Problem Klasik Realisasi Anggaran PEN

Date:

Laju penularan Covid-19 yang tak kunjung terbendung akhirnya memaksa pemerintah menambah anggaran Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2021. Keputusan tersebut diumumkan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers evaluasi PPKM Darurat, Sabtu (17/7/2021) petang kemarin.

“Dengan keputusan yang sudah disetujui bapak presiden, anggaran penanganan Covid-19 dan PEN naik menjadi Rp744,75 triliun,” tuturnya.

Sebelumnya, pemerintah mematok anggaran Rp699,43 triliun untuk PEN tahun ini. Artinya, ada tambahan alokasi baru senilai Rp45,07 triliun.

Alokasi penambahan terbesar diberikan untuk program kesehatan. Selain ditambah dari sumber baru, anggaran pada program ini juga kecipratan porsi milik program prioritas serta program dukungan UMKM dan korporasi yang sama-sama mengalami pemangkasan. Sehingga, nominal akhirnya berubah dari Rp172,84 triliun menjadi Rp214,95 triliun.

Dua pos lain yang juga ditambah adalah untuk program perlindungan sosial menjadi Rp187,8 triliun dari semula Rp148,27 triliun, serta insentif usaha yang dinaikkan dari Rp56,73 triliun jadi Rp62,8 triliun.

Menambah anggaran PEN adalah langkah yang patut diapresiasi. Sikap ini tergolong bijak, mengingat pandemi masih menimbulkan masalah besar di sana-sini.

Yang kemudian jadi soal dan patut disayangkan adalah fakta bahwa penambahan ini terjadi pada saat anggaran yang lama belum terserap secara optimal. Total, hingga akhir semester I kemarin realisasi anggaran secara keseluruhan baru mentok di kisaran 36,1 persen. 

Anggaran untuk program kesehatan misal, yang ditingkatkan paling besar, per 18 Juni 2021 baru terealisasi Rp39,55 triliun. Jumlah ini hanya setara 22,9 persen dari alokasi lama atau 18,4 persen bila ditarik ke alokasi baru.

Padahal, program kesehatan merupakan ujung tombak utama untuk menekan laju kasus Covid-1. Anggaran untk program ini meliputi biaya untuk pelaksanaan testing, tracing dan treatment (3T), insentif tenaga kesehatan, santunan kesehatan dan penyediaan APD, termasuk biaya pengadaan vaksin.

Serapan tak maksimal juga tampak pada program prioritas yang baru terpakai RpRp38,1 triliun atau setara 29,8 persen pagu lama, dukungan UMKM yang baru terpakai Rp48,05 triliun atau setara 24,8 persen alokasi lama, serta insentif usaha yang baru terealisasi Rp36,02 triliun alias alias setara 18,6 persen alokasi lama.

Kalaupun ada pagu yang sudah terserap dengan relatif baik, barangkali hanya program perlindungan sosial yang menyentuh 43,8 persen dari alokasi lama. Meskipun, serapan yang tinggi ini juga bisa dibaca sebagai preseden buruk karena sekaligus menjadi isyarat bahwa masih banyak masyarakat yang perlu dipenuhi kebutuhan sehari-harinya.

Belum optimalnya serapan anggaran PEN sepanjang semester I/2021 juga memunculkan satu kesimpulan tak terbantahkan: pemerintah belum banyak belajar dari kinerja buruknya tahun lalu.

Pada 2020, realisasi anggaran PEN adalah salah satu masalah berat pemerintah Indonesia dalam konteks merespons pandemi. Sampai akhir tahun 2020, dari pagu Rp695,2 triliun, jumlah yang terealisasi hanya Rp579,8 triliun atau setara 83,4 persen saja. 

Bila dibedah lebih dalam, problem utama buruknya serapan tahun lalu adalah kinerja lambat di awal pandemi. Sebagaimana diarsip Kontan, sepanjang semester pertama tahun lalu anggaran PEN baru terserap 34,06 persen.  

Tahun lalu, pemerintah boleh saja menjadikan waktu yang mepet sebagai alasan. Pandemi datang mendadak pada akhir Maret dan penganggaran mesti dilakukan di tengah situasi serba mendadak. Sehingga, wajar bila realisasinya pun tak berjalan maksimal

Namun untuk sekarang, alasan semacam itu mestinya tak bisa lagi dijadikan sebagai pembenaran. Sebab, berbeda dari tahun lalu, pada tahun ini pemerintah memiliki waktu yang lebih leluasa untuk menyusun proyeksi anggaran. Toh persiapan juga sudah dilakukan sejak akhir tahun lalu.

