Ambisi China Menuju Netralitas Karbon dan Bayang-Bayang Tekanan Bisnis Adaro

Date:

Ambisi besar China untuk mencapai netralitas emisi karbon pada 2060 punya pengaruh besar bagi Indonesia, terutama bagi emiten-emiten penambang batu bara yang selama ini menjadi pemasok tetap bagi kebutuhan batu bara ke China.

Kini, setiap kali kita berbicara tentang prospek emiten batu bara, selalu turut membayangi di belakangnya kekhawatiran bahwa pada suatu saat nanti, pasar mereka akan makin mengecil. Dengan kata lain, masa depan emiten batu bara tampaknya tidak begitu cemerlang.

Isu perubahan iklim dan tuntutan untuk beralih ke energi yang lebih ramah lingkungan menempatkan batu bara di posisi terpojokkan sebagai biang masalah utama peningkatan emisi karbon. Selain itu, proses penambangan batu bara pun kerap kali membangkitkan konflik di masyarakat.

Di satu sisi, batu bara telah menjadi sumber energi murah yang berkontribusi besar bagi kemajuan ekonomi dunia. Namun, di sisi lain, tantangan perubahan iklim juga nyata dan batu bara sendiri jelas adalah sumber energi yang tidak dapat diperbarui.

Pada akhirnya, era batu bara akan berakhir dan harus ada yang menggantikan. Namun, penggantinya tersebut harus memiliki risiko iklim yang lebih rendah. Sejauh ini, sudah banyak opsi yang berkembang di dunia, mulai dari tenaga air, surya, angin, ombak, nuklir, dll.

Hanya saja, tampaknya masih butuh lebih banyak waktu sebelum biaya pengembangan pembangkit-pembangkit listrik dengan energi alternatif tersebut menjadi sama murahnya dengan pembangkit energi batu bara. Meski begitu, tampaknya penantian ini tidak akan terlalu lama lagi.

Bagi Indonesia, kebijakan China tentu bakal berdampak signifikan, terutama karena batu bara adalah salah satu komoditas andalan ekspor Indonesia dan China adalah pasar ekspor terbesar Indonesia.

Meskipun perusahaan produsen batu bara di Indonesia memiliki kewajiban untuk menjadi pemasok bagi kebutuhan batu bara domestik, umumnya perusahaan-perusahaan ini lebih meminati pasar ekspor, sebab potensi cuannya lebih besar.

Di sisi lain, Indonesia sendiri juga memiliki misi yang sama untuk menekan tingkat emisi karbonnya. Bagaimanapun, ini sudah menjadi komitmen bersama komunitas global. Oleh karena itu, produsen batu bara dalam negeri mau tidak mau harus segera mencari jalan keluar untuk menjamin prospek bisnis jangka panjang mereka.

Salah satu emiten produsen batu bara terbesar Indonesia adalah PT Adaro Energy Tbk. Perusahaan ini dikendalikan oleh saudara kandung Menteri BUMN Erick Thohir, yakni Garibaldi ‘Boy’ Thohir. Tahun ini, emiten berkode ADRO ini membukukan penurunan kinerja akibat tekanan pandemi yang masih besar. Namun, bagaimana prospek bisnisnya di tengah isu perubahan iklim?

 

Misi Radikal China

Keputusan China untuk menekan tingkat emisi karbon mereka tidak terlepas dari tekanan komunitas global. Beberapa tahun terakhir, China menjadi negara dengan tingkat pertumbuhan ekonomi terbesar dunia. Hal itu terjadi seiring dengan peningkatan aktivitas industri dan konsumsi energi fosil yang besar.

Saat ini, kesadaran terhadap kemendesakan isu perubahan iklim makin meningkat di komunitas negara-negara. China menjadi sorotan utama sebab tingkat emisi karbonnya sangat besar. Berdasarkan data Global Carbon Project 2020 yang dikutip BBC, tingkat emisi China mencapai 2.777 juta ton per tahun. 

Di posisi kedua ada Amerika Serikat dengan jumlah emisi 1.442 juta ton per tahun, serta India di posisi ketiga sebesar 714 juta ton per tahun. Selanjutnya, ada Rusia di posisi keempat dengan emisi 458 juta ton per tahun dan Jepang di posisi kelima sebesar 302 juta ton per tahun.

Sebenarnya, tingkat emisi karbon per kapita China hanya separuh dibanding Amerika Serikat. Namun, mengingat jumlah penduduk China yang sangat besar, perbedaannya menjadi sangat signifikan.

China bukannya tidak membela diri. Energi batu bara telah menjadi sumber pertumbuhan ekonomi negara-negara barat di masa lalu. Kini, ketika China ingin melakukan langkah yang sama seperti yang dilakukan negara-negara tersebut di masa lalu, mereka justru dijegal.

Namun, isu lingkungan hidup adalah isu yang vital dan dampak perubahan iklim sudah nyata terlihat. Pada akhirnya, China pun akan turut mendapatkan akibatnya jika tidak berpihak pada kepentingan lingkungan hidup.

