Cukai Naik, Saham Rokok Bagaimana?

Date:

Cukai Rokok Naik Lagi!

Beberapa waktu lalu, Pemerintah resmi kembali menerapkan kenaikan tarif cukai untuk produk hasil tembakau. Presiden Joko Widodo sepakat untuk menaikkan tarif cukai rokok sebesar 23% dan harga jual eceran (HJE) sebesar 35%. Aturan ini rencananya mulai efektif berlaku per 1 Januari 2020.

Kebijakan ini didasari oleh dua alasan utama:

1. Untuk Mengurangi Konsumsi Rokok Dalam Negeri

Dalam argumennya, Pemerintah mengatakan bawah terjadi peningkatan jumlah perokok secara global dari 32.8% menjadi 33.8%. Perokok di usia anak dan remaja naik dari 7.2% menjadi 9.1%, termasuk jumlah perokok perempuan naik dari 1.3% menjadi 4.8%.

Dan saat ini, Indonesia memang adalah salah satu negara dengan tingkat perokok yang paling tinggi di dunia. Dua dari tiga pria dewasa di Indonesia adalah perokok aktif.

2. Meningkatkan Penerimaan Negara

Seperti yang diketahui, penerimaan cukai hasil tembakau akan langsung disalurkan ke kas negara. Kemudian dibagikan ke pemerintah daerah sebagai dana bagi hasil atau pendapatan daerah. Diharapkan, penambahan penerimaan cukai pada tahun 2020 bisa digunakan untuk mendorong pembangunan di daerah.

Namun sebagai informasi, tahun 2018 Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden mengenai pemanfaatan cukai rokok. Perpres ini mengatur bahwa dari total penerimaan cukai, 50% digunakan sebagian untuk disalurkan ke daerah dan sebagian lagi digunakan untuk menutup defisit BPJS Kesehatan.

Patut diduga, kenaikan cukai yang signifikan ini adalah upaya Pemerintah untuk mengurangi beban defisit BPJS Kesehatan yang terus memburuk setiap tahun.

Bisa dibilang, kenaikan cukai rokok adalah salah satu sin tax (pajak dosa) yang dibebankan negara kepada perokok. Karena memang, BPJS menanggung beban yang tidak sedikit akibat penanggulangan penyakit yang berkaitan dengan kebiasaan merokok.

Cukai Rokok Terus Naik dalam 5 Tahun

Rokok dapat dikategorikan sebagai produk yang sifatnya inelastis. Maksud inelastis ini adalah sifat yang tidak berhubungan antara kenaikan harga dengan konsumsi. Jika pada barang-barang yang bersifat elastis, ketika harga naik, maka kecenderungan konsumen untuk membeli produk tersebut akan berkurang.

Tidak demikian dengan rokok.

Berapa kali pun harga jual rokok dinaikkan, tetap sulit bagi perokok untuk menghilangkan kebiasaannya mengonsumsi rokok.

Kenaikan tarif cukai rokok tahun ini pun bukan barang baru sebenarnya. Semasa kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo telah menaikkan tarif cukai rokok sebanyak empat kali dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.

Pada tahun 2015, Pemerintah menaikkan tarif cukai rokok sebesar 8,72%.

Kemudian di tahun 2016, 2017, dan 2018 masing-masing sebesar 11,19%, 10,54% dan 10,04%. Sehingga bila dijumlahkan, tarif cukai rokok telah naik sebesar 40.5% sejak Presiden Jokowi menjabat.

Jika tarif cukai tahun depan mulai berlaku, maka total kenaikan cukai rokok adalah sebesar 63.5% sejak tahun 2015.

Apakah kenaikan tarif ini telah efektif menurunkan jumlah perokok dalam beberapa tahun terakhir? Inilah yang perlu dijawab oleh Pemerintah secara terbuka ke publik dengan menggunakan data.

Dan cukai rokok adalah komponen biaya yang bisa diteruskan (pass on) kepada konsumen dengan meningkatkan harga jual (setidaknya secara bertahap). Sehingga margin yang diterima perusahaan tidak seluruhnya terkikis.

Bagaimana dengan Emiten Rokok?

Saat ini, ada 5 emiten produsen rokok dan tembakau yang sahamnya tercatat di bursa. Yaitu Gudang Garam (GGRM), HM Sampoerna (HMSP), Bentoel Internasional Investama (RMBA), Wismilak Inti Makmur (WIIM), dan Indonesian Tobacco (ITIC).

Sementara Djarum Indonesia hingga saat ini sahamnya belum terdaftar di pasar modal.

GGRM dan HMSP sebagai dua perusahaan dengan pangsa pasar rokok terbesar di Indonesia, secara serentak harga sahamnya anjlok pada perdagangan bursa kemarin (16 September 2019).

HMSP terkoreksi 18.2% di harga Rp2,290 per lembar dengan net sell asing Rp132.7 miliar. Sedangkan GGRM gugur 20.6% di harga Rp54,600 per lembar dengan net sell asing Rp405 miliar.

Secara keseluruhan, jatuhnya kedua saham ini membuat indeks sektor konsumsi turun sebesar 6.06% dalam satu hari perdagangan kemarin.

Kami menilai, runtuhnya harga saham rokok bukan hanya sekadar kepanikan investor jangka pendek, tapi juga berkaitan dengan kondisi fundamental perusahaan.

Sebagai informasi, secara rata-rata industri pada tahun 2018, 50% dari harga jual eceran (HJE) produk rokok merupakan tarif cukai yang ditetapkan oleh Pemerintah. Ketika tarif baru mulai berlaku pada 2020, tentu porsi cukai terhadap HJE rokok akan kembali meningkat.

Sehingga kenaikan tarif cukai akan secara langsung mempengaruhi penurunan permintaan dan penurunan pedapatan emiten rokok (setidaknya dalam jangka pendek).

Perlu dipahami, laba emiten rokok cukup sensitif terhadap kenaikan cukai. Misalnya pada GGRM, kenaikan tarif cukai akan menurunkan laba bersih GGRM sekitar 4.6%. Sedangkan HMSP relatif lebih tidak sensitif, kenaikan 1% tarif cukai rokok akan menurunkan laba bersih HMSP sekitar 2.2%

Kenaikan tarif cukai ini juga menurunkan Target Price dari kedua emiten GGRM & HMSP dan mengubah proyeksi pendapatan kedua perusahaan.

Termasuk tim riset Analysis On Demand BigAlpha yang juga menurunkan proyeksi harga wajar dan proyeksi laba GGRM & HMSP dalam beberapa tahun ke depan.

Report yang lebih mendetail soal tinjauan industri, faktor makroekonomi, proyeksi kinerja perusahaan dalam beberapa tahun ke depan, harga ideal untuk beli, dan perhitungan harga wajar saham emiten rokok dapat dipesan melalui On Demand Analysis.

Pun begitu, penurunan yang terjadi pada emiten-emiten ini sudah melampaui potensi penurunan laba mereka di masa depan. Dari awal tahun (year to date), penurunan HMSP sudah mencapai -37%, sedangkan GGRM sudah -35%.

Bahkan, level harga dua emiten tersebut bahkan sudah mencapai level harga terendah mereka dalam lima tahun terakhir.

Semua terjadi karena berita kenaikan cukai rokok yang sebenarnya baru akan terjadi awal tahun depan, dan mempengaruhi kinerja mereka tahun buku 2020.

Perlu diingat bahwa dua emiten rokok raksasa ini adalah salah dua dari perusahaan super yang ada di bursa yang bisa mencatat Return On Equity (return yang didapatkan dari modal) yang sangat baik (HMSP : 47%, GGRM: 19%).

Bandingkan dengan rata-rata return deposito yang hanya berkisar di angka 5% saja.

Apakah Industri Rokok Nasional akan Berakhir?

Produk rokok adalah salah satu produk yang bisa dibilang punya consumer loyalty yang cukup besar.

Sebesar apapun hambatan eksternal yang dihadapi oleh produsen, Indonesia tetap memiliki potensi besar yang masih bisa dioptimalkan oleh sektor pengolahan tembakau. Berdasarkan riset organisasi yang bergerak di bidang riset tembakau dunia, Tobacco Atlas, Indonesia masih menjadi negara yang menguntungkan bagi produsen pengolah tembakau.

Indonesia disebutkan sebagai negara dengan potensi pasar rokok terbesar kedua di Asia setelah China. Sehingga pernyataan yang mengatakan bahwa industri ini akan habis dalam waktu dekat sulit rasanya untuk diterima.

Selain itu, menurut laporan Deutsche Bank pada tahun 2017, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki harga jual rokok termurah di dunia. Dibandingkan dengan Australia yang memasang harga sebesar Rp 245 ribu per bungkus, Singapura Rp 124 ribu per bungkus, Malaysia Rp 46 ribu per bungkus, dan China Rp 43 ribu per bungkus; Indonesia hanya memasang harga jual rata-rata sebesar Rp 17 ribu per bungkusnya.

Dapat dikatakan, meskipun dengan harga jual yang sangat rendah sekalipun, Indonesia tetap menjadi salah satu pasar yang paling menguntungkan secara global bagi produsen rokok karena basis pasar yang begitu besar.

Bahkan Warren Buffet pernah mengatakan: “I’ll tell you why I like cigarette business. It costs a penny to make. Sell it for a dollar. It’s addictive. And there’s a fantastic brand loyalty”.

Kesimpulan

Memang benar kalau kenaikan cukai rokok akan mempengaruhi kinerja keuangan emiten-emiten rokok yang ada di bursa. Karena tidak bisa dipungkiri, cukai rokok yang dikenakan pemerintah adalah salah satu komponen terbesar dari biaya produksi batang rokok itu sendiri.

Tapi beberapa fakta yang harus digarisbawahi adalah:

  1. Ini adalah lagu lama yang diputar kembali. Kenaikan cukai rokok bukanlah sesuatu yang baru terjadi kali ini. Dan reaksi pasar terhadap berita ini sudah berlebihan.
  2. Rokok adalah produk yang bersifat inelastis.
  3. Kenaikan cukai rokok bisa dibebankan (pass on) kepada konsumen.
  4. Kebijakan kenaikan cukai rokok baru berlaku 2020, tidak ada pengaruh ke kinerja 2019.
  5. Harga saham mereka (GGRM & HMSP) sudah mencapai level terendah dalam lima tahun terakhir.

Jadi, bagaimana menurut kalian?

Apakah kalian berpendapat bahwa industri rokok masih memiliki masa depan dan sahamnya menarik?