Langkah Gesit si Anak Baru Adhi Commuter ke Lantai Bursa

Date:

Penantian panjang bagi kehadiran kembali keluarga BUMN baru di lantai bursa akhirnya akan segera berakhir. Dalam waktu dekat, anak usaha BUMN kontraktor PT Adhi Karya (Persero) Tbk. akan segera melakukan initial public offering (IPO), setelah 3 tahun puasa IPO keluarga BUMN.

Perusahaan tersebut yakni PT Adhi Commuter Properti Tbk. dengan kode saham ADCP. Langkah ini menyusul anak usaha PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk., yakni PT Dayamitra Telekomunikasi Tbk. atau Mitratel yang juga tengah mempersiapkan untuk segera IPO.

Anggota keluarga BUMN yang terakhir kali mendatangi pasar modal melalui IPO yakni PT Phapros Tbk. (PEHA), anak usaha PT Kimia Farma Tbk. (KAEF), cucu dari PT Bio Farma (Persero) yang adalah induk holding BUMN farmasi.

PEHA listing pada 26 Desember 2018 dan mengantongi dana Rp1,01 triliun. Tepat sebelum PEHA, ada PT Indonesia Kendaraan Terminal Tbk. atau IPCC, yang IPO pada 28 Juni 2018 dan mengantongi dana Rp835 miliar. IPCC adalah anak perusahaan BUMN dari PT Pelabuhan Indonesia II (Persero).

Sebelum IPCC, ada juga PT Bank BRISyariah Tbk. (BRIS) yang kini sudah berger dengan bank syariah BUMN lainnya dan berubah nama menjadi PT Bank Syariah Indonesia Tbk. BRIS listing pada 9 Mei 2018 dan mengantongi dana segar Rp1,34 triliun.

Sepanjang 2018, hanya tiga emiten itu dari keluarga BUMN yang sukses IPO, padahal rencananya kala itu ada 10 anggota keluarga BUMN yang akan masuk BEI. Namun, karena sejumlah faktor, langkah itu akhirnya kandas hingga 3 tahun berselang.

Selama 2019 dan 2020, tidak satupun keluarga BUMN yang listing di BEI. Selain itu, dalam satu dekade belakangan, IPO keluarga BUMN umumnya berasal dari anak atau cucu perusahaan BUMN, bukannya BUMN perusahaan induk.

BUMN terakhir yang listing yakni PT Waskita Karya (Persero) Tbk. (WSKT) pada 19 Desember 2012 lalu dan meraup dana Rp1,17 triliun. Sebelumnya ada juga PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) pada 11 Februari 2011 dengan nilai IPO Rp4,75 triliun.

IPO BUMN memang tidak pernah mudah, sebab menyangkut aset negara. Prosesnya cukup berbelit dan mewajibkan adanya persetujuan negara, terutama DPR. Oleh karena itu, lebih mudah bagi BUMN untuk menghantar anak dan cucu perusahaannya untuk IPO ketimbang BUMN sendiri yang IPO.

Namun, sejak pertengahan tahun ini Kementerian BUMN telah memberikan sinyal akan membawa banyak perusahaan keluarga BUMN ke lantai bursa, baik BUMN induk maupun anak dan cucunya.

Sejumlah nama BUMN yang sudah masuk daftar tunggu antara lain PT Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) Indonesia Ferry (Persero), PT Brantas Abipraya (Persero), PT Bio Farma (Persero), PT Inalum (Persero), dan PT MIND ID (Persero).

Selain itu, sejumlah kabar beredar bahwa beberapa kalangan bank pembangunan daerah yang adalah BUMD juga akan IPO, misalnya PT BPD Jawa Tengah, PT Bank DKI, dan PT BPD Sumatera Utara.

Di kalangan anak BUMN, daftarnya lebih panjang lain. Selain Mitratel dan Adhi Commuter, ada juga lima anak usaha PT Pertamina (Persero), empat anak usaha PT Wijaya Karya (Persero) Tbk., dan dua anak usaha PT Hutama Karya (Persero), dan beberapa anak usaha BUMN lainnya.

Pada artikel kali ini, kita akan secara khusus membahas PT Adhi Commuter Properti Tbk. yang baru saja mengumumkan rencana IPO mereka. Proses penawaran awal atau bookbuilding dimulai pada Jumat (12 November 2021) dan akan berakhir pada Kamis (25 November 2021) mendatang.

Emiten ini akan melepas 8 miliar saham baru yang akan setara dengan 28,6% dari total saham beredarnya setelah IPO ini rampung. Tiap saham memiliki nilai nominal Rp100 dan akan ditawarkan dengan harga pelaksanaan IPO antara Rp130 hingga Rp200 per saham.

Dengan demikian, total dana yang berpotensi dikantongi perseroan akan mencapai Rp1,04 triliun hingga Rp1,6 triliun. Perseroan menunjuk banyak penjamin pelaksana emisi efek untuk menyukseskan langkah ini, yakni Bahana Sekuritas, CIMB Sekuritas, Maybank Sekuritas Indonesia, Mirae Asset Sekuritas Indonesia, RHB Sekuritas Indonesia, dan Sucor Sekuritas.

Adapun, selama ini pemegang saham ADCP yakni Adhi Karya sebesar 99,9995% dan Koperasi Adhi Karya 0,0005%. Setelah IPO, keduanya akan memiliki masing-masing 71,40% dan 0,00%, sedangkan masyarakat umum memiliki 28,6%.

Langkah IPO ADCP ini tergolong gesit, sebab perseroan baru resmi berdiri pada 2018 lalu. Dengan kata lain, ADCP mendahului banyak anak usaha BUMN lainnya yang sudah lebih dahulu malang melintang perjalanan bisnisnya.

 

Lebih Jauh Mengenal ADCP

Sesuai dengan namanya, bisnis ADCP adalah seputar pengembangan properti di area pusat aktivitas commuter masyarakat. Istilah yang lebih populer yakni transit oriented development atau TOD.

Konsep TOD memungkinkan masyarakat yang tinggal di kawasan TOD untuk bisa menikmati akses yang mudah ke media transportasi publik di Indonesia seperti Transjakarta, MRT, LRT dan transportasi lainnya.

Pendiriannya Adhi Commuter Properti tidak terlepas dari penunjukkan induknya yakni Adhi Karya sebagai pelaksana proyek Light Rail Transit (LRT) Jabodetabek.

Adhi Commuter Properti  menjadi pengembang properti berbasis transportasi massal pertama dan terbesar di Indonesia. Perseroan mengembangkan kompleks properti di pusat-pusat simpul transportasi, khususnya stasiun LRT, sehingga memudahkan aksesibilitas masyarakat.

Perusahaan ini semula merupakan divisi TOD Adhi Karya pada tahun 2015 dan berkembang menjadi entitas terpisah pada tahun 2018. Pendiriannya memang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dalam menyediakan kawasan hunian terintegrasi dan support facilities di area sekitar jalur LRT.

Hunian ADCP mengedepankan unsur connect, mixed-use, shift & transit, walkable dan densify. Kawasan LRT City akan menjadi solusi bagi masyarakat yang tidak hanya memberikan kenyamanan bertempat tinggal, tetapi lebih dari itu, kawasan ini akan menjadi peradaban baru dalam kehidupan masyarakat kaum urban.

Kegiatan usaha utama yang dijalankan ADCP meliputi perhotelan dan real estate. Lini bisnisnya dibagi dua, yakni bisnis properti dan bisnis recurring income atau pendapatan berulang.

Untuk lini bisnis properti, perseroan mengembangkan residensial, perkantoran untuk dijual dan bisnis properti lainnya dengan brand LRT City, Adhi City, dan Member of LRT City.

Sementara itu, untuk bisnis recurring income, perseroan mengembangkan Grandhika Hotel, perkantoran untuk sewa, komersial area, dan bisnis sewa lainnya.

Sampai saat ini, ADCP telah membangun 12 projek dengan total luas lahan 144 hektare dan total penjualan sebanyak 17.896 unit. Sementara itu, Hotel Grandhika yang sebelumnya dimiliki oleh Adhi Grup telah menjalankan kegiatan usaha perhotelan bintang empat sekitar 6 tahun.

Hotel Grandhika berada di lokasi-lokasi strategis perkotaan. Saat ini, perseroan sudah memiliki 3 hotel yang terletak di Jakarta, Semarang, dan Medan

Selain mengembangkan properti dan mengoperasikan hotel, ADCP juga punya bisnis pendukung lain untuk memaksimalkan potensi aset yang dimilikinya dan memperluas bisnisnya. Kini, perseroan punya Elarte Café di 5 lokasi, yakni Tebet, Bekasi, Sentul, Jatibening, dan Ciracas.

