melakukan paparan publik pekan lalu.

Perusahaan yang berdiri sejak 1958 di Kediri, Jawa Timur, itu bahkan sudah mendirikan tiga anak usaha baru untuk memuluskan rencana tersebut. Meski demikian, perseroan belum mengoperasikan ketiga perusahaan tersebut. Ketiganya masih sebatas nama. 

Ketiga perusahaan itu berstatus perseroan terbatas, tetapi belum memiliki karyawan dan belum memulai aktivitas produksi. Mereka didirikan sebagai kendaraan bagi Gudang Garam untuk memasuki bisnis rokok elektrik.

Ketiga perusahaan itu akan menjalankan fungsi yang berbeda, masing-masing yakni untuk impor bahan baku, produksi rokok elektrik, dan distribusinya. Namun, belum ada rencana konkret terkait kapan ketiganya akan resmi beroperasi.

Sejauh ini, perseroan masih memantau perkembangan pasar. Perseroan pun menyimpulkan saat ini rokok elektrik belum menjadi ancaman serius bagi rokok konvensional. Meski melihat potensinya terus berkembang, GGRM belum berencana untuk segera terjun ke pasar itu.

Lebih dari itu, perseroan belum mengungkapkan rencana bisnisnya di lini rokok elektrik ini.

Langkah ini tampaknya tidak terlepas dari upaya bersaing dengan emiten rokok papan atas lainnya, PT HM Sampoerna Tbk., yang saat ini sudah memiliki produk rokok elektrik bernama IQOS.

Produk emiten berkode saham HMSP tersebut sangat unik, sebab alih-alih membakar rokok tembakau, IQOS justru memanaskannya saja. Ini berbeda dibandingkan dengan produk vape yang menggunakan tembakau atau nikotin cair.

HMSP mengklaim produk IQOS jauh lebih aman dan rendah risiko terhadap kesehatan dibandingkan dengan rokok bakar ataupun vape. Oleh karena itu, perseroan optimistis produk ini bakal menjadi rokok masa depan yang bakal makin populer.

GGRM sendiri tidak menjelaskan model rokok elektrik mana yang bakal dijajakinya. Meskipun menganggapnya belum menjadi ancaman, tidak dapat disangkal bahwa produk rokok elektrik kini makin populer. Cepat atau lambat, pasarnya akan segera membesar.

 

Seberapa Mendesak GGRM Masuk Rokok Elektrik?

Jika menilik kinerja keuangan GGRM pada paruh pertama tahun ini, terlihat bahwa perseroan masih mampu mempertahankan tren pertumbuhan penjualan yang telah berlangsung beberapa tahun terakhir. Meskipun demikian, dari sisi laba bersih justru tercatat menurun. Tren ini berlanjut sejak 2020 lalu.

Pada semester I/2021, GGRM membukukan pendapatan senilai Rp 60,6 triliun, melesat 12,92% year-on-year (YoY) dibanding capaian periode yang sama tahun lalu yang senilai Rp 3,66 triliun. Sementara itu, laba bersihnya justru anjlok 39,52% YoY menjadi Rp 2,3 triliun dari sebelumnya Rp 3,82 triliun.

Adapun, sepanjang 2020 lalu kondisi GGRM juga tidak jauh berbeda. Pendapatannya naik 3,58% YoY menjadi Rp 114,5 triliun, tetapi labanya anjlok 29,71% menjadi Rp 7,65 triliun.

Kinerja pendapatan dan laba yang bertolak belakang ini menyebabkan margin laba bersih atau net profit margin (NPM) GGRM makin tergerus. Pada 2019, NPM perseroan mencapai 9,8%, sedangkan pada 2020 tinggal 6,7% dan pada paruh pertama tahun ini hanya 3,8%.

Jika melihat secara detail laporan keuangannya pada paruh pertama tahun ini, tergerusnya laba GGRM disebabkan karena lonjakan beban yang jauh lebih tinggi dibanding kenaikan pendapatan.

Pendapatan GGRM memang naik cukup tinggi, yakni 12,92% YoY, tetapi biaya pokok penjualannya naik lebih tinggi lagi, yakni 20,12% YoY. Biaya pokok penjualan GGRM naik dari Rp 45 triliun pada semester I/2020 menjadi Rp 54 triliun pada paruh pertama tahun ini.

Alhasil, laba bruto GGRM hanya Rp 6,54 triliun, turun 24,47% YoY dari Rp 8,66 triliun pada semester I/2020.

Komponen terbesar pembentuk biaya pokok penjualan ini adalah pita cukai, PPN, dan pajak rokok, yang nilainya mencapai Rp 45,8 triliun pada semester I/2021. Nilai tersebut meroket 28,06% YoY dari periode yang sama tahun lalu yang senilai Rp 35,8 triliun.

