Clubhouse: Mungkin Dia Lelah

Date:

[Waktu baca: 4 menit]

Roma memang tidak dibangun dalam satu hari, tapi cukup dua bulan untuk meruntuhkan pamornya Clubhouse.

Platform social media berbasis audio ini sempat hip di awal tahun 2021. Dilansir dari Business Insider dan Sensor Tower, Clubhouse sempat diunduh 9.6 juta pengguna baru pada bulan Februari 2021. Angka itu kemudian merosot tajam pada bulan Maret 2021 dan April 2021 di mana hanya ada 2.7 juta dan 900 ribu pengguna baru.

Hanya dua bulan. Bahkan pamor es kepal Milo mampu bertahan lebih lama.

Secara umum, aplikasi berbasis audio memang sedang naik daun di masa pandemi. Podcast kian tumbuh subur, mengingat tidak perlunya tatap muka untuk memproduksi konten. Dan mungkin karantina membuat orang rindu untuk diskusi. Maka Clubhouse pun hadir, memfasilitasi mereka yang gemar bicara.

Pertumbuhan pengguna Clubhouse kian terakselerasi berkat katalis bernama FOMO. Jika ingin registrasi, kita harus mendapat undangan dari yang sudah bergabung sebelumnya. Tak bisa dipungkiri, hal ini menimbulkan kesan eksklusif. Bahkan pernah ada yang menjual undangan Clubhouse di situs e-commerce!

Clubhouse makin naik daun karena adanya kesempatan bagi rakyat jelata untuk bertatap suara dengan para tokoh dunia. Tercatat Elon Musk dan Mark Zuckerberg pernah mampir untuk berbagi cerita dan pandangan di room-room Clubhouse. Apalagi Clubhouse adalah platform baru, di mana penggunanya belum banyak. Itu artinya, kesempatan untuk di-notice senpai sangat terbuka lebar.

Lalu apa yang salah dengan Clubhouse? Kenapa sekarang sudah jarang orang berceloteh di sana?

Ada banyak hipotesa mengapa Clubhouse mulai kehilangan penggemarnya. Yang pertama, memang Clubhouse belum disiapkan untuk mengakuisisi pengguna baru secara masif. Menurut Paul Davison dan Rohan Seth –founder dari Clubhouse, platform ini masih beta version, dibuat untuk mengumpulkan feedback dan menghindari kegaduhan sampai produknya betul-betul siap untuk dipasarkan. Jadi, lonjakan pengguna di awal tahun adalah kecelakaan yang tak direncanakan.

Belum lagi perkara kompetisi. Twitter, contohnya. Kala melihat Clubhouse mulai banyak dilirik orang, Twitter melakukan ATM. Amati Tiru Modifikasi. Lahirlah Twitter Spaces, fitur yang serupa dengan Clubhouse namun dengan basis pengguna Twitter yang sudah besar. Spotify pun sedang menyiapkan Greenroom untuk bersaing dengan keduanya.

Di Indonesia sendiri, ada isu tentang variasi topik. Tema yang diangkat tidak jauh dari bisnis, start-up, dan karier. Para pembesar tech start up, fintech, dan pengusaha muda seperti tak ingin ketinggalan mencicip social media baru bernama Clubhouse ini. Akun-akun dengan title CEO dan co-founder bermunculan, room-room dengan topik seputar tech start up bertebaran pada jam sepulang kerja. Ini seperti topik Zoom meeting pagi tadi, berpindah ke Clubhouse pada malam hari. 

Di usianya yang masih muda, Clubhouse sedang mencari pola. Para pengguna awal ini yang coba membentuk seperti apa Clubhouse nantinya. Topik seperti kenapa warteg selalu bernama Bahari belum pernah ramai diperbincangkan. Atau tema mengapa babi jalannya nunduk juga jarang didiskusikan. Mayoritas ingin bicara tentang bisnis, start-up, dan karier.

Bosan? Bisa jadi. Lelah? Mungkin saja.

Setelah 10-12 jam bekerja, sepertinya terlalu capek jika sisa malamnya diisi dengan hal-hal serupa. Telinga sudah terikat headset dan terpatri di depan laptop karena meeting virtual seharian. Mungkin masih ada yang ingin belajar dan bertumbuh dengan mencuri dengar dari para jagoan. Tapi di tengah letih sehabis bekerja, rasanya gelak tawa lebih dibutuhkan.

Ada yang sepenuhnya menggunakan social media untuk mencari hiburan. They’re just here for the memes. Ada juga yang memanfaatkan platform ini untuk belajar hal-hal baru dan menjalin networking. Variasi ini yang jarang ditemui di Clubhouse, yang mungkin membuat Clubhouse pelan-pelan ditinggalkan penggunanya. 

Para CEO dan co-founder itu pun hanyalah manusia yang pada akhirnya ingin melepas penat sepulang kerja. Tanpa perlu membuktikan apa-apa ke para pendengarnya lagi, tanpa perlu validasi dari siapa-siapa lagi.

Mereka sudah jadi CEO di dunia nyata. Biarkan mereka jadi K-poper di dunia maya. Mereka sudah memimpin rapat penting. Kini biarkan mereka menonton video kucing.

And it’s okay. It’s totally okay.

We’re only humans. We have hobbies. We need a time off.

Karena kita tidak harus menjadi pintar setiap saat.

Tags: