Bagaimana Perekonomian Global Membenci Terorisme?

Date:

[Waktu baca: 5 menit]

Terorisme jadi isu yang menyita perhatian dalam sepekan terakhir. Semua gara-gara aksi bom bunuh diri F dan YSF (26), sepasang suami istri yang konon masih anggota jaringan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), afiliasi ISIS yang dilakukan di Gereja Katedral Makassar, Minggu (28/3/2021).

Tiga hari kemudian alias Rabu (31/3) giliran ZA (25), seorang warga Jakarta Timur yang mencoba melakukan aksi penembakan seorang diri di kawasan Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri), Kebayoran Baru Jakarta Pusat.

Dalam kedua aksi teror tersebut tidak ada korban jiwa selain pelaku sendiri. Dampak kerusakan material—di luar gereja yang rata karena bom—nilainya juga tidak bisa dikatakan besar, setidaknya bila dibandingkan rentetan contoh aksi terror lain yang sebelumnya pernah terjadi di dalam negeri.

Sebagai contoh, teror Bom Bali pada 12 Oktober 2002 merenggut nyawa 202 orang dan meratakan 428 gedung dengan nilai kerugian material Rp5,92 triliun. Kemudian teror Bom Bali kedua pada 1 Oktober 2005 juga menewaskan sedikitnya 23 jiwa dan kerugian miliaran.

Namun, hanya karena kerugian fisik dan materialnya kecil, bukan berarti peristiwa-peristiwa tersebut tidak akan menimbulkan dampak berkepanjangan terhadap perekonomian. Berkaca dari kejadian-kejadian di masa lalu, terbuka kemungkinan bahwa perekonomian pun bisa terkena dampak tidak langsung.

Untuk memahami hal tersebut, mari mundur dua dekade ke tahun 2001. Tepatnya mundur mengenang kejadian pengeboman 11 September—biasa dikenal dengan peristiwa 9/11—yang dilakukan jarian Al Qaeda di Gedung WTC, AS.

Saat itu, mengacu data Global Terrorism Index 2015 kerugian material akibat peristiwa tersebut mencapai US$14 miliar atau setara Rp203,37 triliun dengan kurs saat tulisan ini dibuat. Tapi mari kesampingkan hal ini karena tidak hanya berhenti di sana, efek ledakan juga menimbulkan pengaruh domino ke sendi-sendi perekonomian lain Negeri Paman Sam.

Pada hari pertama pembukaan perdagangan Bursa New York setelah 9/11 misal, Indeks Dow Jones sempat mengalami penurunan 684 poin alias 7,1 persen. Ini adalah rekor penurunan harian tertinggi Dow Jones sepanjang sejarah, sebelum akhirnya dipecahkan oleh krisis baru akibat pandemi Covid-19 tahun lalu. 

Hingga akhir pekan setelah kejadian tersebut, Investopedia bahkan menyebut akumulasi penurunan Dow Jones mencapai 14 persen. Penurnan hingga akhir pekan sebesar 11,6 persen juga dibukukan indeks S&P 500, dan bahkan rontok lebih dalam yakni 16 persen. 

Secara nominal, valuasi pasar modal AS kala itu mengalami penurunan hingga US$1,4 triliun atau setara Rp20.337 triliun hanya dalam sehari perdagangan. 

Jika perbandingan dengan 9/11 terlalu berlebihan, mari mengingat fenomena lain yang pernah terjadi di Perancis pada 2016. Tepatnya pada 14 Juli, ketika aksi terorisme jaringan ISIS yang terjadi saat perayaan Bastille Day di Nice.

Pengeboman yang menewaskan 86 korban tersebut, ke pasar modal, memang tidak separah 9/11. Namun ke sektor-sektor lain, seperti pariwisata, efeknya lebih dahsyat.

Dalam sebulan setelah aksi pengeboman tersebut, kunjungan wisatawan asing ke Perancis mengalami penurunan hingga 30 Persen, demikian mengacu pernyataan otoritas setempat seperti pernah diwartakan Reuters. Meski berangsur pulih, tren penurunan wisatawan asing juga masih terasa hingga kurang lebih setahun kemudian.

Bagi Perancis, yang menggantungkan sebagian besar pendapatannya dari sektor pariwisata, penurunan kunjungan wisatawan asing jelas lebih mencekik daripada sekadar gejolak di pasar modal.

Dampak serangan terorisme kala itu juga merembet ke industri asuransi. Arsip Bloomberg menyebut bahwa pasca-serangan Nice, klaim yang dibayar industri asuransi Perancis kala itu mencapai US$43,6 miliar. 

Atau, contoh yang dekat, kembali ke kasus Bom Bali pertama. Seperti halnya di Perancis, teror yang terjadi pada Oktober 2002 tersebut juga mengakibatkan kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali mengalami penurunan.

Penurunan paling tajam pada 2 bulan sisa (November-Desember) tahun yang sama membuat kunjungan wisman ke Bali sepanjang 2002 hanya mentok di angka 1,28 juta, merosot dari angka 1,35 juta pada 2001.

Kemudian hingga 2003, tren penurunan juga masih tampak. Tepatnya hingga akhir tahun ini kunjungan wisman ke Bali mentok di angka 990 ribu wisatawan.

Kunjungan wisman baru kembali pulih pada 2004, atau 2 tahun setelah pengeboman. Sepanjang tahun ini, kunjungan wisman ke Bali mencapai 1,45 juta.

Terlepas dari rekam jejak kelam tersebut, tren aksi terorisme—terutama yang menimbulkan dampak besar—telah menunjukkan pelemahan bila mengacu rekapitulasi Global Terorism Index (GTI) terbaru yang dirilis University of Maryland pada 2020 lalu.

Kerugian Global akibat Terorisme 2010-2019 (dalam US$ miliaran)

(sumber: University of Maryland, 2019)

Rekapitulasi untuk nominal kerugian 2020 memang belum dirilis, namun menurut paparan United States Institute of Peace, pelandaian mun masih terus terjadi sampai tahun lalu.

Sinyal pelandaian tersebut, menurut dua peneliti USIP Alastair Reed dan Kateira Aryaeinejad tampak dari skala terorisme dan latar belakang pelaku yang makin terisolasi. Keduanya menilai semakin hari fenomena terorisme semakin tampak kurang terstruktur.

Namun, Reed dan Aryaeinejad menggarisbawahi bahwa bukan berarti dunia bisa berpangku tangan. Menurut dia, apabila terus terjadi dengan intens, tren terorisme yang dilakukan secara individual atau kelompok kecil—biasa disebut sebagai lone-wolf terrorism—juga bisa menimbulkan dampak besar.

“Yang namanya terorisme tetap saja ancaman. Meski jumlahnya menurun, kejadian yang terus berulang akan membuat ideologi mereka tetap menguat dan ini bisa memunculkan bibit-bibit kelompok baru yang terkoordinasi,” tulis keduanya dalam sebuah publikasi akhir Januari lalu. 

Apa yang dilakukan F dan SYF di Gerjea Katedral Makassar ataupun tindakan ZA di Mabes Polri belakangan barangkali merupakan bukti bahwa kekhawatiran Reed dan Aryainejad tidak berlebihan.

Tren kerugian material maupun non material akibat terorisme boleh saja melandai, tapi bukan berarti perkonomian bisa berdamai dengan aksi teror dalam bentuk apapun.

Dan bila kewaspadaan terhadap tindakan-tindakan keji tersebut melemah, bisa saja krisis ekonomi akan terulang. Bisa kapanpun dan di manapun, termasuk di Indonesia.