PMN untuk BUMN: Keputusan Berat pada Masa Sulit

Date:

Pekan kemarin, pemerintah dan DPR resmi bersepakat untuk menyuntik penyertaan modal negara (PMN) kepada 12 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada tahun depan. Tak tanggung-tanggung, dana yang bakal dikucurkan menyentuh Rp72,45 triliun.

Secara kasat mata, mengucurkan modal sebesar itu untuk perusahaan pelat merah sebenarnya bukanlah pilihan buruk Namun, banyak pertanyaan muncul apakah tepat atau tidak mengucurkan dana sebesar itu saat kondisi tengah genting. 

Sejak kedatangan pandemi, dividen maupun penerimaan pajak yang diterima pemerintah dari BUMN memang turun. Akan tetapi, ukurannya tetaplah jumbo.

Kementerian BUMN mencatat bahwa sepanjang 2011-2020, perusahaan pelat merah berikut anak cucunya di Indonesia telah memberikan setoran kepada negara dalam bentuk pajak, dividen dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dengan nilai akumulasi Rp3.295 triliun.

Jumlah tersebut melebihi total ongkos yang dikucurkan. Dalam 10 tahun terakhir, total PMN yang sudah dicairkan pemerintah untuk BUMN adalah Rp147 triliun atau hanya setara 4,4 persen imbal hasil yang diterima negara.

Rinciannya adalah Rp1.872 triliun pajak, Rp388 triliun dividen dan Rp1.035 triliun PNBP. 

Secara matematis angka ini menggiurkan, tapi menjadi dilematis jika melihat prosesnya. Pasalnya pemerintah mengakui bahwa mengucurkan dana di tengah sulitnya perekonomian akibat babak belur dihajar pandemi bukan langkah enteng. 

Suka atau tidak, mesti diakui bahwa adanya penganggaran PMN bakal menimbulkan pengaruh pada kas negara. Sebab, seperti yang kita tahu, PMN lazimnya dianggarkan dari duit APBN di tahun yang sama.

Artinya, penganggaran PMN jumbo pada tahun 2022 berpotensi menimbulkan dua dampak besar.

Pertama soal realokasi anggaran. Sudah hampir pasti bahwa akan ada anggaran yang kena gusur akibat rencana penyertaan modal. Apalagi dua tahun kebelakang anggaran negara jebol imbas penanganan pandemi. Bukan tidak mungkin pemerintah bakal melakukan penghematan termasuk dana untuk pemulihan ekonomi nasional (PEN).

Sebagai informasi, bila dibandingkan, duit Rp72,45 triliun yang dianggarkan pemerintah tersebut setara dengan hampir 10 persen total anggaran pemulihan ekonomi nasional (PEN) untuk tahun ini. Jumlah tersebut juga setara sepertiga total duit yang dikucurkan pemerintah untuk program jaring pengamanan sosial—termasuk aneka jenis bansos—pada tahun ini.

Kemudian, potensi dampak kedua yang bisa muncul adalah peningkatan defisit negara. Dampak ini jelas tidak kalah berbahaya.

Presiden Joko Widodo, dalam pidato kenegaraannya tahun lalu, pernah menjanjikan bahwa pemerintah bakal berusaha menjaga defisit APBN agar di bawah 3 persen.

Yang kemudian jadi soal,bila pandemi tak kunjung usai, kondisi ini akan memperburuk keadaan ekonomi negara dan pemerintah bisa jadi tak punya pilihan lain kecuali peningkatan belanja negara, otomatis tak ada penghematan dan defisit bakal terus melebar. 

Peningkatan belanja signifikan inilah yang kemudian bakal menjauhkan pemerintah dari ambisi besarnya memangkas defisit belanja jadi di bawah 3 persen. Apalagi, pada tahun ini saja defisit APBN masih diperkirakan berada di kisaran 5,03 persen dengan skenario paling positif sekalipun.

