Batu Bara Melejit, Saham Kontraktor Tambang (UNTR, DOID, PTRO) Makin Menarik?

Date:

[Waktu baca: 7 menit]

Saham sejumlah emiten kontraktor pertambangan meningkat pesat sepanjang tahun ini dan menjadi salah satu sumber cuan banyak investor di pasar modal. Penyebabnya tidak lain karena meningkatnya aktivitas pertambangan, seiring naiknya harga komoditas tambang.

Salah satu komoditas tambang yang harganya melejit tahun ini adalah batu bara. Setelah sempat turun ke kisaran US$58 per ton menjelang akhir Agustus 2020, harga emas hitam ini perlahan mulai merangkak naik.

Peningkatan harga terjadi sangat pesat sejak awal November 2020 hingga Desember 2020. Harga batu bara melonjak dari level US$61 per ton menjadi sekitar US$80 per ton. Artinya, dalam waktu kurang dari 2 bulan, harga batu bara sudah melejit lebih dari 30%. Dalam setahun terakhir, harganya naik 13,17% year on year (yoy).

*Harga batu bara acuan Newcastle per Senin (14 Desember 2020)

Seiring dengan itu, harga saham emiten-emiten penambang batu bara ikut melonjak. Hal ini mendasari naiknya kinerja indeks sektor tambang di Bursa Efek Indonesia. Indeks sektor ini tercatat meningkat 24,62% year to date (ytd) dan menjadi satu-satunya indeks sektoral yang sudah bergerak di zona hijau dan mencetak keuntungan.

Kenaikan harga tidak saja terjadi pada emiten-emiten penambang, tetapi juga emiten kontraktor tambang. Saham emiten-emiten di sektor ini sudah meningkat cukup tinggi, termasuk juga saham PT United Tractors Tbk. (UNTR) yang turut menjalankan bisnis kontraktor tambang, tetapi tidak masuk dalam anggota indeks sektor tambang.

Berikut ini kinerja saham emiten-emiten kontraktor tambang:

Emiten Kode Harga (Rp) % YTD
PT United Tractors Tbk. UNTR 27,175 26.25%
PT Petrosea Tbk. PTRO 2,130 32.71%
PT Delta Dunia Makmur Tbk. DOID 424 51.43%
PT Samindo Resources Tbk. MYOH 1,295 0.00%
PT Darma Henwa Tbk. DEWA 50 0.00%

*Data per Rabu (16 Desember 2020)

Peningkatan harga tiga emiten tambang tampak sudah sangat tinggi, sedangkan MYOH sudah berhasil kembali ke level harganya sebelum pandemi. Sementara itu, saham DEWA, yakni saham anggota Grup Bakrie, sudah lama tidak pernah beranjak dari level Rp50.

Lantas, bagaimana peluang peningkatan lanjutan harga saham emiten-emiten kontraktor tambang ini? Apakah masih ada peluang naik lebih tinggi, ataukah sudah terlanjur terlalu tinggi dan justru bersiap koreksi?

Prospek Kenaikan Harga Batu Bara

Kenaikan harga batu bara dua bulan terakhir terutama terjadi karena lonjakan permintaan global, terutama dari China, seiring datangnya musim dingin. Selain itu, kecelakaan di sebuah tambang batu bara di China berimbas pada turunnya produksi di sana dan melambungkan harga batu bara.

National Development and Reform Commission (NDRC) China pun pada awal bulan ini sudah bertemu dengan perwakilan dari 10 perusahaan pembangkit listrik di negara tersebut. NDRC melarang perusahaan-perusahaan itu untuk tidak boleh membayar harga batu bara di atas level 640 yuan atau US$97,80 per ton.

NDRC juga memberi lampu hijau kepada para perusahaan untuk melakukan lebih banyak impor batu bara, kecuali untuk produk asal Australia. Hubungan antara China dan Australia memang sedang memburuk sejak 2018 lalu, seiring larangan Australia terhadap perusahaan teknologi China, Huawei, untuk membangun jaringan 5G di Australia. Ini merupakan imbas perang dagang China – AS.

Hal ini menyebabkan lebih dari 50 kapal pengangkut batu bara dari Australia terdampar di beberapa pelabuhan China, seiring larangan bongkar muat oleh otoritas China terhadap kapal-kapal asal Australia sejak Oktober.

Alhasil, secara umum pasokan batu bara di China menjadi langka dan mendorong permintaan baru dari berbagai negara lain selain Australia. Tak ayal, hal ini menyebabkan harga batu bara melambung, termasuk batu bara dari Indonesia.

Batas atas harga batu bara yang ditetapkan NDRC sejauh ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan harga pasar. Alhasil, peluang bagi laju kenaikan harga lanjutan masih terbuka, setidaknya hingga mendekati US$100 per ton. Apalagi, musim dingin belum berakhir.

