Merunut Akar Silang Pendapat Soal Impor Beras

Date:

[Waktu baca: 6 menit]

Perdebatan soal perlu tidaknya impor beras oleh pemerintah ibarat kaset rusak yang terus menerus diputar. Hampir setiap awal tahun rencana impor beras selalu muncul beriringan dengan pro maupun kontra.

Namun satu hal yang pasti, makin ke sini jumlah pihak yang berada di sisi kontra semakin banyak.

Tahun ini rencana impor 1 hingga 1,5 juta ton beras yang konon bermula dari gagasan Menteri Perdagangan Muhammad Luthfi dan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto tidak saja dikritisi oleh Badan Urusan Logistik (Bulog) selaku pengelola persediaan komoditas. Tapi juga oleh deretan Kepala Daerah.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil hingga Gubernur Gorontalo Rusli Habibie kompak menentang wacana impor tersebut. Ketiganya khawatir impor akan membuat serapan gabah petani dalam negeri tak optimal.

Sorotan juga datang dari Komisi IV DPR. Dalam rapat yang juga dihadiri Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo di Senayan Kamis (18/3/2021) kemarin, Komisi IV sepakat memberi rekomendasi agar impor tidak buru-buru dilakukan, sebab panen raya sudah dekat. Komisi IV DPR menilai neraca beras juga masih akan surplus setidaknya sampai bulan Mei. 

Di sisi berseberangan, Kemendag dan Kemenko Perekonomian agaknya belum luluh. Setidaknya demikian bila mengacu pernyataan Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud.

Seperti diwartakan Harian Kompas edisi Kamis (18/3) kemarin, Musdhalifah bilang bahwa “surplus memang ada. Namun hanya di 6-7 provinsi sentra produksi.”  Oleh karena itu, masih menurut Musdhalifah, pemerintah butuh impor guna memenuhi kebutuhan beras di provinsi non-sentra produksi. 

Mendag Luthfi, secara terpisah, berupaya menjembatani polarisasi itu lewat pernyataan terkininya Jumat (19/3). Luthfi menyiratkan bahwa impor kemungkinan masih akan dilakukan, hanya saja dia menjamin impor tersebut akan dimundurkan agar tidak bertabrakan dengan panen raya.

“Saya jamin tidak ada impor beras ketika panen raya dan hari ini tidak ada beeras impor yang menghancurkan petani karena memang belum ada,” katanya. 

Terlepas dari rencana impor kontroversial tersebut, sebenarnya niatan Kemendag dan Kemenko Perekonomian melakukan impor bukannya tidak berdasar. Bila mengacu rapat koordinasi lintas kementerian pada awal tahun, pemerintah telah menyepakati jika per Desember 2021 mendatang Bulog harus punya simpanan beras cadangan sebanyak 1,5 juta ton di gudang.

Baca juga: Harga Cabai Rawit yang Kian Pedas 2021

Saat ini, Bulog melaporkan bahwa sisa beras di gudang mereka berkisar 800.000 ton, yang mana sekitar 300.000 ton di antaranya merupakan beras sisa impor 2018. Artinya, beras layak yang masih bisa beredar hanya tinggal sekitar 500.000 ton, dan oleh sebab itulah muncul wacana impor 1 juta ton agar volumenya bisa mencapai target yang ditetapkan di awal.

Hanya saja, kegelisahan Ganjar, Emil, Rusli dan Komisi IV juga tidak kalah penting untuk didengar pemerintah. Sebab jika realisasi impor terlalu dekat dengan masa panen, maka tidak akan ada pihak yang diuntungkan selain pihak asing selaku pemasok.

Petani sudah pasti menjadi yang paling terpukul. Impor beras saat hasil panen mereka belum terserap sepenuhnya berpotensi besar menurunkan harga beras.

Apalagi, sebelum masa panen raya pun, tren harga beras saat ini menunjukkan grafik memprihatinkan.

Tren buruk ini ajeg terjadi dalam 12 bulan terakhir. Harga jual beras premium per Februari 2021 kemarin misal, hanya mentok di angka Rp9.772 per kilogram. Angka ini anjlok signifikan dari harga Februari 2020, yang mencapai Rp10.081 per kilogram.

Tren penurunan tidak kalah signifikan juga tampak pada harga jual kualitas medium dan luar kualitas, sebagaimana tergambar dalam data berikut.

