DCII di Masa Depan dan Ambisi Anthoni Salim

Date:

 Bos Grup Salim, Anthoni Salim mungkin sedang sumringah tatkala manuvernya tahun ini menghasilkan untung besar. Terkenal sebagai raksasa produk Fast Moving Consumer Goods (FMCG) yang punya kinerja solid, bahkan di tengah pandemi. Anthoni kini merambah sektor teknologi sebagai salah satu pemegang saham individu PT DCI Indonesia Tbk. (DCII).

Walaupun PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk. (ICBP) konsisten masuk dalam daftar emiten dengan kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia. Grup Salim juga memiliki gurita bisnis di bidang bisnis otomotif, agribisnis, perbankan, hingga infrastruktur. 

Baca Juga: Daftar Saham Grup Salim 2021

Banyak investor yang mengawasi langkah strategis Grup Salim, termasuk langkah Anthoni Salim secara pribadi. Investor meyakini aksi investasi Anthoni dan Grup Salim tentu dilandasi perhitungan yang matang dan orientasi profit yang besar. Alhasil, ketika Anthoni dikabarkan masuk ke Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK) dan DCII, saham kedua emiten ini melonjak pesat. Anthoni sejatinya sudah lama masuk ke EMTK, kendati baru akhir-akhir ini namanya lebih eksplisit muncul dalam daftar pemegang saham EMTK.

Sementara itu, langkahnya di DCII menjadi kejutan yang menambah antusiasme investor terhadap emiten pusat data yang baru listing di Bursa Efek Indonesia pada awal tahun ini, tepatnya 6 Januari 2021. Sejak listing, saham DCII memang terus meningkat. Namun, ketika nama Anthoni masuk dalam daftar pemegang saham, DCII langsung meroket dan kini menjadi saham termahal di BEI, tidak saja dari sisi harga, tetapi juga valuasi.Pada perdagangan hari ini, Rabu (16 Juni 2021) saham DCII kembali terkena auto reject atas (ARA) setelah naik 20% dan kini ada di level Rp60.300.

Anthoni Masuk di Harga Diskon?

Sebenarnya, Anthoni Salim baru terkonfirmasi sebagai pemilik saham individu DCII pada akhir Mei 2021 lalu. Berdasarkan laporan registrasi pemegang saham DCII per 31 Mei 2021, Anthoni semula tidak memiliki saham DCII sama sekali. Namun, pada akhir bulan tersebut tercatat adanya peralihan saham dari sejumlah pemegang saham individu DCII, yakni dari tiga pengendali dan beberapa pemegang saham individu non-pengendali. Secara total, Anthoni mengantongi 11,12% saham dari hasil transaksi dengan para individu tersebut.

 

Dalam keterangan terpisah dari masing-masing pemegang saham pengendali individu, terungkap bahwa transaksi terjadi pada 31 Mei 2021 dengan harga Rp5.277 per saham. Harga transaksi ini berada jauh di bawah harga pasar saham DCII pada hari tersebut yang ditutup di level Rp13.750 per saham.

Dengan demikian, jika mengacu pada total saham yang dikuasai Anthoni sebanyak 256 juta, dana yang dikucurkannya untuk membeli saham DCII mencapai Rp1,4 triliun. Jelas, ini bukanlah langkah main-main dari Anthoni Salim. Saat paparan publik pada Senin (7 Juni 2021) lalu, CEO DCII Toto Sugiri mengatakan bahwa Anthoni memang membeli saham DCII di harga diskon dibandingkan dengan harga pasar. Alasannya, masuknya Anthoni ke DCII dilakukan dalam rangka kemitraan strategis antara DCII dan Grup Salim.

“Artinya, kami mengharapkan dengan masuknya mitra strategis ini, bisnis-bisnis kami jauh lebih cepat berkembangnya. Ada opportunity, sehingga ini win-win (sama-sama menguntungkan) kedua pihak,” ujarnya kala itu.

Namun, label diskon atas saham DCII sejatinya tidak sepenuhnya tepat. Dengan harga beli di level Rp5.277 per saham, Anthoni sejatinya membeli DCII di harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harganya saham IPO yang hanya Rp420. Artinya, para pemegang saham individu DCII yang menjual sahamnya pada Anthoni sudah menikmati kenaikan investasi 1.156% dibandingkan harga IPO perusahaan ini. Tentu tidak setinggi yang bisa mereka dapatkan seandainya menjualnya langsung di pasar modal di harga Rp13.750.

Apakah harga ini wajar? Mari kita perhatikan dulu laporan keuangannya.

Tidak lama setelah mengumumkan transaksi peralihan saham tersebut, DCII merilis kinerja keuangannya untuk periode kuartal I/2021. Hasilnya, pendapatannya tumbuh 24,57% year on year (yoy) menjadi Rp171,5 miliar, sedangkan laba bersihnya melesat 54,59% yoy menjadi Rp48 miliar. Kinerja ini melanjutkan kesuksesan tahun lalu. Sepanjang 2020, pendapatan DCII naik 55,02% yoy menjadi Rp795,4 miliar, sedangkan laba bersihnya melonjak 71,75% yoy menjadi Rp183,1 miliar.

Kinerja DCII pada kuartal pertama tahun ini mencerminkan tingkat margin laba bersih atau net profit margin (NPM) sebesar 24,57%, naik dari NPM akhir 2020 yang sebesar 24,1%. Ini tergolong sangat tinggi.

Meskipun demikian, hingga akhir kuartal I/2021, total aset DCII sebenarnya hanya Rp2,6 triliun, sedangkan ekuitasnya Rp918 miliar. Artinya, nilai transaksi Anthoni Salim sebesar Rp1,4 triliun untuk membeli hanya 11,12% saham DCII sejatinya sudah jauh melampaui nilai ekuitas DCII. Jika dilihat dari sudut pandang ini, jelas Anthoni tidak membeli saham DCII di harga premium, melainkan sangat mahal. Namun, sejak masuknya Anthoni di DCII, pasar telah meresponsnya secara gila-gilaan hingga mengerek saham DCII ke level yang luar biasa. 

Jika mengacu pada harga terkini, jelas Anthoni sudah untung besar. Investasinya sudah meningkat 1.043% dalam waktu kurang dari satu bulan. Nilai investasi Anthoni yang sebesar Rp1,4 triliun itu kini sudah setara dengan Rp14,6 triliun. Harga saham DCII kini adalah yang termahal di BEI dan menempatkannya dalam daftar 10 emiten dengan kapitalisasi pasar terbesar di Indonesia. Market cap DCII kini mencapai Rp143,74 triliun.

Sebagai pembanding, saham PT Gudang Garam Tbk. (GGRM) yang selama ini berada di takhta saham termahal di BEI harganya kini hanya Rp35.400, sedangkan saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) yang biasanya di posisi kedua harganya kini Rp31.975. Harga DCII kini hampir dua kali lipat harga keduanya. Namun, dari sisi valuasi, saham GGRM dan BBCA sebenarnya jauh lebih murah. Price to earning ratio (PER) GGRM hanya 9,75 kali, sedangkan BBCA 28 kali. Sementara itu, PER DCII mencapai 747,73 kali.

Artinya, butuh waktu 748 tahun bagi pemegang saham DCII untuk memperoleh kembali hasil investasinya jika mengacu pada capaian laba terkini DCII, sedangkan GGRM hanya 10 tahun dan BBCA 28 tahun. 

Kemitraan Strategis Salim - DCI

Meskipun sudah untung besar, Anthoni telah menyiapkan cetak biru untuk perusahaan data center tersebut. Keduanya telah terkonfirmasi memiliki rencana bisnis strategis. Pada awal pekan ini, Grup Salim melalui keterangan resminya telah mengumumkan kerja sama dengan DCII untuk membangun kompleks data center park berstandar global bernama H2 di Pertiwi Lestari Industrial Park di Karawang, Jawa Barat.

Dalam rilis itu, anak Anthoni Salim, yakni Axton Salim yang merupakan Direktur Indofood mengatakan bahwa kompleks data center itu akan menjadi salah satu yang terbesar di Asia Tenggara. Area pengembangannya mencapai puluhan hektare dengan kapasitas ratusan megawatt (MW).

Gedung pertama data center H2 telah dilakukan proses penyelesaian atap atau topping off sejak dibangun pada kuartal IV/2020 lalu. Entitas Grup Salim yang menjalankan bisnis tersebut ialah PT Datacenter Indonesia Sukses Makmur. Gedung itu nantinya memiliki 10 lantai dengan 6 lantai di antaranya adalah ruang data. Total kapasitasnya mencapai 3.000 rak dengan total kapasitas daya listrik 15 MW.

Dari sini terbaca bahwa Grup Salim memang sudah memiliki rencana untuk masuk di bisnis data center, sebab pembangunan proyek ini sudah dimulai jauh sebelum Anthoni membeli saham DCII. Kemitraan dengan DCII menjadi langkah strategis grup usaha ini untuk memuluskan rencana bisnisnya. Pembangunan data center menjadi sangat strategis sebab Indonesia sedang memasuki era digitalisasi yang tentu bakal membutuhkan sumber daya pusat data yang besar. Oleh karena itu, sebenarnya masuk akal jika saham DCII terbang bak roket, sebab industri data center ini adalah masa depan Indonesia.

Hanya saja, kenaikan harga sahamnya yang sangat pesat dalam waktu singkat benar-benar tidak sejalan dengan perkembangan bisnisnya.

Pembangunan data center ini sendiri tentu bakal berjalan dalam beberapa tahap selama beberapa tahun. Oleh karena itu, masih membutuhkan waktu bagi DCII untuk bisa mendapatkan tambahan kapasitas yang signifikan dari proyek ini. Seiring dengan itu, butuh waktu juga bagi kinerja keuangannya untuk meningkat. Sementara itu, Toto Sugiri dalam paparan publiknya pekan lalu juga menyinggung adanya aneka kerja sama strategis lain dengan Grup Salim yang belum mau dia sampaikan detailnya. Jelas, kolaborasi dengan salah satu konglomerasi bisnis paling sukses di Indonesia ini bakal turut mendongkrak kinerja DCII.

Lagi pula, selain dengan Grup Salim, DCII juga menjalin banyak kemitraan strategis, terutama bagi perusahaan-perusahaan digital Indonesia yang membutuhkan pusat data. Salah satu mitra strategis DCII adalah Tokopedia, sehingga aksi korporasi perusahaan itu dengan Gojek turut berdampak pada DCII. 

Potensi Besar

Masuknya Anthoni dan Grup Salim di bisnis pusat data tentu tidak terlepas dari besarnya potensi di bisnis digital di Indonesia. Dalam materi paparan publik DCII, perseroan mencatat ekonomi Indonesia Indonesia pada 2025 nanti diperkirakan mencapai US$124 miliar berdasarkan gross merchandise value (GMV).

Jika dibandingkan dengan posisi 2020 yang diperkirakan baru US$44 miliar, artinya akan ada peningkatan 182% dalam 5 tahun ke depan, atau rata-rata 23% per tahun. Di Asia Tenggara, ekonomi internet diperkirakan akan naik dari US$105 miliar pada 2020 menjadi US$309 miliar pada 2025.

Adapun, DCII saat ini mengaku sudah menguasai pangsa pasar data center colocation di Indonesia sebesar 51% dari total kapasitas yang tersedia. Total kapasitas DCII kini 37 MW. DCII berdiri sejak 2011 sebagai pusat data tier IV pertama di Asia Tenggara dengan zero down time sejak beroperasi. Pandemi Covid-19 telah mendorong percepatan transformasi digital di seluruh area kehidupan masyarakat dan mendorong adopsi teknologi cloud yang cepat. Ini menjadi momentum bagi DCII untuk mengerek kinerjanya di masa mendatang. Oleh karena itu, dengan posisinya yang strategis dan momentum yang tepat, langkah Grup Salim bermitra dengan DCII tampaknya memang penuh perhitungan.

Kenyataannya, Grup Salim bukanlah satu-satunya grup konglomerasi yang tertarik dengan bisnis pusat data di Indonesia. Grup Djarum juga memiliki bisnis pangkalan data melalui perusahaannya iForte. Grup Djarum mengakuisisi PT Iforte Solusi Infotek yang terafiliasi dengan Saratoga Group milik Sandiaga Salahuddin Uno pada Mei 2015 lalu.

iForte yang awalnya berbisnis penyedia jaringan serat optik, tercatat mulai melebarkan sayap ke bisnis infrastruktur pangkalan data dan komputasi awan alias cloud pada 2017.

Selain itu, terdapat pula anak usaha PT Multipolar Technology Tbk. yakni PT Graha Teknologi Nusantara (GTN). MLPT sendiri merupakan perusahaan yang terafiliasi oleh Grup Lippo.  Melalui GTN, Grup Lippo dan MLPT membangun pangkalan data di Cikarang pada 2017 lalu. Dengan demikian, Grup Salim tidak sendirian dalam mengejar cuan di bisnis pusat data dan internet. 

Hanya saja, kenaikan harga saham DCII yang di luar batas wajar kemungkinan besar berada di luar kendali Grup Salim maupun DCII, sebab cenderung digerakkan oleh spekulasi dan euforia berlebihan dari pelaku pasar. Seperti telah dijelaskan manajemen perusahaan, pertumbuhan rata-rata ekonomi internet di Indonesia dalam 5 tahun ke depan hanya 23%.

Jika DCII mampu mengoptimalkan kinerja dan kapasitasnya sedemikian rupa, pertumbuhan bisnis perseroan kemungkinan tidak akan terlalu jauh dari pertumbuhan ekonomi internet tersebut. Artinya, jelas tidak sejalan dengan pertumbuhan harga sahamnya yang naik ribuan persen.