Perseroan juga memiliki restoran seperti Origami, Kalandara, dan Padi Emas serta lounge yang bernama Sixty Five.

Bisnis yang dijalani perseroan ini terbukti memberikan keuntungan yang cukup baik bagi perseroan, kendati kondisi pandemi memang cukup mengganggu konsistensi pertumbuhannya. Berikut ini kinerja keuangannya dalam beberapa tahun terakhir berdasarkan prospektusnya:

Data keuangan tersebut menunjukkan pertumbuhan kinerja yang solid. Pendapatan ADCP terlihat konsisten menguat pada 2018-2020, tetapi labanya sedikit terkoreksi pada 2020 lalu. Menariknya, pada paruh pertama tahun ini, pendapatannya turun tipis -4% year-on-year (YoY) menjadi Rp201 miliar, tetapi labanya meroket 8.948,8% YoY menjadi Rp33,9 miliar.

Seiring dengan itu,  margin laba bersih atau net profit margin (NPM) perusahaan juga membaik, dari semula hanya 0,2% menjadi 16,9%. Dengan tingkat NPM yang cukup tebal ini menunjukkan bahwa bisnis yang dijalankan ADCP memang menjanjikan dan diminati masyarakat.

Sementara itu, dari sisi neraca keuangan, kondisi bisnis ADCP juga tergolong cukup baik. Berikut ini perkembangan neraca keuangannya:

Dari data tersebut, terlihat bahwa ada peningkatan beban atau liabilitas yang cukup signifikan dari  tahun ke tahun. Sementara itu, ekuitas sempat tumbuh pesat pada 2019, tetapi relatif terjaga hingga paruh pertama tahun ini.

Rasio liabilitas berbanding ekuitas atau debt to equity ratio (DER) perseroan cukup besar, yakni 178% atau bebannya 1,78 kali lebih banyak dari modalnya. Namun, jika dibandingkan dengan perusahaan sejawat seperti PT PP Properti Tbk. (PPRO) yang DER-nya mencapai 3,2 kali, ADCP terlihat masih lebih baik.

Dengan posisi modal dan aset seperti itu, rasio return on asset (ROA) dan return on equity (ROE) ADCP per Juni 2021 masing-masing 0,61% dan 1,69%. Ini masih lebih baik ketimbang ROA dan ROE PPRO yang masing-masing 0,009% dan 0,036%.

Dengan langkah IPO ini, perseroan bakal mendapatkan suntikan modal segar antara Rp1 triliun hingga Rp1,6 triliun. Tambahan modal ini tentu berpotensi mendorong peningkatan kapasitas bisnis perseroan di masa mendatang, sehingga dapat diharapkan pertumbuhannya bakal lebih tinggi lagi.

Adapun, dana IPO yang dikantongi perseroan akan digunakan untuk sejumlah tujuan. Sebesar 45% akan digunakan untuk pengembangan protek existing dan proyek recurring. Selanjutnya, 35% lainnya untuk akuisisi atau pengembangan lahan baru dan 20% sisanya untuk pembayaran kembali sebagian pokok obligasi Seri A perseroan.

Jika berjalan lancar, proses IPO akan tuntas dengan pencatatan saham perseroan di bursa pada 10 Desember 2021 nanti. Dengan demikian, perseroan siap menghadapi 2022 dengan kapasitas bisnis yang baru.

Kekuatan bisnis perseroan terletak pada lokasi proyeknya yang strategis di pusat simpul transportasi. Dengan tantangan kemacetan yang masih berat, membeli hunian di TOD menjadi jalan keluar yang cerdas bagi masyarakat urban. Oleh karena itu, peluang bisnis ADCP memang cukup menjanjikan.

Di sisi lain, langkah IPO perseroan juga dapat menjadi salah satu strategi untuk meningkatkan posisi keuangan Adhi Karya selaku induk. Perusahaan ini mengalami tekanan bisnis yang sangat berat selama pandemi sehingga labanya turun tajam dan mengalami arus kas negatif.

Adanya suntikan modal dari IPO anak usaha tentu meningkatkan daya ungkit perseroan untuk menambah aset dan memperbaiki kinerja keuangannya.