Setelah Setahun Pandemi, Siapkah Pasar Saham Bangkit Lagi? (Bagian 1 dari 3 Tulisan)

Date:

Artikel ini adalah bagian pertama dari tiga artikel yang membahas perkembangan pasar modal dan ekonomi setelah satu tahun pandemi corona di Indonesia pada awal 2021.

[Waktu baca: 6 menit]

Peristiwa pandemi Covid-19 mencetak sejarah baru bagi pasar modal Indonesia. Gejolak di pasar saham tahun lalu mungkin bukanlah hal yang luar biasa, sebab ekonomi memang tengah resesi. Namun, krisis yang dihadirkan oleh pandemi tahun lalu hingga kini membawa warna baru bagi dinamika pasar modal.

Ada beberapa perkembangan unik di seputar pasar modal yang terjadi selama pandemi. Salah satu yang paling mencolok adalah dampak peningkatan harga ratusan saham secara fantastis usai kejatuhan yang sangat dalam pada Maret 2020. Hal ini membangkitkan euforia dan mendorong lonjakan jumlah investor baru.

Pergerakan harga IHSG tahun lalu menjadikan banyak kisah sukses investasi dari investor-investor yang mengambil posisi ketika pasar sedang jatuh. Dalam waktu yang relatif singkat, investasi mereka menghasilkan return yang tinggi, seiring dengan bankitnya IHSG pada paruh kedua tahun lalu.

Sebagai gambaran, dari posisi puncaknya di level 6.325,41 pada 14 Januari 2020, IHSG anjlok hingga 37,7% ke level terendahnya tahun lalu, yakni pada 24 Maret 2020 di level 3.937,63. Namun, setelahnya IHSG perlahan bangkit lagi hingga akhirnya ditutup di level 5.979,07 pada akhir 2020.

Artinya, jika dihitung dari level terendahnya, IHSG sudah naik 51,8%. Kenaikan 51,8% itu adalah kenaikan rata-rata seluruh pasar. Artinya, ada saham yang naiknya hingga ratusan persen, tetapi ada juga yang lebih rendah dari 50% atau bahkan masih memerah.

Beberapa investor cukup beruntung karena mengambil posisi yang tepat pada emiten yang tepat, sehingga berhasil membukukan tingkat keuntungan yang tinggi dalam waktu singkat. Euforia itu menyebar dan mengundang minat makin banyak orang untuk mencoba peruntungan di pasar modal.

Alhasil, banyak orang penasaran dengan pasar saham. Jumlah investor baru pun melejit, baik di pasar saham maupun reksa dana. Berikut ini data pertumbuhannya berdasarkan single investor identification (SID) dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) :

Pada data tersebut terlihat bahwa jumlah investor di pasar modal sepanjang 2020 tumbuh pesat hingga 56,21% year on year (yoy) menjadi 3,88 juta SID. Pada awal tahun ini, jumlahnya sudah meningkat lagi 16,35% year to date (ytd) menjadi 4,51 juta SID per akhir Februari 2021.

Peningkatan yang pesat ini memungkinkan sebab pendaftaran untuk menjadi investor di pasar modal kini tidak lagi serumit dulu. Pendaftaran dapat dilakukan secara online dan hanya membutuhkan waktu beberapa jam verifikasi sebelum akhirnya seseorang resmi mendapatkan akun rekening investasi.

Namun, seiring dengan peningkatan pesat dalam waktu singkat ini, kasus-kasus kegagalan investasi saham juga meningkat dan mewarnai perbincangan di jagat maya. Fenomena influencer saham pun bermunculan, mulai dari tokoh-tokoh publik yang sudah terkenal, sehingga tokoh pendatang baru.

Seiring dengan itu, muncul juga istilah pom-pom saham, yang tidak lain adalah upaya influencer tertentu untuk meyakinkan audiensnya tentang prospek suatu saham demi mengerek naik harga saham itu.

Otoritas bursa pun akhirnya buka suara dan mengingatkan para pelaku influencer saham agar berhati-hati dalam melakukan ajakan investasi, sebab risiko investasi saham cukup tinggi. Memang benar, banyak investor baru yang belum paham cara berinvestasi yang benar sehingga akhirnya rugi.

Peningkatan jumlah investor belum disertai dengan peningkatan proses edukasi yang merata, sehingga perilaku investasi cenderung hanya ikut-ikutan. Beberapa investor malah menggunakan uang pinjaman untuk berinvestasi yang ujung-ujungnya akhirnya kesulitan mengembalikan pinjamannya karena investasinya rugi.

