Bersiap Menyambut Tanda-Tanda Pemulihan Saham Penghuni LQ45

Date:

 Salah satu indeks yang paling banyak menjadi acuan analis dan kalangan manajer investasi dalam meracik portofolio investasi atau reksa dana adalah indeks LQ45. Indeks ini berisi 45 saham dengan fundamental yang baik dan likuiditas yang tinggi di pasar.

Sepanjang 2021, kinerja indeks ini relatif adem-adem saja bahka cenderung lesu. Namun, belakangan tanda-tanda pemulihan mulai terlihat. Oleh karena itu, menarik untuk kembali mencermati prospeknya. 

Beberapa di antara saham-saham ini tergolong sebagai saham blue chip, yakni saham emiten yang menjadi pemimpin pasar di industrinya dengan kinerja keuangan yang solid selama periode yang cukup panjang.  

Saham-saham ini likuid karena aktivitas transaksi hariannya sangat ramai dan jumlah saham beredar yang dimiliki oleh investor publiknya pun sangat banyak. Tidak sulit untuk membeli atau menjualnya, sebab selalu ada pihak lain yang bersedia untuk bertransaksi di pasar.

Namun, sepanjang tahun ini kinerja indeks ini justru lesu. Hingga perdagangan Senin, 11 Oktober 2021, kinerja indeks LQ45 masih tercatat turun 1,78% year-to-date (YtD), padahal kinerja IHSG justru positif dengan tingkat pertumbuhan 5,81% YtD.

Sepanjang tahun ini, pergerakan IHSG justru lebih ditopang oleh saham-saham berkapitalisasi pasar kecil hingga menengah atau small-mid cap (SMC) dari sektor new economy seperti sektor teknologi atau digital. Sementara itu, LQ45 umumnya berisi saham-saham big cap dari old economy.

Kinerja saham-saham SMC yang unggul itu terlihat dari indeksnya, yakni indeks IDX SMC Composite Index yang tumbuh 21,36% YtD. Saham di indeks ini mencakup 377 emiten dari total 738 saham yang ada di Bursa Efek Indonesia atau kurang lebih separuh dari total emiten yang ada.

Meskipun kapitalisasi pasarnya kalah jauh jika dibandingkan dengan emiten-emiten LQ45, jika kenaikan harganya fantastis tentu saja tetap akan berdampak terhadap pergerakan pasar secara keseluruhan.

Ada beberapa emiten di kelas ini yang harga sahamnya naik sangat luar biasa sepanjang tahun. Beberapa yang terbesar berasal dari sektor teknologi dan bank digital, misalnya PT Telefast Indonesia (TFAS) dengan kenaikan 2.844% YtD dan PT Allo Bank Indonesia Tbk. (BBHI) yang naik 2.459% YtD.

Selain itu, ada juga PT Digital Mediatama Maxima Tbk. (DM MX) yang naik 958% YtD dan PT Indosterling Technomedia Tbk (TECH) naik 677% YtD. Di luar saham teknologi dan bank digital, ada emiten ritel PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) yang naik 533% YtD.

Biasanya, saham-saham SMC memiliki jumlah saham beredar yang lebih terbatas dan dikuasai oleh segelintir pihak tertentu. Selain itu, karena kapitalisasi pasarnya masih kecil, lebih mudah bagi pengendali pasar, entah market maker atau bandar, untuk menggoreng sahamnya hingga naik pesat.

Sebaliknya, saham-saham di indeks LQ45 justru kinerjanya terbatas karena kapitalisasi pasarnya besar dan sahamnya dimiliki oleh sangat banyak pihak. Oleh karena itu, lebih sulit untuk menggoreng sahamnya, sehingga kinerjanya pun dapat dianggap relatif lebih sejalan dengan kondisi fundamentalnya.

Sebagai contoh, saham TFAS. Berdasarkan data RTI, jumlah pemegang sahamnya per 31 Maret 2021 hanya 842 pihak, lalu baru meningkat pesat akhir-akhir ini sehingga pada akhir Agustus 2021 jumlahnya mencapai 3.224 pemegang saham. Porsi saham publik mencapai 388,6 juta saham atau 23,31%.

Bandingkan misalnya dengan salah satu penghuni LQ45, yakni PT Adaro Energy Tbk. (ADRO). Jumlah pemegang sahamnya pada 31 Maret 2021 mencapai 100.620 pihak, lalu turun menjadi 77.680 pihak pada akhir Agustus 2021. Jumlah saham publik mencapai 15,96 miliar saham atau 49,91%.

Kapitalisasi pasar TFAS setelah kenaikan harganya yang sangat tinggi itu baru mencapai Rp8,08 triliun, sedangkan ADRO mencapai Rp55,18 triliun. Perbedaan besar inilah yang menjadikan pergerakan saham keduanya berbeda sepanjang tahun ini.

Saat ini, kondisi ekonomi masih ditandai oleh ketidakpastian akibat pandemi yang masih berlangsung. Oleh karena itu, meskipun kinerja ekonomi terlihat mulai bertumbuh lagi tahun ini, pelaku pasar belum sepenuhnya yakin untuk mengapresiasi saham-saham emiten di pasar, terutama yang big cap.

Sulit juga untuk berharap akan adanya kenaikan harga yang tinggi dari emiten-emiten kakap yang kinerja keuangannya biasanya sejalan dengan kinerja perekonomian. Alhasil, dalam kondisi ini, sentimen sesaat justru memainkan peranan yang lebih besar ketimbang fundamental emiten.

Sepanjang pandemi, sentimen yang paling kuat adalah digitalisasi ekonomi. Pembatasan sosial dan mobilitas menyebabkan ketergantungan terhadap teknologi menjadi makin tinggi. Hal inilah yang akhirnya mendorong euforia berlebihan pada saham-saham teknologi dan bank digital.

Sementara itu, di antara anggota indeks LQ45, belum ada emiten yang bisnis intinya adalah di sektor teknologi ini. Memang ada PT Telkom Indonesia Tbk. (TLKM) yang juga menjadi penyedia infrastruktur telekomunikasi bagi layanan digital, tetapi bisnis utamanya adalah telekomunikasi.

Selain itu, saham PT Bukalapak.com Tbk. (BUKA) juga baru akan masuk ke indeks LQ45 ini pada akhir bulan ini, sehingga belum berkontribusi pada pergerakan indeks ini. Lagi pula, kinerja saham BUKA pun sejauh ini tidak setinggi saham-saham teknologi kecil, sehingga akan minim juga pengaruhnya pada LQ45.

Sejauh ini, hanya ada 13 emiten LQ45 yang berkinerja positif, sedangkan mayoritas lainnya masih minus. Kinerja terbaik dibukukan oleh PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG) dengan kenaikan 81,6% Ytd, sedangkan kinerja terburuk dibukukan oleh PT Unilever Indonesia Tbk. (UNVR) yakni -47,35% YtD.

Adapun, berikut ini daftar emiten-emiten penghuni indeks ini dan kinerjanya sepanjang tahun ini:

Kabar Baik LQ45

Meskipun kinerja LQ45 memang masih melemah sepanjang tahun ini, tidak lantas berarti bahwa prospeknya menjadi meredup. Kabar baiknya, tanda-tanda pemulihan kinerja indeks ini mulai terlihat pada paruh kedua tahun ini.

Sepanjang tahun ini, hampir tiap bulan kinerja indeks LQ45 terus melemah dibandingkan dengan bulan sebelumnya atau secara month-on-month (MoM). Sepanjang paruh pertama 2021, kinerja positif indeks ini hanya terjadi pada bulan Februari 2021, yakni tumbu 3,59% MoM. Selebihnya, kinerjanya tertekan.

Mengawali paruh kedua tahun ini, kinerja indeks ini pun masih tetap lesu, apalagi saat itu ada peningkatan kasus baru Covid-19 akibat varian delta yang menyebar dengan pesat. Namun, pada Agustus 2021, kinerja indeks ini mulai meningkat pesat.

Sepanjang Agustus 2021, LQ45 tercatat meningkat 5,28% MoM. Ini menjadi kenaikan bulanan tertinggi sepanjang tahun ini. Meskipun belum sampai membawa indeks ini ke teritori positif secara YtD, kenaikan ini memberikan indikasi awal adanya kecenderungan pasar untuk kembali beralih ke saham-saham big cap.

Pada data terakhir di bulan September 2021 ini, Indeks LQ45 memang melemah tetapi relatif tipis. Bandingkan misalnya dengan kinerja LQ45 pada bulan Maret 2021 setelah kenaikan pada bulan sebelumnya. Tingkat penurunannya sangat tajam saat itu, -4,44%.

Hal ini menunjukkan bahwa pemulihan yang terjadi pada Agustus 2021 tidak segera diikuti oleh aksi profit taking yang massif. Ini bisa jadi mengindikasikan bahwa investor mulai percaya diri untuk bertahan di saham-saham anggota indeks LQ45 untuk jangka waktu yang lebih panjang.

Namun, lebih dari itu, pulihnya minat investor terhadap saham-saham di LQ45 juga memberikan sinyal optimisme terhadap prospek pemulihan ekonomi dalam waktu dekat. Sebab, indeks LQ45 berisi saham-saham yang menjadi penggerak utama ekonomi Indonesia.

Beberapa korporasi terbesar Indonesia menjadi penghuni indeks ini, antara lain yakni bank-bank terbesar Tanah Air, seperti BCA (BBCA), Bank Mandiri (BMRI), BRI (BBRI), dan BNI (BBNI). Selain itu, saham telekomunikasi seperti Telkom (TLKM) dan XL (EXCL), serta saham konsumsi seperti Indofood (INDF & ICBP) serta Unilever (UNVR) juga ada di sini.

Sejauh ini, perkembangan pandemi mulai menunjukkan tanda-tanda positif dengan peningkatan kasus harian baru yang jauh lebih rendah. Kebijakan pemerintah dengan PPKM tampaknya cukup efektif untuk meredam penyebaran massif Covid-19. Selain itu, vaksinasi pun kian meluas.

Pemerintah pun kini lebih melonggarkan kebijakan PPKM sehingga aktivitas ekonomi mulai bergulir dengan lebih lancar kembali. Kondisi ini bakal makin menguntungkan untuk emiten konsumer (ICBP, INDF, UNVR, JPFA, CPIN, ACES), transportasi dan jalan tol (JSMR), serta sektor padat karya secara umum (SMGR, INTP, PTPP, WIKA).

Selain itu, pemerintah juga kembali memperpanjang insentif PPnBM untuk sektor otomotif hingga akhir tahun ini, sehingga multiplier effect-nya berpotensi mengerek ekonomi secara keseluruhan. Secara khusus, ini berdampak positif bagi Astra (ASII).

Di sisi lain, perkembangan ekonomi global menunjukkan adanya kepastian terkait langkah tapering the Fed, sehingga pelaku pasar menjadi lebih percaya diri dalam mengambil langkah investasinya di pasar. Secara umum, kinerja ekonomi global pun kian membaik.

Pulihnya ekonomi global ini pun kembali mengerek aktivitas perdagangan global, termasuk terhadap komoditas yang dimiliki Indonesia. Kemarin, harga batu bara di pasar global telah tembus level US$200 per ton, level tertinggi sepanjang sejarah akibat tingginya permintaan.

Ini tentu menguntungkan bagi emiten di sektor tambang batu bara (ADRO & PTBA). Lagi pula, secara umum harga komoditas tambang saat ini memang sedang menghangat sehingga meningkatkan keuntungan bagi emiten-emiten di sektor pertambangan dan energi (MEDC, BRPT, INCO, ANTM, UNTR, ITMG).

Semua tanda-tanda positif ini meningkatkan optimisme bahwa ekonomi akan segera berada di jalur pemulihan yang lebih solid. Ujung-ujungnya, kondisi ini akan meningkatkan permintaan kredit ke industri perbankan, sehingga kinerja emiten di sektor ini pun bakal terangkat (BBCA, BBRI, BMRI, BBNI).

Seiring dengan itu, prospek indeks LQ45 pun menjadi lebih menjanjikan. Apalagi, selama ini saham-saham di indeks ini sudah mengalami penurunan harga akibat tekanan jual pasar. Harga mereka pun kini menjadi relatif mudah sehingga menjadi momentum yang tepat untuk mulai dikoleksi.

Di samping itu, jangan pula lupakan potensi window dressing yang bakal terjadi menjelang akhir tahun ini. Emiten-emiten di indeks ini umumnya menjadi sasaran beli investor dalam rangka window dressing ini. Oleh karena itu, potensi kenaikan harganya pun menjadi kian besar.

Emiten-emiten dengan fundamental yang baik serta likuid di pasar pada dasarnya memang menjadi pilihan ideal untuk investasi. Namun, umumnya tingkat kenaikan harganya pun relatif teratas, tidak setinggi saham-saham gorengan yang bisa naik hingga ratusan bahkan ribuan persen dalam waktu singkat.

Selain itu, tidak ada jaminan bahwa fundamental yang baik serta likuiditas yang tinggi bakal terus menjaga kinerja saham emiten itu di zona hijau dalam jangka menengah-panjang. Bahkan emiten sekelas UNVR pun terkoreksi selama bertahun-tahun.

Oleh karena itu, selain memperhatikan kondisi fundamental dan likuiditasnya, investor tetap perlu mengukur valuasi saham tersebut, prospek industrinya, posisinya di pasar, inovasi, dan rencana bisnisnya. Fundamental yang baik di saat ini tidak menjamin akan terus baik di masa mendatang.