Prospek Rupiah Setelah Setahun Pandemi

Date:

[Waktu baca: 5 menit]
Setahun sudah kasus pandemi Covid-19 terkonfirmasi masuk ke Indonesia. Selama setahun terakhir, ekonomi Indonesia mengalami tekanan yang cukup parah. Kinerja mata uang rupiah pun menjadi salah satu cerminan gejolak perekonomian yang terjadi di Bumi Nusantara setahun belakangan.

Perekonomian selama pandemi ditandai dengan ketidakpastian yang tinggi. Pemberlakuan pembatasan sosial atau lockdown di berbagai penjuru dunia menyebabkan ekonomi global goyah. Resesi pun sulit dihindari. Indonesia sendiri mengalami penurunan ekonomi selama tiga kuartal beruntun.

Rupiah sempat melemah hingga melewati level Rp16.600 per dolar AS pada akhir Maret 2020 lalu. Namun, setelahnya rupiah kembali menguat hingga ke bawah level Rp14.000 per dolar AS pada awal Juni 2020. Fluktuasi kurs kenyataannya tidak berakhir, justru terus bergejolak.

Seiring dengan itu, Bank Indonesia pun mengeluarkan bauran kebijakan untuk mengendalikan pergerakan rupiah. Hal ini penting untuk menjamin kestabilan perekonomian dalam negeri, sebab nilai tukar yang terlalu bergejolak menimbulkan ketidakpastian ekonomi dan berdampak buruk bagi dunia usaha.

Tahun ini, khususnya sejak awal Februari 2021 rupiah mulai kembali melemah setelah terus menguat sejak September 2020 lalu. Rupiah sempat menguat hingga ke bawah level Rp14.000 per dolar AS, yakni sekitar Rp13.900 sepanjang Januari 2021, tetapi kini perlahan melemah hingga ke kisaran Rp14.300 per dolar AS. Ini pelemahan terburuk, setidaknya dalam 7 bulan terakhir.

Berdasarkan data Investing.com, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS hingga pukul 09.30 WIB sudah di kisaran Rp14.320, sudah meningkat (melemah) 20 poin atau 0,14 persen dari penutupan sebelumnya di level Rp14.300.

Apakah pelemahan rupiah dapat terus memburuk hingga separah tahun lalu? Jika menimbang kesiapan penanganan pandemi yang kini lebih baik serta adanya harapan pemulihan ekonomi seiring upaya vaksinasi masyarakat, potensi pemburukan parah seperti tahun 2020 lalu tampaknya relatif kecil.

Ada beberapa faktor yang dapat diperhatikan untuk menilai prospek pergerakan rupiah memasuki tahun kedua pandemi di Indonesia pada tahun ini. 

Kombinasi Sentimen Eksternal dan Internal

Pergerakan rupiah sejak awal November 2020 hingga Januari 2021 lalu sebenarnya dapat dikatakan cukup stabil. Rupiah bergerak di kisaran Rp13.900 hingga Rp14.100. Pelemahan rupiah saat ini hingga ke level Rp14.300 sejatinya masih tergolong dalam rentang pergerakan yang wajar, atau masih dalam fase konsolidasi lanjutan.

Dari dalam negeri, beberapa sentimen positif seharusnya bisa menopang penguatan rupiah. Misalnya, insentif di sektor otomotif serta properti berupa pelonggaran pajak dan uang muka kredit hingga 0 persen.

Meskipun efektivitasnya masih harus diuji, tetapi di atas kertas insentif ini terlihat lebih tepat sasaran sebab menyasar sektor padat karya dengan industri turunan yang banyak. Hal ini tentu berpotensi memacu kinerja ekonomi secara keseluruhan dan meningkatkan lagi daya tarik investasi asing ke dalam negeri.

Hanya saja, sentimen positif ini hanya salah satu faktor di antara banyaknya faktor lain yang mengendalikan rupiah. Secara umum, prospek pemulihan ekonomi Indonesia masih berjalan lambat, sehingga gairah penguatan rupiah juga tetap tertahan.

Penanganan Covid-19 tampaknya belum cukup optimal, terlihat dari penambahan kasus baru yang masih relatif tinggi. Pemangkasan suku bunga oleh Bank Indonesia juga berimbas pada sulitnya penguatan nilai tukar rupiah.

Hal ini ditambah pula oleh sentimen negatif dari pasar global yang tampaknya pengaruhnya justru lebih kuat.

Salah satu faktor yang cukup kuat pengaruhnya akhir-akhir ini adalah kenaikan imbal hasil atau yield obligasi AS (US Treasury) hingga menyentuh level 1,5 persen. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di pasar surat utang global dan menyebabkan tekanan jual oleh investor asing, termasuk di Indonesia.

Data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mencatat total arus modal keluar asing dari pasar surat berharga negara (SBN) sepanjang bulan Februari 2021 saja mencapai Rp15,92 triliun. Hal ini menyebabkan nilai tukar rupiah tertekan.

Kenaikan yield US Treasury dan arus balik modal ke AS didorong oleh adanya ekspektasi pemulihan ekonomi AS yang lebih tinggi. Hal ini setidaknya terkonfirmasi dari laporan World Economic Outlook dari IMF pada akhir Januari 2021. IMF menaikkan proyeksi pertumbuhan ekonomi AS dari sebelumnya 4,6 persen menjadi 5,1 persen.

Awalnya, naiknya yield US Treasury memang karena tekanan jual di pasar karena melihat prospek inflasi yang tinggi seiring ekspektasi kenaikan pertumbuhan ekonomi. Namun, setelah kini yield naik cukup tinggi, daya tarik US Treasury justru menjadi meningkat sebab harganya kini terdiskon dan yield-nya cukup tinggi. Hal inilah yang mendorong arus keluar modal asing dari pasar surat utang negara lain.

Selain itu, pembahasan paket stimulus pandemi dari pemerintah AS senilai US$1,9 triliun kini kian menemukan titik cerah, sebab rancangan undang-undangnya sudah diserahkan ke Senat AS. Pemungutan suara akan digelar pertengahan bulan ini. Jika lolos, hal ini dapat memacu roda perekonomian AS.

Sentimen ini memicu penguatan dolar AS, sehingga rupiah pun melemah sepanjang Februari 2021. Pelemahan kurs sejatinya tidak saja dialami oleh rupiah, tetapi juga oleh banyak mata uang negara-negara berkembang lainnya.

Potensi Penguatan Rupiah Masih Terbuka?

Kini pertanyaannya, apakah pelemahan tersebut bakal berlanjut, ataukah masih ada peluang berbalik arah menuju penguatan rupiah? Jawabannya tentu saja masih ada. Namun, ada beberapa kondisi yang akan menentukan terwujudnya potensi itu.

Penguatan rupiah akan lebih banyak ditentukan oleh pelemahan dolas AS ketimbang dorongan sentimen positif dalam negeri yang menopang penguatan mata uang garuda ini. Pelemahan dolar AS sendiri masih mungkin untuk terjadi menimbang beberapa faktor.

Lawan dari dolar adalah aset-aset komoditas. Jika harga aset-aset komoditas meningkat, nilai tukar dolar akan melemah. Sebaliknya, jika harga aset komoditas turun, dolar cenderung menguat. Nah, sejauh ini peluang penguatan harga aneka komoditas sendiri masih cukup terbuka.

Ekonomi China kini mulai bergeliat dan berpotensi meningkatkan permintaan komoditas dan arus perdagangan global. Ini dapat mendorong kenaikan lanjutan harga aneka komoditas.

Selain itu, tekanan jual pada aset-aset surat utang negara berkembang akhir-akhir ini menyebabkan harganya menjadi terdiskon, termasuk obligasi negara Indonesia. Hal ini nantinya akan kembali menarik minat investor asing untuk kembali ke Indonesia, apalagi setelah harga US Treasury meningkat lagi akibat banyak dibeli.

Sementara itu, dengan pelemahan tajam sepanjang Februari 2021 lalu, rupiah kini sudah tergolong murah dan justru menjadi menarik bagi investor. Potensi return rupiah menjadi lebih besar, apalagi jika upaya penanganan pandemi berupa aneka stimulus di dalam negeri dapat berjalan lancar.

Arus balik modal ke AS yang mendorong penguatan dolar menyebabkan aset-aset di pasar AS cenderung overvalued. Hal ini berpotensi mendorong investor berbalik mencari negara berkembang yang aset-aset keuangannya masih undervalued.

Selain itu, jika stimulus AS senilai US$1,9 triliun disahkan, dolar cenderung akan melemah karena kenaikan jumlah uang yang beredar. Kucuran stimulus ini juga akan menurunkan lagi tingkat yield US Treasury.

Hal ini akan menjadi sentimen lain yang mendorong beralihnya investor ke negara berkembang dan mendorong penguatan mata uang setempat.

Dengan semua sentimen ini, potensi penguatan rupiah justru tampak lebih terbuka. Kondisi rupiah yang kini tengah melemah justru menjadi peluang yang baik untuk kembali mengambil posisi masuk.