Meskipun demikian, periode pandemi dan euforia di pasar modal belakangan ini tentu menjadi periode belajar yang sangat berharga bagi banyak investor baru di pasar modal. Kesadaran berinvestasi kini meningkat pesat dan tentu positif bagi perekonomian.

Peningkatan investor baru yang didominasi oleh investor domestik ini pun menyebabkan pasar modal Indonesia kini lebih kuat, sebab investor domestik menjadi penggerak utama pasar, bukan lagi investor asing.

Jika dulunya rata-rata transaksi harian tidak pernah lebih dari Rp10 triliun per hari, pada tahun ini bahkan sempat melonjak hingga lebih dari Rp25 triliun sehari. Investor domestik berkontribusi lebih dari 75% dari transaksi tersebut. Kini, rata-rata transaksi harian sudah sedikit menurun ke level Rp16 triliun per hari, tetapi investor domestik tetap dominan. 

Pasar Modal 2020 Penuh Tantangan

Kejatuhan IHSG yang sangat dalam pada paruh pertama 2020 lalu memang menimbulkan kepanikan. Namun, pelaku pasar juga menjadi saksi banyaknya upaya yang dilakukan otoritas bursa demi menenangkan pasar. Beberapa kebijakan yang diberlakukan tahun lalu bahkan masih berlaku hingga sekarang.

Setidaknya ada lima kebijakan kunci yang berlaku di pasar modal tahun lalu sebagai respons atas dinamika pasar. Semuanya ditetapkan pada Maret 2020 ketika pasar jatuh sangat dalam.

Pertama, pelarangan transaksi short selling atau jual kosong yang berpotensi makin menjatuhkan pasar. Larangan berlaku sejak 28 Februari 2020 lalu dan belum dicabut. Penjelasan tentang apa itu short selling bisa dibaca di sini: Mengenal Short Selling dalam Investasi Saham

Kedua, OJK mengizinkan emiten untuk membeli kembali sahamnya atau buyback tanpa perlu melalui mekanisme rapat umum pemegang saham (RUPS). Upaya buyback oleh emiten diharapkan dapat membantu menaikkan lagi harga saham mereka. Kebijakan ini berlaku pada 9 Maret 2020 dan banyak emiten memanfaatkannya.

Ketiga, sejak 9 dan 13 Maret 2020 terjadi perubahan batasan harga auto rejection menjadi asimetris. Bursa mengizinkan harga saham dalam satu hari naik antara 20%-35% (auto rejection atas/ARA), tetapi hanya mengizinkan turun hingga 7% (auto rejection bawah/ARB). Ini perubahannya :

Keempat, bursa juga memberlakukan trading halt atau penghentian sementara perdagangan selama 30 menit jika IHSG turun hingga 5%. Sepanjang Maret 2020 saja, bursa melakukan trading halt sebanyak 6 kali, yakni pada tanggal 12, 13, 17, 19, 23, dan 30 Maret 2020.

Kelima, pada 13 Maret 2020 BEI tidak lagi mengizinkan transaksi saham pada sesi prapembukaan (pre-opening) untuk mencegah kejatuhan harga yang dalam, terutama selama sesi sebelum pasar dibuka. Biasanya, transaksi pre-opening ini akan menentukan harga pembukaan pasar pada pukul 09.00 WIB.

Keenam, pada 24 Maret 2020 jam perdagangan efek diperpendek. Tujuannya, agar waktu transaksi menjadi lebih singkat, sehingga peluang terjadinya gejolak harga yang lebih besar pun sedikit bisa diminimalisasi. Berikut ini perubahannya :

Upaya-upaya ini menjadi salah satu faktor yang menopang pasar sehingga dapat bertahan dan kembali bangkit setelah melewati periode terberat pada Maret 2020.

Setelah melewati posisi terendahnya pada 24 Maret 2020 yakni di level 3.937,63, IHSG perlahan mulai bangkit lagi seiring dengan keseriusan pemerintah dalam menyusun program penanganan pandemi. Pemerintah merealokasi dan merevisi anggaran belanja 2020 serta mengeluarkan beberapa regulasi baru yang sifatnya darurat.

Dengan demikian, IHSG pun naik lagi. Sepanjang April-Juni 2020 IHSG sudah kembali ke level 4.000-an, bahkan sesekali sempat menyentuh level 5.000-an pada awal Juni 2020. Sejak Juli 2020 IHSG mulai stabil di atas level 5.000-an, tetapi kembali ke level 4.000-an pada September 2020.

Memasuki Oktober 2020, IHSG sudah stabil di level 5.000-an, bahkan kembali menyentuh lagi level 6.000-an sejak pertengahan Desember 2020. Namun, pada hari terakhir perdagangan Desember 2020, IHSG pun ditutup di posisi 5.979,07.

Secara tahunan, IHSG mencatatkan koreksi hanya 5,09%. Namun, jika dihitung dari level terendahnya pada Maret 2020 di posisi 3.937,63, IHSG justru meningkat pesat 51,8%.

Di luar dinamika IHSG ini, pasar modal Indonesia sejatinya mencatatkan prestasi yang cukup baik sepanjang 2020 hingga awal tahun ini. Secara umum, pasar modal Indonesia bertumbuh cukup baik selama pandemi. Berikut ini beberapa prestasi utama yang disoroti OJK: 

Bagaimana Prospek Pasar Modal Tahun Ini?

Posisi terendah IHSG akibat sentimen pandemi terjadi tepat setahun yang lalu, yakni pada 24 Maret 2020 di level 3.937,63. Kini, pada 24 Maret 2021, IHSG sudah ada di level 6.156,14. Artinya, dalam setahun terakhir, IHSG sudah meningkat 56,3% yoy.

Sepanjang tahun ini saja, kenaikan IHSG memang hanya tercatat 2,96% ytd, tetapi kondisi ini lebih baik dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia dan Filipina yang pasar sahamnya masih turun masing-masing 1,7% dan 9% ytd.

Sepanjang tahun ini, IHSG sebenarnya sempat menguat hingga ke posisi 6.435,21 pada 13 Januari 2021. Namun, perkembangan kasus baru pandemi yang masih tinggi, ketidakpastian terkait potensi pemulihan ekonomi, dan perkembangan sentimen global menyebabkan IHSG cenderung bergerak sideways.

Kendati demikian, ada banyak alasan untuk meyakini IHSG tahun ini bakal berkinerja positif hingga akhir tahun. Saat ini, vaksinasi sudah berjalan, sedangkan pembatasan sosial tidak lagi seketat tahun lalu. Ada harapan pandemi akan berakhir.

Kondisi lalu lintas di Jakarta akhir-akhir ini mulai macet lagi, yang berarti aktivitas ekonomi mulai menggeliat. Mudik pun tampaknya tidak akan dilarang pada Lebaran tahun ini, sehingga membuka peluang peningkatan kinerja bagi emiten-emiten terkait, seperti sektor transportasi dan logistik.

Sementara itu, ekonomi China mulai menggeliat lagi, sehingga berpotensi turut mengerek perekonomian negara-negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia. Amerika Serikat juga menyiapkan stimulus jumbo hingga US$1,9 triliun yang bakal mendongkrak perekonomian mereka dan tentu berdampak secara global.

Era suku bunga saat ini sudah sangat rendah, sehingga pelaku usaha berkesempatan untuk berekspansi dengan kredit yang lebih murah. Bunga deposito yang rendah juga akan mendorong masyarakat memindahkan uangnya dari deposito yang kurang menguntungkan, ke investasi lain yang lebih produktif.

Pemerintah juga sudah menggelontorkan banyak insentif, khususnya di sektor perumahan dan otomotif, seperti pemangkasan pajak, keringan uang muka kredit hingga 0%, dan subsidi bunga kredit rumah. Sektor jasa konstruksi juga mendapatkan insentif pajak yang cukup tinggi.

Alokasi anggaran infrastruktur tahun ini juga meningkat dibandingkan dengan tahun lalu, sedangkan anggaran bantuan sosial juga tetap besar. Sementara itu, pemerintah juga sudah mendirikan sovereign wealth fund (SWF) yang akan membuka pintu masuk bagi investasi asing yang lebih besar.

Jika semua upaya ini berjalan dengan baik, geliat ekonomi akan meningkat. Korporasi pun bakal mampu memulihkan lagi capaian labanya. Meskipun mungkin belum akan sebaik kondisi sebelum pandemi, tetapi kinerja korporasi kemungkinan besar akan lebih baik dibandingkan dengan tahun lalu.

Seiring dengan perkembangan bisnis emiten yang membaik, tentu wajar jika kinerja sahamnya pun bakal ikut terdongkrak. Beberapa sekuritas juga cukup optimistis IHSG akan mampu mencapai level 6.700 bahkan hingga 7.000 tahun ini. Lagi pula, tren IHSG biasanya menguat usai krisis pada tahun tertentu.

Setelah krisis keuangan 2008 menjatuhkan IHSG hingga 50,64%, pada 2009 IHSG melejit 86,98%. Usai tekanan -0,98% akibat taper tantrum pada 2013, IHSG naik 22,29% pada 2014. Tampaknya, hal yang sama bakal terulang tahun ini. Semoga saja.