Tren Harga Beras Setahun Terakhir (rupiah per kilogram)

Sumber: BPS

Lazimnya, bila berkaca dari tahun-tahun sebelumnya, kenaikan harga beras mestinya bertahan sampai pertengahan tahun. Akan tetapi, kualitas gabah yang menurun karena musim yang tak menentu membuat harga beras longsor lebih cepat. Dan, bila ditambah pasokan impor berlebihan, penurunan lanjutan tahun ini barangkali tak terelakkan.

Selain kekhawatiran soal potensi penurunan harga jual petani, impor juga dikhawatirkan bakal membuat Bulog oleng.

Bila dirunut rekam jejaknya, kali terakhir Bulog melakukan impor beras besar-besaran (di atas 1 juta ton) adalah pada 2018. Masalahnya, saat itu, hasilnya terbukti tak menggembirakan.

Tren Impor Beras Indonesia (dalam Ton)

Tahun

Volume
2000 1.355.665,9
2001 644.732,8
2002 1.805.379,9
2003 1.428.505,7
2004 236.866,7
2005 189.616,,6
2006 438.108,5
2007 1.406.847,6
2008 289.689,4
2009 250.473,1
2010 687.581,5
2011 2.750.476,2
2012 1.810.372,3
2013 472.664,7
2014 844.163,7
2015 861.601,0
2016 1.283.178,5
2017 305.274,6
2018 2.253.824,5
2019 444.508,8

Sumber: BPS

Hingga tahun ini, alias 3 tahun sesudahnya, beras-beras sisa impor tersebut bahkan masih tersisa dan terancam tak bisa disalurkan karena kualitasnya yang merosot. 

Bila kebijakan serampangan tersebut diulang, sangat mungkin masalah serupa terulang. Apalagi, saat ini kemampuan Bulog menyalurkan beras cadangan semakin dibatasi.

Per 2019, pemerintah menghapus Bansos Beras Sejahtera (Rastra) yang didalangi Bulog dan menggantinya dengan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT) yang dipayungi Kemensos. Masalahnya, penggantian ini kemudian menyengsarakan Bulog karena bikin saluran mereka untuk memangkas beras di gudang mengecil.

Kini, Bulog hanya bisa menyalurkan beras-beras di gudangnya lewat program Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH), atau biasa dikenal dengan istilah operasi pasar.

Masalahnya, ketika di saat bersamaan saluran output mereka dipangkas, beban Bulog terus bertambah. Dari tahun ke tahun bukan cuma menampung beras impor, tapi lembaga ini juga terus diberi target tinggi untuk menyerap gabah petani lokal.

Akibatnya, Bulog perlu pengeluaran lebih banyak untuk sewa gudang yang lebih besar. Anggaran untuk menyerap beras juga terus meningkat, yang ujungnya membuat perusahaan ini membukukan pembengkakan utang bank.

Muaranya, sejak 2018, Bulog mulai dapat sorotan Kementerian Keuangan karena laporan keuangan mereka menunjukkan posisi rugi. Pada 2018, perseroan mencatatkan kerugian Rp797 miliar, berbalik dari posisi untung Rp705 miliar pada 2017.

Bulog hingga kini belum merilis secara terbuka laporan kinerja 2019 dan 2020. Bisa dalam 2 tahun terakhir kinerja perusahaan membaik lantaran penugasan impor yang memaksa mereka berutang di bank dipangkas.

Namun, bila impor jumbo seperti 2018 kembali dilakukan tahun ini, tanpa persiapan penyaluran yang matang sangat mungkin kinerja merah perseroan terulang.

Itulah sebabnya hingga kini Direktur Utama Bulog Budi Waseso juga cenderung berada di kubu kontra. Budi sendiri paham betul bahwa penugasan berlebihan dan mekanisme impor yang ada saat ini—di mana pihaknya harus lebih dahulu meminjam uang bank dan membayar bunga—sama sekali tidak menguntungkan.

“Kalau pun kami mendapat tugas impor 1 juta ton, belum tentu kami laksanakan. Karena kami tetap memprioritaskan produk dalam negeri yang sekarang masa panen raya sampai bulan April,” tuturnya blak-blakan dalam rapat dengan Komisi IV Senin (15/3) lalu. 

Namun, seberapa resisten pun Buwas, tentu saja bola kini masih di tangan menteri-menteri kabinet Presiden Jokowi.
 

 


 

 

Tags: