Bagaimana Bank Menghadapi Tekanan Rasio Kredit?

Date:

Masih terbayang dalam ingatan, tahun lalu menjadi pukulan terbesar bagi industri perbankan. Kondisi yang pelik dan tak banyak pilihan membuat kinerjanya merosot tajam. Ancaman gagal bayar, isu restrukturisasi hingga penyesuaian sejumlah regulasi menjadi memori yang terus menghantui sepanjang tahun. 

Belum lagi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan bank kecil dengan permodalan di bawah Rp1 triliun untuk segera menaikkan modalnya menjadi minimal Rp1 triliun. Di tengah bisnis yang tengah tidak stabil, mereka harus mencari tambahan modal yang kemungkinan justru bakal menjadi idle.

Bayang-bayang ketidakpastian masih berlanjut. Kendati penyesuaian regulasi didorong memberikan dampak positif bagi perbankan, tetapi bagaimana merangkai sebuah kebijakan yang tepat untuk perbankan saat ancaman krisis di depan mata?

Salah satu regulasi yang paling disorot adalah penyesuaian regulasi Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) bagi perbankan. Penyesuaian regulasi ini berdampak besar pada struktur keuangan perbankan serta laba bersihnya. 

Lewat aturan baru, prinsip kehati-hatian atau asas prudential perbankan untuk mengantisipasi kondisi terburuk menjadi catatan penting. Berdasarkan penjelasan di laman resmi Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), PSAK 71 merupakan adopsi dari International Financial Reporting Standards (IFRS) 9. 

PSAK 71 menggantikan PSAK 50, 55, dan 60. PSAK ini sebenarnya sudah terbit sejak 2017, tetapi baru berlaku efektif pada 2020 sebagai periode persiapan bagi bank. Standar baru ini mengubah metode perhitungan dan penyediaan cadangan kerugian akibat kredit macet.

Pada prinsipnya, PSAK 71 mengharuskan perbankan untuk memiliki cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) yang lebih besar dibanding sebelumnya. Hal ini karena mandat PSAK 71 mewajibkan perusahaan untuk menyediakan pencadangan sejak awal periode kredit.

Padahal, pada PSAK 55 kewajiban pencadangan baru muncul jika terjadi peristiwa yang mengakibatkan risiko gagal bayar. Dalam PSAK yang baru, pencadangan disediakan tidak saja untuk kredit macet (nonperforming), tetapi juga yang berstatus lancar (performing) dan ragu-ragu (underperforming).

Namun, tentu tingkat pencadangan untuk masing-masing kategori berbeda satu sama lain. PSAK 71 menggunakan metode forward looking untuk mengukur potensi kerugian di masa mendatang. Semakin rendah kualitas kredit, makin besar potensi kerugian di masa mendatang, sehingga CKPN menjadi lebih besar.

 

Bank Dalam Pusaran Krisis Pandemi

Keputusan pemerintah untuk melakukan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPMK) berdampak signifikan pada ekonomi, sebab kegiatan usaha tidak dapat berjalan normal. Mobilitas orang terbatas dan transaksi keuangan kena imbasnya. 

Alhasil, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri atas Kementerian Keuangan, OJK, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bergegas menyiapkan rancangan kebijakan untuk menopang stabilitas industri keuangan.

Oleh karena itu, munculah kebijakan relaksasi restrukturisasi kredit bagi debitur terdampak pandemi, serta penempatan dana negara berbunga rendah pada sejumlah bank mitra untuk membantu mendorong kredit.

Melalui relaksasi itu, kredit yang direstrukturisasikan tidak masuk ke dalam kategori nonperforming loan (NPL), melainkan tetap dalam kategori lancar. Namun, bank tetap melakukan pencadangan untuk semua kreditnya sesuai amanat PSAK 71.

Bedanya, ketika kredit berstatus NPL memiliki tingkat risiko tinggi, maka beban pencadangannya pun lebih besar ketimbang kredit yang masih berstatus lancar. Adanya relaksasi ini sedikit melonggarkan beban pencadangan bank, setelah meningkat akibat implementasi PSAK 71.

Berikut ini grafik perkembangan CKPN industri perbankan dalam beberapa tahun terakhir berdasarkan data OJK :

Pada grafik tersebut terlihat adanya lonjakan signifikan nilai CKPN pada 2020, setelah pada tahun-tahun sebelumnya hanya meningkat tipis. Menariknya, nilai CKPN masih tumbuh sangat tinggi pada awal tahun ini. Hal ini mencerminkan adanya peningkatan risiko pada perbankan.

Ini tidak terlepas dari ancaman gagal bayar oleh para debitur, bahkan setelah diberikan restrukturisasi kredit. Kredit mereka tergelincir menjadi NPL, sehingga bank pun harus menambah cadangan kerugian mereka.

Berikut ini perkembangan NPL industri perbankan beberapa waktu belakangan berdasarkan data OJK:

Terlihat bahwa selama beberapa tahun sebelum pandemi, NPL perbankan relatif terjaga di level kurang dari 3%. Namun, sejak pandemi, NPL sudah melesat di atas 3% dan cenderung makin tinggi. Kondisi inilah yang menyebabkan beban pencadangan perbankan pun meningkat.

Kebijakan pencadangan ini pun berdampak langsung terhadap profitabilitas perbankan, sebab bank mesti menyisihkan dana cadangan yang seharusnya dibukukan sebagai laba. Tidak mengherankan jika akhirnya laba bank anjlok.

Tanpa adanya relaksasi restrukturisasi kredit, tentu semua kredit yang direstrukturisasi akan digolongkan sebagai NPL, sehingga beban cadangan pun harus menjadi lebih tinggi. Jika demikian, bank akan benar-benar mengalami kekeringan likuiditas dan membahayakan stabilitas keuangan nasional.

Sebenarnya, tanpa adanya pandemi, kinerja laba bank pada 2020 kemungkinan besar tetap akan tergerus akibat implementasi PSAK 71. Namun, pandemi memperburuk keadaan. Pada awal tahun ini, bank pun masih kesulitan memulihkan bisnisnya.

Perhatikan data kinerja bank-bank terbesar Tanah Air berikut ini:

Terlihat bahwa laba sebelum pencadangan mereka sebenarnya tumbuh cukup tinggi. BRI dan BCA bahkan tumbuh dua digit. Sayangnya, pada saat yang sama beban pencadangan atau provisi melonjak jauh lebih tinggi. Alhasil, laba bersih mereka pun justru turun, kecuali BCA.

Jika diperhatikan lagi, kenaikan pencadangan itu erat terkait dengan kenaikan NPL. Makin tinggi kenaikan NPL, makin tinggi pula lonjakan pencadangan. Ini erah terkait pula dengan kegagalan restrukturisasi pasar sejumlah debitur.

Sejauh ini, total kredit yang direstrukturisasi memang cenderung mengalami penurunan. Pada puncaknya tahun lalu, nilai restrukturisasi kredit di perbankan saja, tanpa menyertakan industri multifinance, bahkan menembus Rp900 triliun.

Berdasarkan data OJK, per April 2021 nilainya turun menjadi tinggal Rp775,32 triliun. Meskipun turun, nilai ini jelas masih sangat tinggi. Jika dibandingkan dengan total kredit bank per April 2021 yang sebesar Rp5.482,17 triliun, nilai itu setara dengan 14%.

Sejumlah bank memproyeksikan dari total restrukturisasi kredit yang mereka berikan, sekitar 5% hingga 15% berpotensi menjadi NPL. Sementara itu, OJK juga memperpanjang relaksasi restrukturisasi kredit ini hingga awal tahun depan demi memastikan NPL bank tidak segera melonjak.

Jadi, kondisi saat ini belum baik, kendati mulai membaik.

 

Bank di Semester II/2021 dan Seterusnya

Kabar baiknya, hingga kini belum ada bank yang mengalami kegagalan akibat pandemi. Industri perbankan nasional secara umum masih cukup kuat untuk menopang risiko yang ada. Terakhir memang ada gejala buruk pada Bank Bukopin, tetapi kini sudah beres seiring masuknya KB Kookmin dari Korea Selatan.

Tidak ada yang dapat memastikan bagaimana kondisi industri perbankan nasional pada sisa tahun ini. Apakah akan terus membaik, ataukah berbalik memburuk?

Kondisi pandemi yang kini memburuk justru meningkatkan kekhawatiran bakal berlanjutnya tekanan ekonomi dan gagalnya Indonesia masuk fase pemulihan dalam waktu dekat.

Meskipun demikian, strategi pencadangan yang telah dijalankan industri perbankan selama ini telah menghantarkan industri perbankan nasional menuju normal baru, yakni tingkat laba yang lebih terbatas, tetapi dengan pencadangan yang lebih besar.

Artinya, di satu sisi kinerja laba industri perbankan mungkin akan butuh waktu lebih lama untuk dapat kembali seperti kondisi sebelum pandemi. Namun, di sisi lain, industri perbankan pun kini lebih sehat dan kuat, sebab pemupukan pencadangan yang besar menjadikan bank memiliki bantalan keuangan yang tebal untuk meredam risiko terburuk yang bakal terjadi.

Dengan demikian, dalam jangka panjang industri keuangan nasional bakal lebih stabil. Hal ini menjadi kabar baik bagi perekonomian nasional. Sebab, industri perbankan sangat rentan dan memiliki efek berantai yang panjang terhadap perekonomian nasional.

Satu saja bank yang gagal, apalagi jika itu adalah bank sistemik, yakni bank besar dengan jaringan yang luas dan kompleks, maka dampaknya akan besar bagi ekonomi secara keseluruhan.

 

Tags: