Saratoga dari Sekedar Asumsi hingga Berlangganan Durian Runtuh

Date:

Laut yang tenang tidak menghasilkan pelaut yang handal. Mungkin ini peribahasa yang tepat untuk menggambarkan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk. (SRTG). Saat ini, semua mata tertuju pada emiten tersebut, yang mampu mencetak kenaikan laba bersih secara ugal-ugalan di semester I 2021. Nilanya mencapai Rp15,3 triliun. Padahal jika berkaca pada semester I 2020, SRTG justru merugi sebesar Rp 2,1 triliun.

Satu-satunya perusahaan investasi aktif yang melantai di bursa Indonesia. Bagi yang belum familiar, SRTG adalah sebuah perusahaan yang kerjanya hanya satu: berinvestasi di perusahaan-perusahaan lain.

Nature of business-nya persis sama dengan perusahaan Berkshire Hathaway milik Warren Buffet di Amerika.

Singkatnya, SRTG hanya melakukan bisnisnya dengan berinvestasi ke sejumlah perusahaan di Indonesia, baik yang sudah melantai di bursa maupun yang masih berstatus perusahaan privat. Mereka memfokuskan diri untuk berinvestasi di perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor sumber daya alam, infrastruktur, dan konsumen.

SRTG lahir pada tahun 1997, berkat kejelian Edwin Soeryadjaya dan Sandiaga Uno yang melihat peluang di tengah derasnya arus investor yang keluar dari Indonesia akibat krisis ekonomi berkepanjangan. Edwin dan Sandi bersepakat kalau pasca krisis ekonomi selesai, Indonesia punya potensi lebih dari cukup untuk berkembang dan pasti membutuhkan sumber daya dengan jumlah yang sangat besar.  

Telur emas pertama yang ditemukan SRTG adalah Adaro Energy (ADRO), yang sekarang menjadi salah satu perusahaan batubara terbesar di Indonesia. SRTG berhasil mengantarkan ADRO untuk melantai di bursa (IPO) pada tahun 2008, yang pada waktu itu menjadi IPO terbesar dalam sejarah pasar modal Indonesia.

SRTG juga berinvestasi di PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG), perusahaan penyedia menara telekomunikasi di Indonesia pada tahun 2004. Lagi-lagi, ini kejelian SRTG melihat peluang pertumbuhan pengguna telepon seluler di Indonesia.

Waktu itu, TBIG hanya memiliki tujuh menara pemancar sinyal seluler. Bandingkan sekarang di mana total menara yang dioperasikan TBIG sudah mencapai 19,100 menara. Cuan SRTG dari emiten ini saja sudah ratusan kali lipat.

Kemudian SRTG juga melihat pertumbuhan kelas menengah di Indonesia yang sangat masif, di mana mereka membutuhkan moda transportasi yang murah.

Pada tahun 2010, SRTG berinvestasi di Mitra Pinasthika Mustika (MPMX), sebuah perusahaan otomotif yang terdiversifikasi dan memiliki pangsa pasar di sepeda motor ritel, distribusi sepeda motor, komponen sepeda motor, minyak pelumas, dan pembiayaan sepeda motor.

Dan telur emas terakhir yang berhasil dimiliki SRTG adalah Merdeka Copper Gold (MDKA), sebuah perusahaan penambang emas yang performanya meningkat drastis selama tahun 2020 akibat kenaikan harga emas dunia.

Selain itu, ada Aneka Gas Industri (AGII) dalam portofolio SRTG yang cuan besar imbas permintaan tinggi untuk tabung gas oksigen selama pandemi. Lalu ada Nusa Raya Cipta (NRCA), sebuah perusahaan operator jalan tol yang pernah masuk e-book Big Alpha beberapa edisi yang lalu.

Di luar itu semua, SRTG juga berinvestasi di belasan perusahaan privat yang belum listing di bursa. Tapi melihat sejarah SRTG dengan ADRO, MDKA, dan TBIG, bukan tidak mungkin nantinya SRTG akan mengantar perusahaan-perusahaan privat tersebut untuk go public

Berdasarkan laporan keuangan kuartal II mereka, total nilai aset bersih (net asset value- NAV) dari semua portfolio yang dipegang SRTG bernilai sekitar Rp 46,5 triliun.

Saratoga pernah masuk ke dalam e-book kuartalan BigAlpha edisi Q4 2020 di harga Rp1,090 per lembar (stock split adjusted). Ketika itu nilai NAV Saratoga berkisar Rp35 triliun dengan laba bersih sebesar Rp8,8 triliun.

Hanya dalam waktu setengah tahun, kini harga saham SRTG sudah naik hampir 100% di Rp1,860 per lembar dengan NAV sekitar Rp46,5 triliun. Kenaikan harga saham tersebut juga mengerek market cap SRTG dari Rp14,5 triliun (Q4 2020) menjadi Rp25,2 triliun di Q2 2021.

 

Kenapa NAV penting?

Karena angka inilah yang menggambarkan nilai kekayaan SRTG sesungguhnya. Angka ini yang menjadi floating profit dari keseluruhan portofolio investasi SRTG saat ini. Pentingnya angka tadi semakin terlihat kita membandingkannya dengan market cap SRTG saat ini, yang ‘hanya’ dihargai Rp25,2 triliun.

Ini artinya, harga jual SRTG di pasar saat ini kira-kira hanya setengah dari nilai bukunya (PBV 0,54x).

Jika nanti laba untuk tahun 2021 disetahunkan, maka angka laba bersih SRTG akan mencapai Rp30 triliun alias sudah lebih besar dari market capitalization SRTG di pasar saat ini.

Angka tersebut menjadikan PE ratio SRTG saat ini sudah di bawah 1x. Unbelievably undervalued!

Hebatnya lagi, utang berbunga yang dimiliki SRTG hanya sebesar Rp39 miliar saja. Bandingkan utang tadi dengan posisi kas mereka yang sudah mencapai Rp722 miliar.

SRTG tidak perlu khawatir sama sekali soal likuiditas. Sejatinya, SRTG bukan entitas yang gemar berutang untuk membiayai operasional mereka.

 

Lantas, SRTG ini tidak ada celahnya, dong?

Well, sebenarnya ada. Bukan celah, mungkin lebih tepatnya sebuah risiko yang melekat karena nature business Saratoga itu sendiri sebagai perusahaan investasi.

Laba SRTG di Q2 2021 yang Rp15 triliun tadi, mayoritas berupa gain dari kenaikan harga saham emiten-emiten dalam portfolio mereka. Laba itu bersifat unrealized.

Laba riil yang mereka terima di Q2 2021 –yang berasal dari pembayaran dividen dan bunga untuk setengah tahun ini– ‘hanya’ sebesar Rp866 miliar, alias kurang dari 10% jika dihitung dari laba bersih mereka.

Ibarat seorang investor saham, gain sebesar Rp15 triliun tadi hanya tercatat di atas kertas, dan baru bisa direalisasikan ketika SRTG memutuskan untuk menjual saham-saham tersebut. Belum ada uang tunai yang masuk ke ‘kantong’ SRTG sebelum mereka melakukan penjualan.

Dan melihat karakteristik SRTG yang kuat memeluk erat saham-saham tersebut selama belasan tahun, sepertinya mereka tidak akan menjualnya dalam waktu dekat.

Lagipula, emiten-emiten yang berada di portfolio SRTG juga bukan emiten ecek-ecek. Ada TBIG, ADRO, MPMX, AGII, NRCA dan MDKA. Mereka adalah telur-telur emas yang sudah memberikan cuan ratusan kali lipat sejak SRTG masuk sebagai investor di sana.

Dividen yang dibagikan kepada pemegang saham SRTG pun rasanya tak seberapa. Untuk bisa menumpuk cash yang dipakai agar terus berinvestasi, SRTG tidak terlalu royal dalam membagikan dividen kepada para pemegang sahamnya. Terakhir kali SRTG membagikan dividen pada tahun 2020, dividend yield-nya hanya sekitar 1%.

Maklum, dari sekian ratus miliar pendapatan dividen dan bunga yang mereka terima dari portofolio saham mereka, mayoritas disimpan untuk membiayai kegiatan investasi mereka berikutnya. Sebenarnya hal tersebut bisa dianggap sebagai langkah yang tepat yang diambil oleh manajemen, karena SRTG jadi tidak perlu berutang.

Jadi, laba besar yang dicatatkan SRTG tersebut bersifat unrealized dan sangat terpengaruh oleh dinamika pasar. Begitu juga dengan nilai aset penyertaan investasi mereka yang harus selalu direvaluasi mengikuti harga pasar (marked to the market).

Jika pasar modal rontok seperti di awal pandemi, maka kinerja SRTG akan terpuruk. Tapi nanti jika pasar terus berkembang, maka portofolio SRTG akan semakin menggelembung dari posisinya sekarang.

Tapi bagaimana pun, net asset value sebesar Rp46,5 triliun yang dimiliki SRTG di pasar saat ini sudah terlalu besar untuk diabaikan, apalagi jika dibandingkan dengan market cap mereka yang sebesar Rp25,2 triliun.

Berdasarkan laporan keuangan Q2 2021 mereka, fair value kepemilikan SRTG di TBIG saja sudah sebesar Rp24,8 triliun, di ADRO sebesar Rp5,8 triliun dan di MDKA sebesar Rp12,3 triliun.

Kepemilikan SRTG di tiga emiten tersebut saja sudah jauh melampaui market cap mereka saat ini. Membeli SRTG di harganya saat ini ibarat membeli sebuah rumah seharga Rp25,2 triliun, tapi

di dalam rumah tersebut ada peti berisi saham-saham perusahaan top yang bisa dijual senilai Rp46,5 triliun.

Jadi, baik dengan menggunakan relative valuation maupun asset-based valuation, harga jual SRTG saat ini tergolong sangat murah.

Menyadari betapa ‘murahnya’ SRTG saat ini, para pemilik perusahaan juga sepertinya rajin melakukan buyback. Edwin Soeryadjaya contohnya, dia rutin membeli kembali saham SRTG dari pasar dan terus menambah kepemilikannya di saham ini.

Hal ini membuat satu kalimat yang dikeluarkan oleh Peter Lynch: “There are a million reasons why insiders sell their stocks. But there’s only one why they buy it: they believe the price will increase.”

Kembali bicara soal celah, tidak ada lagi perusahaan seperti SRTG yang listing di bursa. Jadi sulit membandingkan berapa PE ratio yang wajar untuk investment company seperti SRTG ini.

Sebagai gambaran, Berkshire Hathaway di bursa Amerika sana dihargai dengan PE ratio sebesar 28x. Tapi naif rasanya jika kita menyamakan Saratoga di Indonesia dengan Berkshire Hathaway milik Warren Buffet di Amerika Serikat. Namun untuk kali ini, mari kita gunakan asumsi dan pendekatan yang sangat konservatif. 

Jika naik ke PE ratio sebesar 3x saja –sebuah level yang sangat rendah jika diaplikasikan ke emiten-emiten lain yang ada di bursa, berarti harga saham SRTG bisa naik ke Rp6,000, hampir 3x lipat dari harganya sekarang di Rp1,860 per lembar.

Melihat besarnya net asset value yang mereka miliki, SRTG seharusnya bisa dijual di atas level harga tersebut. 

Masalahnya sekarang, apakah pasar setuju dan bisa melihat value tersebut? Jika tidak, maka harganya tidak akan bergerak jauh. Berkaca pada kejadian yang sudah-sudah, pasar baru berpaling ketika real value dari investasi tersebut bisa terlihat. Atau dalam kasus ini, ketika saham-saham dalam portfolio SRTG dijual, sehingga dapat mengubah unrealized gain menjadi realized gain.

Dan hal itu bukan tidak mungkin terjadi.

Di awal tahun 2021, melihat harga saham AGII yang sudah melambung tinggi, SRTG memutuskan untuk menjual sebagian kepemilikan mereka di sana. Melalui aksi korporasi ini, SRTG meraup uang kas sebesar Rp27,7 miliar. 

Jadi, mungkin saja SRTG merealisasikan keuntungan mereka di masa depan jika dirasa harga sahamnya sudah naik tinggi atau jika manajemen beranggapan bahwa ada peluang investasi lain yang lebih menguntungkan yang membutuhkan uang tunai yang besar.

Satu hal yang mungkin bisa jadi bahan pertimbangan juga, sedang beredar sebuah rumor bahwa SRTG memiliki salah satu anak perusahaan Special Purpose Acquisition Company (SPAC) yang sedang dalam tahap negosiasi untuk menantikan salah satu startup unicorn di Indonesia, Traveloka, di bursa Amerika Serikat, Nasdaq.

Tapi mari abaikan saja hal tersebut karena sifatnya masih berupa rumor. Kita fokus saja ke net asset value yang jelas tercatat dalam laporan keuangan SRTG yang sudah diaudit oleh KPMG (salah satu big 4 audit firm di Indonesia).

Setelah membaca segala penjelasan di atas, hanya dua pertanyaan yang tersisa. Sanggupkah Anda memegang saham SRTG cukup lama sambil menunggangi pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan? Yakinkah Anda mampu menjadi partner Sandiaga Uno yang menjadi kaya raya secara perlahan di saham ini?

The answer is yours.

________________________________________________

Semua orang berhak mendapatkan akses informasi keuangan. Kami bertujuan untuk terus menyampaikan informasi tanpa adanya potensi konflik kepentingan. Menganalisa sebuah isu agar mudah dipahami dan mengapa hal tersebut penting. Kontribusi dari kamu memastikan kami untuk tetap independen serta terus memproduksi konten secara inklusif. Jika kamu suka dengan tulisan ini, kamu bisa traktir kami satu gelas kopi yang biasa kamu beli.