Hal ini tentu tidak terlepas dari faktor kenaikan tarif cukai tahun ini yang rata-rata sebesar 12,5%. Sementara itu, penjualan terbesar GGRM adalah pada produk sigaret kretek mesin (SKM) yang mana mendapatkan kenaikan cukai cukup tinggi.

Lantas, apakah dengan masuk ke bisnis rokok elektrik dapat menghindarkan GGRM dari persoalan beban cukai ini? Apakah produk tersebut dapat meningkatkan margin usaha perseroan? Belum tentu.

Pada dasarnya, produk tembakau akan dikenakan cukai, termasuk vape ataupun produk tembakau yang dipanaskan seperti IQOS. Produk ini terkena cukai hasil pengolahan tembakau lainnya (HPTL).

Pemerintah mewajibkan seluruh produk tembakau alternatif termasuk vape berpita cukai per 1 Oktober 2018. Produk HPTL dikenakan tarif cukai sebesar 57% dari harga jual eceran (HJE). Produk HPTL ini termasuk rokok elektrik, vape, tembakau molase, tembakau hirup, dan tembakau kunyah.

Belakangan, pemerintah juga memasukkan cartridge atau pemanas vape sebagai barang kena cukai. Jadi, cukai dikenakan tidak saja pada produk tembakaunya, tetapi juga alat pemanasnya sebagai satu kesatuan.

Dengan besaran cukai sebesar 57% dari HJE, ini sudah tidak jauh berbeda dibandingkan pada rokok biasa. Harga jual eceran tertinggi (HJET) untuk produk sigaret kretek mesin (SKM) kini di kisaran Rp 1.700, sedangkan cukainya mencapai Rp 865 per batang. Itu setara dengan 51%.

Pada kenyataannya, banyak produsen rokok yang tidak menjual hingga HJET demi mempertahankan pangsa pasar atau mencegah konsumen beralih ke produk lain.

Artinya, jika intensinya adalah untuk mendapatkan cukai yang lebih ringan, pilihan untuk berpindah ke produk rokok elektronik bukanlah strategi yang jitu.

 

Melirik Pasar Rokok Elektronik

Jika dari sisi margin dan keringanan cukai tidak lebih baik, lantas mungkin dari sisi potensi pasar rokok elektronik ini bakal lebih menjanjikan. Benarkah?

Berdasarkan pemberitaan di detik.com, para pengusaha vape juga mengeluhkan lesunya penjualan selama periode pandemi. Cukai pun menjadi beban yang memberatkan mereka untuk dapat mempertahankan kinerja yang optimal.

Ditambah lagi, gurihnya bisnis ini rupanya mulai menarik lebih banyak pemain baru sehingga menambah ketatnya persaingan. Di sisi lain, produk ini belum sepopuler rokok biasa dan masih butuh lebih banyak waktu untuk edukasi pasar.

Namun, menariknya, pada berita yang sama juga terungkap bahwa hadirnya produk vape dan banyaknya pemain pendatang baru di industri ini telah mendorong kenaikan pendapatan negara dari cukai HPTL.

Cukai HPTL pada 2018 baru mencapai Rp99 miliar, tetapi pada 2019 melesat 331,1% menjadi Rp 427,01 miliar. Pada 2020, nilainya melesat lagi 59,2% menjadi Rp698 miliar. Ini jelas menunjukkan potensi besar di bisnis ini.

Hanya saja, para pelaku bisnis ini menyebutkan bahwa kenaikan tersebut lebih disebabkan karena banyaknya pendatang baru ketimbang peningkatan penjualan. Kenyataannya, setelah para pemain vape ini memesan pita cukai pada kuartal pertama, mereka tidak mampu menjual produknya sesuai target hingga akhir tahun.

Sesuai aturan, setiap pemesanan pita cukai di awal tahun harus dieksekusi pembeliannya pada tahun itu juga. Jika tidak, akan didenda Rp 300 per pita. Namun, lesunya penjualan menyebabkan banyak pita cukai yang terlanjur dipesan tidak dapat segera ditempel pada produk untuk dijual. Hal ini menimbulkan kerugian bagi pada produsen vape.

Masuknya GGRM ke bisnis ini tentu bakal menjadi ancaman serius bagi para pemain di industri ini, sebab GGRM sudah lebih dahulu memiliki brand dan rantai pasok yang kuat di industri rokok nasional. Namun, jika GGRM tidak berhati-hati, nasibnya pun bakal terancam sama seperti pemain lain yang tertekan.

 

Peluang Lain GGRM

Manajemen GGRM sudah menegaskan bahwa perseroan belum akan segera masuk ke bisnis rokok elektronik. Keputusan itu tampaknya tidak terlepas dari pengamatan perseroan terhadap kondisi pasar rokok elektronik yang juga tertekan.

Kendati rokok elektronik memang berpotensi menggeser dominasi rokok konvensional, prosesnya bakal sangat panjang sebelum hal itu terjadi. Jadi, GGRM tidak perlu terlalu terburu-buru untuk mengantisipasi hal tersebut.