Kementerian Keuangan sampai sekarang masih punya keyakinan bahwa di akhir tahun nanti serapan bisa membaik. Target mereka hingga 31 Desember 2021, total serapan bisa mencapai 93,8 persen 

Artinya, untuk mencapai target tersebut realisasi keseluruhan mesti bisa menembus Rp699 triliun dari total anggaran Rp744,75 triliun.

Namun, optimisme saja jelas tidak cukup. Untuk mewujudkan target tersebut, butuh lebih dari sekadar hasrat Kementerian Keuangan. Lembaga-lembaga lain yang bertugas menyalurkan dana PEN sesuai arahan program kerja kabinet juga mesti memiliki pola pikir yang sama.

Soal program kesehatan misal, Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Kementerian BUMN memegang peranan kunci.

Peran penting yang perlu dilakukan Kemenkes dan Kemendagri adalah memastikan insentif untuk seluruh tenaga kesehatan bisa segera tersalurkan. Kemenkes punya andil menjamin kebutuhan tenaga kesehatan yang menginduk ke pemerintah pusat terpenuhi. 

Sementara Kemendagri, dalam hal ini, punya peran penting mendorong realisasi insentif di fasilitas-fasilitas kesehatan daerah. Apalagi, hingga pekan lalu, total masih ada 19 pemerintah daerah yang belum merealisasikan insentif tenaga kesehatan. 

Bagaimanapun, tenaga kesehatan adalah ujung tombak terdepan dan kesejahteraan mereka akan punya peran kunci dalam melewati wabah. Gugurnya satu tenaga kesehatan akibat kebutuhan yang tak terpenuhi sama dengan satu langkah kemunduran untuk melewati pandemi.

Sedangkan peran Kementerian BUMN, sudah pasti, adalah menggenjot kebutuhan vaksin. Pada akhirnya, tak peduli sekencang apapun perintah presiden untuk melakukan vaksinasi, hasilnya akan percuma bila dosis vaksin yang tersedia belum memenuhi kebutuhan

Hingga 16 Juli 2021, total dosis vaksin yang telah masuk ke dalam negeri adalah 141 juta dosis. Jumlah ini baru memenuhi kebutuhan vaksinasi untuk 70 jutaan warga Indonesia. Angka tersebut masih jauh dari proyeksi pemerintah yang memprediksi bahwa untuk mencapai herd immunity, setidaknya mesti ada 208 juta warga yang menerima vaksin. 

Adapun untuk realisasi insentif usaha, andil besar perlu diberikan kementerian di sektor terkait. Mulai dari pariwisata hingga perindustrian.

Program prioritas barangkali menjadi lini yang tak akan banyak mengalami kendala pada paruh kedua mendatang. Agresivitas Kementerian PUPR yang telah mendapat animo tinggi dari perusahaan swasta maupun BUMN karya untuk mendirikan proyek-proyek baru merupakan sinyal positif.

Sedangkan untuk program perlindungan sosial, persoalan yang perlu diatasi adalah momentum dan arah. Kementerian Sosial terutama, mesti memberikan insentif dan jaminan sosial pada sasaran yang tepat dan sesuai kebutuhan.

Faktor lain yang akan menentukan adalah program dukungan UMKM dan korporasi.

Selama ini, pemerintah terus menggembar-gemborkan vitalnya peran UMKM dan usaha kecil dalam lokomotif perekonomian. Namun, hal yang kerap dibanggakan itu justru tampil melempem.

Mengacu data Asosiasi UMKM Indonesia, pada 2020 kontribusi UMKM Indonesia terhadap PDB hanya mentok pada angka 37,3 persen. Padahal, di tahun 2019 UMKM masih bisa berkontribusi terhadap 69,3 persen PDB Indonesia.

Tahun lalu, program dukungan UMKM dan pembiayaan korporasi merupakan program yang serapannya paling optimal. Di tengah serapan keseluruhan PEN yang mentok pada kisaran 83 persen, realisasi untuk program ini mencapai hampir 100 persen. 

Namun, PR bukannya tidak ada. Meski di atas kertas realisasi pada program ini punya rekam jejak bagus, pemerintah punya tugas memastikan insentif yang dikucurkan menyasar UMKM yang tepat. Sehingga, pada akhir tahun nanti, kontribusi UMKM terhadap PDB bisa meningkat dan mendekati kondisi prapandemi