13 Saham LQ-45 Ini Melejit Ungguli IHSG

Date:

[Waktu baca: 5 menit]

Harga 13 saham yang masuk ke dalam Indeks LQ-45 telah melampaui level harga pra-pandemi atau sejak awal 2020.

Persentase kenaikan harga saham ini lebih tinggi daripada IHSG dan sebagian besar saham LQ-45 yang harganya masih minus secara year to date hingga pekan kedua Desember 2020.

Berikut ini sahamnya:

Nomor Saham 2 Januari 13 Desember   YTD
1 ACES 1510 1705 12.91%
2 ADRO 1495 1535 2.68%
3 ANTM 840 1450 72.62%
4 ERAA 1830 1945 6.28%
5 INCO 3620 5225 44.34%
6 INKP 7625 10700 40.33%
7 ITMG 11350 14675 29.30%
8 MDKA 1090 1935 77.52%
9 PTBA 2630 2810 6.84%
10 SCMA 1385 1780 28.52%
11 TBIG 1240 1540 24.19%
12 UNTR 21500 26150 21.63%
13 TOWR 800 1015 26.88%

 

Dari tabel di atas tampak sebagian besar merupakan saham tambang (ADRO, PTBA, MDKA, INCO, ANTM, MDKA) dan sisanya ritel (ACES, ERAA), media (SCMA), menara (TBIG, TOWR) serta kertas (INKP).

Mengapa tambang?

Batubara, Emas dan Nikel

Sama seperti komoditas lain yang harganya sempat terjungkal pada Maret 2020 akibat pandemi corona, harga batubara dan nikel bangkit pada paruh kedua 2020.

Secara year to date, harga nikel sudah naik hampir 30% dari US$13.275 pada awal 2020 menjadi US$17.100 per metrik ton 12 Desember 2020. Harga nikel secara global naik karena peningkatan permintaan dari sektor stainless steel dan industri mobil listrik.

Dua emiten yang memiliki tambang nikel adalah Antam (ANTM) dan Vale Indonesia (INCO). ANTM dan INCO, kedua perusahaan yang sebagian sahamnya dimiliki oleh holding BUMN tambang, membukukan kinerja yang solid pada kuartal 3/2020 dimana laba ANTM naik 30% dan INCO naik 47.775%.

Peningkatan harga saham ANTM dan INCO turut dipicu sentimen perkiraan peningkatan permintaan nikel di masa depan untuk memenuhi kebutuhan produksi baterai mobil listrik. Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 55/2019 tentang Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai Untuk Transportasi Jalan.

Mobil listrik digadang akan menjadi masa depan industri mobil di Indonesia. Kendati belum banyak mobil listrik yang dipasarkan di Indonesia, bank sentral menetapkan kebijakan uang muka 0% untuk kredit kendaraan bermotor ramah lingkungan.

Selain nikel, ANTM juga memiliki lini bisnis emas. Emas adalah kontributor terbesar (lebih dari 70%) terhadap pendapatan ANTM pada kuartal 3/2020. Seperti diketahui, harga emas "menguning" sepanjang 2020 akibat sejumlah faktor yang berdampak terhadap kinerja perusahaan tambang emas.

Sentimen harga emas tersebut yang turut berdampak terhadap pergerakan harga saham Merdeka Copper (MDKA), saham yang baru menjadi anggota LQ-45 pada 2020. Perusahaan yang terbilang baru dalam produksi emas ini menunjukkan sejumlah indikator menarik dalam kinerja fundamentalnya.

Di antara perusahaan sejenis (perusahaan tambang), Merdeka Copper memiliki return on equity (ROE) yang cukup besar yaitu 13,8% atau kedua terbesar setelah PT Citra Mineral Investindo Tbk. (26,2%). Return on asset (ROA) Merdeka Copper Gold 8,13% atau salah satu tertinggi dimana perusahaan-perusahaan tambang lainnya memiliki ROA di bawah 8%.

Begitupula dengan rasio profitabilitas lainnya, Merdeka Coppr Gold memiliki net profit margin (NPM) sebesar 38,5% atau kedua terbesar setelah PT Bumi Resources Minerals Tbk. (92%). 

Bagaimana dengan batubara?

Harga batubara sudah naik 45% dari US$45 pada awal 2020 menjadi US$60 pada Desember 2020. Harga saham komoditas, termasuk harga saham batubara, relatif sensitif terhadap pergerakan harga batubara. 

Kendati demikian, kinerja keuangan Adaro Energy (ADRO) dan Bukit Asam (PTBA) belum secemerlang INCO dan ANTM. Laba ADRO dan PTBA masing-masing turun 47% dan 45% pada kuartal 3/2020 karena penurunan konsumsi listrik di Indonesia atau di negara pengimpor batubara.

Di dalam Indonesia, Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, konsumsi listrik turun 7% selama Januari-Juni 2020. Di pasar domestik, PTBA banyak memasok listrik ke PLN. Hampir 60% pendapatan PTBA berasal dari penjualan batubara ke PLN dan anak usaha PLN, PT Indonesia Power Indonesia. 

Sementara itu, 70% pendapatan ADRO berasal dari ekspor. ADRO banyak mengekspor batubara ke Malaysia, India, China, Korea, Jepang dan sebagainya.

Kondisi menjadi pelajaran berharga bagi investor yang tertarik terhadap saham komoditas. Investor kawakan Indonesia, Lo Kheng Hong, pernah menyatakan ketertarikannya terhadap saham komoditas.

Menurutnya, saat harga komoditas turun adalah waktu yang tepat untuk mengkoleksi saham komoditas. Momentum itu disebutnya sebagai bad times. “Kalau saya beli sektor yang lain mungkin tidak bisa dapat capital gain sehebat itu. Tentu saja saya suka komoditas karena bisa mendapatkan capital gain yang sangat besar,” kata Pak Lo, begitu dia biasa disapa.