Oleh karena itu, China akhirnya tampaknya mengalah dan menyatakan komitmennya untuk mengurangi tingkat emisi karbonnya. Presiden China Xi Jinping mengatakan bahwa puncak emisi karbon negaranya akan dicapai pada 2030 nanti. Setelahnya, tingkat emisi akan berkurang secara bertahap hingga mencapai titik netral pada 2060.

Itu artinya, China tidak akan secara mendadak menghentikan penggunaan batu bara untuk menjadi sumber energinya. Rencananya, China baru akan sepenuhnya meninggalkan batu bara pada 2050 nanti dan menggantinya dengan energi nuklir dan terbarukan. Adapun, saat ini lebih dari separuh kebutuhan energi China dipenuhi dari batu bara.

Namun, anehnya, saat ini China justru sedang membangun lebih dari 60 lokasi baru pembangkit listrik tenaga batu bara di seluruh negeri, dengan setiap lokasi memiliki lebih dari satu pembangkit. Fakta ini menjadikan komitmen China dipertanyakan, sebab biasanya masa aktif pembangkit listrik mencapai 30-40 tahun.

Ongkosnya bakal sangat besar bagi China jika harus menutup pembangkit yang lama dan menghentikan operasi pabrik-pabrik barunya dalam jangka waktu yang lebih singkat dari yang seharusnya. Itu berarti, tingkat pengembalian investasi mungkin tidak tercapai. Tentu tak ada investor yang menyukai ini.

Hal ini tentu sudah diperhitungkan oleh para investor yang membangun pembangkit listrik energi batu bara yang baru selama ini. Oleh karena itu, komitmen China menjadi dipertanyakan, sebab para investor ini tidak mungkin tidak mengetahui kebijakan netralitas emisi pada 2060 dan harus menghentikan pembangkit mereka pada 2050.

Kendati demikian, komitmen China juga dapat dipercaya jika menimbang upaya pengembangan teknologi pembangkit listrik energi terbarukan yang mereka kembangkan saat ini. China cukup maju dalam hal pengembangan panel surya dan baterai berskala besar.

Berdasarkan data Badan Energi Terbarukan Internasional 2021 yang dikutip BBC, total kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan China per 2020 mencapai 254.355 megawatt, terbesar di dunia. Di urutan kedua lagi-lagi ada Amerika Serikat, tetapi hanya sebesar 75.572 MW.

Hanya saja, lagi-lagi jika menimbang besarnya populasi China, pekerjaan rumah yang harus dibereskan China sangat besar. Namun, yang lebih penting bagi kita, selama proses menuju komitmen China, bagaimana nasib emiten batu bara Indonesia yang menjadi pemasok batu bara ke China?

 

Strategi ADRO Bersiap Diri

Untuk mewakili industri pertambangan batu bara Indonesia, kita dapat mendalami ADRO, menimbang perusahaan ini menjadi emiten dengan produksi batu bara terbesar kedua setelah PT Bumi Resources Tbk. (BUMI). Kendati kalah dari BUMI dalam hal produksi, struktur keuangan ADRO jauh lebih sehat ketimbang BUMI.

Berhadapan dengan isu lingkungan hidup yang makin menghangat serta tuntutan global untuk segera beralih ke sumber energi ramah lingkungan, ADRO pun mulai beradaptasi. Bagaimanapun, batu bara masih menjadi penyumbang terbesar bisnis ADRO, tetapi ADRO harus segera bersiap meninggalkan batu bara.

Boy Thohir dalam salah satu kesempatan mengatakan bahwa ADRO kini baru saja menambah satu pilar bisnis baru, yakni Adaro Green Initiative, melengkapi delapan pilar lain yang telah dikembangkan perusahaan.

Adapun, kedelapan pilar lain tersebut yakni Adaro Mining, Adaro Services, Adaro Logistics, Adaro Power, Adaro Land, Adaro Water, Adaro Capital dan Adaro Foundation.

Melalui pilar baru itu, Adaro ingin melebarkan sayap bisnisnya ke energi ramah lingkungan, termasuk mengkaji potensi bisnis biomass, solar panel, hingga hilirisasi batu bara menjadi hidrogen. Inisiatif ini dimulai setelah merespons adanya kebutuhan dari mitra dagang Adaro, termasuk dari dalam negeri.

Kepedulian terhadap upaya menekan emisi telah mendorong banyak pelanggan Adaro untuk melakukan kombinasi antara batu bara dengan biomass.

Terlepas dari itu, sebenarnya pada pilar Adaro Power pun ADRO sudah mulai merintis pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan, seperti energi matahari, angin, dan air. Perseroan juga berupaya merehabilitasi ekosistem di sekitar hauling road untuk mendapatkan carbon credit. Carbon credit itu nantinya bisa dijual kepada perusahaan lain yang membutuhkannya.