Ujungnya,  peningkatan belanja tersebut juga akan berpengaruh terhadap rasio pendapatan terhadap belanja negara yang sudah mulai memburuk bila mengacu Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) beberapa tahun terakhir.

Tapi, lagi-lagi kita pun mesti mengakui pula bahwa Kementerian BUMN tak punya pilihan lain. Bila dibedah, alasan-alasan untuk menyuntik PMN pada 12 BUMN cukup relevan.

“Ada tiga catatan memang, yaitu banyak sekali penugasan yang diberikan kepada BUMN selama ini. PMN itu untuk tahun 2022 saja hampir 80 persen, di mana kebutuhan untuk restrukturisasi 6,9 persen dan catatan terpenting ada di tahun 2017-2018 lalu, yang [BUMN diminta] harus ada PMN Tol Sumatera tetap angkanya kecil. Karena itu, kalau lihat angka ini, seperti 50 banding 50,” kata Menteri BUMN Erick Thohir dalam rapat di DPR pekan lalu.

PT Hutama Karya misal, yang mendapat alokasi PMN terbesar Rp31,35 triliun, memang dalam kondisi babak belur lantaran modal terbatas yang dikucurkan pemerintah untuk membangun Tol Sumatera pada 2017-2018 lalu.

Padahal, anggaran yang dibutuhkan perusahaan untuk mengebut proyek tendensius tersebut tidak kecil. Alhasil perseroan harus berhutang sana-sini dan di tengah kondisi sulit pandemi, hutang-hutang tersebut kian lambat tertutup. Imbasnya, kondisi perseroan tidak sehat karena harus menanggung pembengkakan bunga besar-besaran.

“Kondisi aset dan utang [Hutama Karya] meningkat tajam [akibat penugasan Tol Sumatera] namun ekuitas tidak mengejar,” aku Wakil Menteri BUMN Kartiko Wiroatmodjo seperti diwartakan Bisnis belum lama ini. 

 

 

Kondisi Hutama Karya tidak beda jauh dengan perusahaan konstruksi lain yakni PT Adhi Karya Tbk. (ADHI) dan PT Waskita Karya Tbk. (WSKT) yang juga terbelit tenggat utang.

Keduanya belakangan memang berhasil menyepakati restrukturisasi dengan sejumlah pihak terutama perbankan. Namun, tanpa ada jaminan modal tambahan, bisnis mereka yang melambat di tengah pandemi jelas bakal kesulitan untuk menambal sisa utang-utang itu.

Mengacu laporan keuangan per 31 Maret 2021, ADHI masih memiliki total liabilitas Rp31,96 triliun yang mana Rp26,32 alias 82,36 persen di antaranya merupakan liabilitas jangka pendek. 

Sementara itu, liabilitas WSKT per akhir kuartal I/2021 bahkan menyentuh Rp88,52 triliun yang mana Rp46,5 triliun alias 52,52 persen diantaranya merupakan liabilitas jangka pendek. 

Tambahan modal untuk BBTN yang penugasannya di program sejuta rumah tak dipangkas selama pandemi, ataupun kepada PT Perusahaan Listrik Negara yang mesti berjibaku lebih keras memenuhi kebutuhan listrik di tengah pandemi juga merupakan kebutuhan yang tak bisa diremehkan.

Belum lagi bila bicara soal perlunya tambahan modal untuk PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang sudah pasti mengalami penurunan omzet maupun laba di tengah pembatasan sosial akibat pandemi.

Pada akhirnya, di tengah situasi sulit, keputusan sulit memang harus dibuat. Palu telah diketok dan modal sudah bersiap digelontorkan.

Kini, perkara seberapa bermanfaat kucuran modal tersebut dan seberapa besar implikasinya terhadap pendapatan negara tinggal bergantung dari bagaimana masing-masing BUMN mengelolanya. Harapan pasti ada tapi ancaman tak berarti hilang begitu saja saat modal resmi mengucur