Yang Tersisa dari Polemik PPN Sembako

Date:

Tak lama setelah beredarnya draf revisi kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) yang sedang dibahas DPR, banjir protes bermunculan dari kalangan pejabat, pengamat, hingga warga biasa.

Aturan paling kontroversial dalam beleid ini, meski bukan satu-satunya, adalah tentang rencana pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembako yang meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, buah-buahan dan sayur-mayur, ubi-ubian, bumbu-bumbuan dan gula konsumsi. Wacana ini tertuang dalam Pasal 4A, yang secara spesifik menghapus sembako dari jenis barang tidak dikenai pajak sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 116/PMK.010/2017.

Kritik terutama muncul karena penerapan PPN terhadap produk sembako dinilai tak berpihak kepada kalangan menengah ke bawah. Apalagi jika kebijakan ini berlaku per tahun depan, ketika belum ada kepastian jika pandemi dan pelemahan daya beli masyarakat sudah teratasi. Wacana pajak sembako memang masih butuh persetujuan DPR dibahas dalam sidang resmi. Namun, berdasarkan jajak pendapat awal, sebagian lingkaran di parlemen sudah menyebar sinyal bahwa mayoritas fraksi menentang regulasi yang digagas oleh pemerintah tersebut.  “[Soal] sembako, rakyat dibantu BLT oleh pemerintah. Jika di satu sisi pemerintah membantu tapi di sisi lain memajaki, ini kan problem,” kata Anggota Komisi XI DPR Fauzi Amro seperti diwartakan Tempo, Jumat (18/6/2021)

Sebelum penolakan tersebut muncul, sebenarnya Kementerian Keuangan sudah mencoba pasang badan. Dalam paparan Kamis (17/6) Menteri Keuangan Sri Mulyani menggarisbawahi sembako yang akan diikat dengan pajak adalah sembako-sembako dengan kualitas premium. Utamanya adalah jenis-jenis sembako impor. Dia mencontohkan beras shirataki, daging sapi kobe, hingga daging wagyu sebagai sembako yang dimaksud. Untuk itu, kebijakan tersebut dinilai pemerintah tidak akan memberatkan warga miskin karena mayoritas sembako premium hanya berputar di kalangan orang kaya. Sri Mulyani juga menggaransi bahwa PPN tidak akan diberlakukan terhadap produk di pasar tradisional, dan hanya diterapkan di ritel modern.

“Penerapan pajak untuk bahan pangan kelompok menengah atas justru mencerminkan asas keadilan dalam perpajakan. Yang lemah dibantu dan dikuatkan, dan yang kuat membantu dan berkontribusi,” kata Sri Mulyani dalam keterangan resmi lewat Instagramnya.  Sayangnya, toh argumen pemerintah tersebut belum mampu meluluhkan hati sebagian besar masyarakat maupun kalangan pakar berikut parlemen. Mengapa demikian? Mengapa aturan ini tetap menuai kritik dari kalangan pakar meski pemerintah sudah menggaransi bahwa yang akan dikenai pajak hanyalah produk-produk premium?

Hal pertama yang patut dimengerti adalah realitas bahwa tidak ada yang bisa menjamin adanya PPN, yang akan mengerek harga sembako premium, tidak akan berdampak pula terhadap dinamika harga sembako biasa yang dikonsumsi kelas bawah. Sebagai gambaran, faktor psikologis dari kalangan produsen ataupun pedagang misalnya, bisa jadi akan membuat mereka menaikkan harga beras biasa ketika melihat harga beras-beras bagus lain di pasaran sedang naik. Jika ilustrasi semacam ini terjadi, bisa dipastikan masyarakat kelas bawah pun akan ikut terdampak.

Itu baru jika berbicara dampak psikologis pada kalangan pemasok atau pedagang. Jika bicara soal faktor psikologis dari sisi konsumen maupun distributor, kenaikan harga sembako premium juga berpotensi menimbulkan dorongan untuk menimbun sembako-sembako yang akan naik sebelum kebijakan diberlakukan. Dengan asumsi RUU KUP berlaku per tahun depan, aksi menimbun barang-barang yang bakal terdampak PPN bisa terjadi pada tahun ini dan jika itu terjadi, dampaknya terhadap perekonomian tidak bisa dipandang remeh. Terutama mengingat pemerintah dan Bank Indonesia memiliki target inflasi tendensius.

Jika aksi menimbun barang, dalam hal ini adalah sembako, terjadi dalam skala besar maka hal tersebut bakal membuat jumlah barang beredar jauh di bawah kondisi semestinya. Hal tersebut bisa membuat pergerakan inflasi meleset dari proyeksi yang diterapkan pemerintah maupun BI. Bukan berarti kebijakan yang berusaha digulirkan pemerintah seratus persen keliru. Bagaimanapun, penting pula untuk memahami bahwa tujuan awal pemerintah berusaha menerapkan PPN pada berbagai barang termasuk sembako juga untuk ditempuh untuk memenuhi kebutuhan negara.

PPN, pada akhirnya, merupakan salah satu opsi masuk akal ketika penerimaan negara dari sumber pajak lain seperti Pajak Penghasilan (PPh) dan kepabeanan tidak mampu memenuhi target. Apalagi, studi mengamini bahwa PPN turut dinikmati kalangan kelas atas juga semakin banyak bermunculan.

Sebagai informasi, hingga April lalu menurut data Kemenkeu penerimaan pajak Indonesia baru mentok pada angka Rp228,1 triliun. Angka tersebut bukan saja turun 5,6 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya, tapi juga baru setara 18,6 persen dari target akhir tahun pemerintah yang sebesar Rp1.229,6 triliun. Artinya, sepanjang 8 bulan terakhir tahun ini pemerintah punya PR berat untuk menggenjot penerimaan pajak hingga angka Rp1.001,5 triliun atau rata-rata Rp125,18 milyar per bulan.

Dalam pernyataannya, Kemenkeu sempat menyatakan bahwa mereka punya rencana untuk menarik penghasilan pajak semaksimal mungkin dari barang-barang impor. Sehingga, selain peningkatan PPh, wajar bila akhirnya pemerintah berupaya memberlakukan pajak pada barang-barang impor termasuk sembako impor yang kerap terasosiasi pada bahan-bahan makanan premium. 

Namun, bila wacana kebijakan tersebut kemudian mendapat penolakan besar seperti yang terjadi sekarang, pemerintah tentu juga tak bisa memaksakan kehendak. Jalan allternatif mesti dipikirkan Sri Mulyani dan kolega. Beragam opsi alternatif sudah berusaha dimunculkan kalangan parlemen maupun ekonom.

Mulai dari saran untuk menarik pajak perusahaan raksasa teknologi yang beroperasi di Indonesia seperti Google dan Facebook, usulan penarikan pajak dari pelaku ecommerce, saran untuk mengimbangi minimnya pemasukan dengan pemangkasan pengeluaran termasuk anggaran gaji bos BUMN, hingga peningkatan penerimaan dari kepabeanan seiring membaiknya harga komoditas global. Namun, pada akhirnya, kini bola ada di tangan pemerintah. Kini, patut dinanti bagaimana kabinet Presiden Joko Widodo mencari jalan keluar baru seiring menipisnya kans pajak sembako mendapat restu dari parlemen dan masyarakat.