Selain itu, peluang pemulihan ekonomi global seiring prospek pembukaan kembali kegiatan ekonomi pascavaksinasi masyarakat global tahun depan membuka peluang peningkatan permintaan batu bara. Hal ini berpotensi terjadi seiring dengan naiknya kebutuhan listrik untuk aktivitas industri global.

Emiten Kontraktor Tambang Masih Menarik?

Pandemi telah menyebabkan aktivitas pertambangan batu bara di sejumlah negara terhambat, seiring dengan pelarangan aktivitas tambang di sejumlah negara penghasil batu bara. Hal ini turut membatasi pasokan global, tetapi menguntungkan perusahaan tambang yang masih bisa beroperasi.

Jika pandemi mereda tahun depan, aktivitas pertambangan kemungkinan akan terus membaik dan mengimbangi tekanan yang terjadi sepanjang tahun ini. Manajemen PTRO meyakini volume overburden removal atau pengupasan lapisan penutup di area tambang akan meningkat sekitar 20% dibandingkan dengan tahun ini.

Adapun, realisasi pengupasan PTRO per September 2020 mencapai 68,8 juta bcm atau turun 29,11% yoy, sedangkan volume produksi batu bara 19,1 juta ton. PTRO pun sudah siap dengan anggaran belanja modal US$100 juta pada 2021.

Sementara itu, UNTR melihat volume pengupasan pada 2021 nanti akan stabil dibandingkan dengan tahun ini, bahkan cenderung turun sekitar 5%. Alasannya, peningkatan permintaan akhir-akhir ini lebih disebabkan oleh faktor cuaca.

Adapun, total pengupasan UNTR per Oktober 2020 mencapai 698,7 juta bcm, sedangkan produksi batu bara mencapai 94,8 juta ton. Realisasi ini turun dibandingkan dengan Oktober 2019 yang masing-masing tercatat 836,5 juta bcm dan 108,6 juta ton.

DOID juga mencatatkan penurunan kinerja tahun ini. Volume pengupasan turun 26% yoy per Oktober 2020 menjadi 246,4 juta bcm, sedangkan volume produksi batu bara turun 13% yoy menjadi 37 juta ton. Perusahaan meyakini efek positif yang terjadi pada akhir tahun ini baru akan tercermin pada kinerja 2021.

Kondisi yang sama juga dialami MYOH. Produksi batu bara per September 2020 turun 11,49% yoy menjadi 7,7 juta ton, sedangkan volume pengupasan turun 25% yoy menjadi 30,6 juta bcm.

Peningkatan produksi dan kenaikan harga batu bara memang batu mulai terjadi pada November 2020, sehingga belum tercermin pada laporan terkini masing-masing emiten ini. Namun, menimbang kinerjanya yang turun cukup dalam per September dan Oktober tahun ini, tampaknya tetap sulit bagi mereka untuk setidaknya bisa menyamai kinerja 2019.

Artinya, kenaikan harga saham yang terjadi pada emiten-emiten ini selama ini merupakan cerminan ekspektasi atas kinerja tahun depan, alih-alih sebagai respons atas peningkatan kinerja tahun ini. Oleh karena itu, kenaikan harga yang tinggi, bahkan hingga puluhan persen, tetap perlu diwaspadai.

Lagi pula, kinerja keuangan emiten-emiten kontraktor tambang sepanjang tahun ini pun telah turun cukup dalam. Berikut ini kinerja pendapatan emiten kontraktor tambang per September 2020 (dalam Rp miliar):

Emiten Sep-19 Sep-20 % yoy
UNTR 65608 46466 -29.18%
PTRO 5365 3730 -30.47%
DOID 9723 7376 -24.14%
MYOH 2677 1936 -27.69%
DEWA 3351 3572 6.59%

*Nilai disesuaikan berdasarkan kurs yang digunakan masing-masing emiten.

Sementara itu, berikut ini kinerja laba bersihnya pada periode yang sama (dalam Rp miliar):

Emiten Sep-19 Sep-20 % yoy
UNTR 8639 5338 -38.21%
PTRO 292 194 -33.43%
DOID 396 -55 -113.91%
MYOH 265 209 -20.95%
DEWA 17 13 -20.44%

* Nilai disesuaikan berdasarkan kurs yang digunakan masing-masing emiten.

Dari data tersebut, terlihat bahwa kinerja seluruh emiten kontraktor tambang tertekan tahun ini. Sementara itu, DOID bahkan kini berbalik menjadi rugi.

Dengan kondisi keuangan seperti itu, tentu butuh upaya ekstra bagi emiten-emiten ini bahkan untuk bisa menyamai kinerja seperti 2019 pada tahun depan. Butuh waktu lebih lama lagi sebelum kinerjanya bisa lebih unggul dibandingkan 2019.