Di sisi lain, permintaan terhadap rokok biasa juga masih tetap tinggi di pasar. Hanya saja, kondisi daya beli yang tertekan akibat pandemi menyebabkan laju pertumbuhan permintaan menjadi tertahan. Ditambah lagi dengan persoalan cukai, bisnis rokok memang sedang tidak dalam kondisi prima.

Meskipun demikian, hal ini tidak berarti bisnis rokok adalah bisnis yang sedang dalam periode sunset. Tekanan memang besar, tetapi tidak lantas berarti akan menyebabkan GGRM bakal menderita kerugian. Perusahaan bakal tetap untung, meski mungkin tak lagi bertumbuh pesat.

Oleh karena itu, peluang GGRM masihlah dalam bisnis rokok konvensional, yakni bagaimana bermanuver di tengah tantangan yang ada agar tetap mampu mencatatkan kenaikan kinerja.

Strategi menaikkan harga jual cukup mampu untuk menopang pertumbuhan pendapatan GGRM, tetapi sayangnya beban cukai yang tinggi menyebabkan labanya tergerus dan margin menipis. Di sisi lain, strategi menaikkan harga juga tidak cukup berkelanjutan.

Keputusan untuk menaikkan harga rokok harus selalu mempertimbangkan faktor cukai dari pemerintah, ketersediaan bahan baku, kebijakan harga kompetitor, hingga daya beli masyarakat. Jika salah melangkah, bisa berakibat fatal.

Saat ini, perseroan berupaya mengakalinya dengan mengeluarkan varian baru dari produk yang sudah ada sehingga membuat harganya menjadi sedikit lebih terjangkau. Sementara itu, untuk meluncurkan produk baru dinilai terlalu berisiko, sebab biaya launching pasti tinggi, sedangkan daya beli masih rendah.

Sebelumnya, GGRM juga sudah diberitakan tengah mendiversifikasikan bisnisnya ke lini bandara. Perseroan masuk dalam investasi pembangunan Bandara Terpadu di Kediri dan sejauh ini telah menelan investasi Rp5 triliun.

Menurut perhitungan perseroan, balik modal proyek ini baru akan terjadi setelah 50 tahun. Namun, jika trafiknya dapat meningkat lebih pesat, periodenya dapat lebih cepat dari itu. Sementara itu, perseroan belum mendapatkan kepastian terkait berapa lama periode konsesi pengelolaan bandara ini yang bakal didapatkan GGRM.

Di depan mata, perseroan masih menghadapi potensi kembali naiknya tarif cukai tahun depan. Pemerintah memang belum mengumumkan berapa persen besaran kenaikannya. Bahkan, ada kemungkinan pemerintah tidak akan menaikkan tarif cukai rokok tahun depan.

Namun, dari indikasi target penerimaan cukai RAPBN 2022 senilai Rp203,9 triliun, akan ada kenaikan 11,84% dari outlook penerimaan tahun ini yang sebesar Rp182,2 triliun. Entah pertumbuhan ini akan berasal dari peningkatan kinerja industri rokok, ataukah dari kenaikan tarif cukai.

Sementara itu, belum lama ini juga berhembus kabar bahwa GGRM sedang dalam radar pantauan perusahaan rokok asal Jepang untuk diakuisisi. Kabar yang tersiar pada Juli 2021 lalu itu sempat mengerek harga saham GGRM cukup tinggi.

Perusahaan yang dikabarkan sedang menjajaki peluang akuisisi atas GGRM itu yakni Japan Tobacco. Perusahaan ini relatif dekat dengan keluarga Wonowidjojo yang menjadi pemilik GGRM. Selain itu, Japan Tobacco juga akhir-akhir ini cukup agresif mengakuisisi perusahaan rokok di luar Jepang, seperti di Filipina, Rusia, dan Bangladesh.

Dengan margin yang makin tipis, berbisnis rokok di Indonesia mungkin menjadi kurang menarik lagi sehingga mendorong keluarga Wonowidjojo untuk mempertimbangkan melepas GGRM.

Hanya saja, kondisi yang terjadi tahun ini memang cukup luar biasa, yakni karena pandemi dan kebutuhan anggaran besar negara untuk menanganinya, sehingga beban cukai meningkat.

Selepas pandemi, kondisi mungkin akan berbalik menguat dan margin bisnis rokok kembali tebal. Peluang-peluang baru, seperti pasar rokok elektrik, yang kini masih tertahan perkembangannya pun mungkin akan segera melesat. 

Lagi pula, sangat sulit bagi sebagian besar perokok untuk keluar dari kebiasaan merokok. Hal ini justru menjamin kesinambungan bisnis rokok di Tanah Air. Jika demikian, tentu bisnis rokok sama sekali belum kehilangan harapan.