ADRO juga bekerjasama dengan Pertamina untuk penghiliran batu bara menjadi dimethyl ether (DME) selain menggenjot hilirisasi batu bara menjadi hidrogen.

Meskipun serius dengan langkah diversifikasi bisnis ini, ADRO tidak akan begitu saja melepas fokusnya pada batu bara. Dalam 10 tahun ke depan, perseroan masih melihat prospek permintaan batu bara masih akan tinggi.

Bagaimanapun, batu bara hingga kini masih menjadi sumber energi utama dunia dan tidak mudah untuk menggantikannya dengan segera. Selain murah dan masih berlimpah pasokannya, teknologinya pun sudah lebih banyak dikuasai ketimbang pembangkit listrik alternatif yang masih baru.

Langkah serupa Adaro juga sudah mulai dikembangkan oleh emiten-emiten batu bara lainnya. Strategi mereka beragam dan tidak melulu diversifikasi ke arah energi terbarukan. Beberapa emiten lain memilih diversifikasi ke arah produk tambang lain atau bisnis lain yang berbeda sama sekali.

 

Bisnis ADRO 2021

ADRO mencatatkan kinerja yang tidak begitu cemerlang pada kuartal pertama tahun ini. Pendapatannya turun 8% year-on-year (YoY) menjadi US$692 juta, sedangkan laba bersihnya turun 27% menjadi US$72 juta.

Perseroan belum merilis kinerja keuangan untuk kuartal II/2021. Meskipun demikian, dalam materi paparan publiknya, ADRO telah melaporkan kinerja operasional pada semester pertama tahun ini.

Hasilnya, volume produksi perseroan masih turun 3% YoY menjadi 26,49 juta ton, sedangkan penjualan turun 5% YoY menjadi 25,78 juta ton. Sementara itu, volume pengupasan atau overburden removal (OB) mencapai 115,22 juta bcm, naik 12% YoY.

Tahun ini, Adro menargetkan volume produksi sekitar 52 juta ton. Capaian produksi pada paruh pertama tahun ini tergolong masih sesuai dengan target perseroan. Adapun, porsi penjualan Adaro terbesar yakni ke pasar domestik Indonesia sebesar 28%, Asia Tenggara 22%, dan China 20%.

Saat ini, harga batu bara acuan (HBA) dalam negeri tengah mencapai rekor dalam satu dekade, tepatnya US$130,99 per ton untuk bulan Agustus 2021. Dalam beberapa bulan terakhir, harga batu bara memang meningkat pesat seiring dengan pulihnya ekonomi global.

Negara-negara yang mulai mengalami pemulihan ekonomi kembali meningkatkan konsumsi energi mereka sehingga kebutuhan batu bara meningkat. Di sisi lain, kondisi cuaca yang ditandai La Nina tahun ini di Indonesia menyebabkan volume hujan meningkat dan menghambat laju produksi batu bara.

Hujan ekstrem di China akhir-akhir ini juga turut menekan produksi di sana, sehingga menyebabkan harga batu bara kian melambung. Harga yang tinggi ini menjadi sentimen positif bagi emiten batu bara, termasuk ADRO, setidaknya untuk jangka pendek-menengah.

Sebab, China juga mengembangkan wacana untuk kembali mengizinkan produksi batu bara oleh badan usaha di China untuk menekan harga yang kini terlalu tinggi. Belum lagi, ada wacana dari beberapa lembaga keuangan global yang hendak menghentikan pendanaan untuk proyek batu bara.

Indonesia sendiri juga memiliki rencana untuk menghentikan operasi pembangkit listrik tenaga uap berbasis batu bara secara bertahap. Alhasil, sentimen kenaikan harga batu bara tidak sepenuhnya kuat bagi emiten-emiten di sektor ini.

Selain itu, harga batu bara juga umumnya sudah terkontrak untuk jangka menengah, sehingga kenaikan harga saat ini boleh jadi tidak berdampak terhadap kontrak yang sudah ditandatangani beberapa bulan sebelumnya. Namun, untuk kontrak-kontrak baru, tentu efeknya signifikan.

 

Masa Depan Emiten Batu Bara

Saat ini, emiten-emiten tambang batu bara umumnya telah mulai berkonsolidasi untuk mempersiapkan strategi menghadapi tekanan yang ditimbulkan oleh isu perubahan iklim. Tantangan ini sudah masuk dalam radar perusahaan-perusahaan ini, sehingga mereka telah mulai bersiap.

Bisnis batu bara sendiri sejatinya cukup menjanjikan dan telah menjadi kontributor besar bagi devisa negara. Namun, bisnis ini tidak berkesinambungan, sebab bergantung pada sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui.

Ditambah lagi dengan tekanan tuntutan pengurangan emisi karbon, cepat atau lambat batu bara akan segera ditinggalkan. Jika emiten-emiten batu bara gagal untuk bertransformasi dan mengembangkan lini bisnis baru, ancaman bagi keberlangsungan usaha mereka bakal sangat besar.