Fenomena Panic Buying di Indonesia,Dulu Masker Sekarang Susu Beruang

Date:

Sejak awal pandemi Covid-19 melanda Indonesia, dimulai Maret 2020 lalu, fenomena pembelian produk tertentu secara besar-besaran secara berkala terjadi. Masih ingat bukan pemberitaan media internasional pada periode awal pandemi, saat masyarakat di luar negeri memborong tisu toilet? Praktik ini adalah satu satu bentuk panic buying. 

Sementara di Indonesia, hal serupa juga terjadi. Di saat awal pandemi tahun 2020 lalu, di tengah simpang-siur kabar mengenai kebijakan lockdown atau PSBB, masyarakat di sejumlah daerah memilih untuk memborong dulu persediaan rumah tangga. 

Salah satu produk yang banyak diburu saat itu: masker, hand sanitizer, hingga jamu yang dipercaya meningkatkan imun tubuh. Fenomena pembelian produk tertentu secara besar-besaran lantas membuat harganya melambung. 

Masker dan hand sanitizer misalnya, yang saat itu langka di pasaran, mulai dijual dengan harga yang melambung. Tapi kondisi ini tak bertahan lama. Seiring dengan stabilnya psikologi masyarakat dan pulihnya distribusi, maka permintaan dan pasokan mulai seimbang. Harga pun mulai normal. 

Berselang satu tahun berjalan, fenomena panic buying terjadi lagi. Berbarengan dengan penerapan PPKM darurat sebagai respons lonjakan kasus Covid-19 yang signifikan, masyarakat mulai memburu satu produk: susu beruang yang diproduksi oleh Nestle Indonesia. 

Ada stigma dan kepercayaan yang melekat di tengah masyarakat bahwa susu beruang punya khasiat yang lebih unggung ketimbang produk susu lain dalam meningkatkan imun tubuh. Tap Big Alpha tidak akan membahas mengenai hal ini. 

Big Alpha akan mencoba merangkum beberapa fakta penting yang perlu kamu ketahui tentang fenomena panic buying. Apa saja? Yuk disimak.

1. Panic buying sebagai demonstration effect

Dikutip dari penjelasan Sosiolog Universitas Sebelas Maret (UNS) Drajat Tri Kartono di Solo kepada Tribunnews, panic buying muncul sebagai respons dari demonstration effect. Masyarakat, ujar Tri, cenderung meniru perilaku orang lain yang juga melakukan hal yang sama dalam jumlah banyak. 

Dalam penjelasannya, Tri menyebutkan bahwa masyarakat pada dasarnya menyadari bahwa mereka tidak terlalu butuh produk tertentu. Tapi karena melihat orang lain membeli atau mengonsumsinya, maka diri mereka terdorong untuk melakukan hal yang sama. 

2. Panic buying sebagai respons dari rasa panik

Selain karena kecenderungan meniru orang lain, panic buying juga terjadi karena diri kita merasa panik atau cemas. Mengacu pada situasi pandemi Covid-19 yang terjadi, maka diri kita merasa panik dan cemas jika barang yang kita butuhkan akan hilanh dalam waktu cepat di pasaran. 

Tri memberikan contoh lain terkait panic buying selain di masa pandemi ini. Tahun 1998 lalu saat krisis moneter terjadi, fenomena serupa juga muncul. Masyarakat berbondong-bondong membeli kebutuhan pokok sebelum harga-harga melonjak tinggi. Apalagi saat itu nilai tukar rupiah memang tidak stabil. 

Pada prinsipnya, ujar Tri, panic buying muncul karena sistem dan tatanan kehidupan tidak berjalan normal. Contohnya bisa saat pandemi ini atau saat krisis moneter terjadi pada 23 tahun lalu. 

3. Panic buying akibat informasi yang melenceng

Panic buying, seperti yang saat ini terjadi terhadap produk susu beruang, juga bisa terjadi karena adanya informasi yang melenceng. Informasi yang dimaksud bukan suatu hal buruk, tapi bisa saja ada nilai yang tidak tepat di dalamnya. 

Pada akhirnya, orang membeli dan mengkonsumsi produk tertentu karena keyakinan saja, bukan karena kebutuhan terhadap produk tersebut. 

4. Sejarah terus berulang

Kondisi-kondisi krisis yang menimpa manusia memang terekam dalam sejarah sebagai momentum yang mendorong masyarakat memburu produk tertentu. Istilahnya, panic buying. 

Jauh sebelum pandemi saat ini, pada awal abad ke-20 silam saat flu Spanyol dan perang dunia pertama melanda, masyarakat memburu produk-produk yang berkaitan dengan pengobatan seperti pil kina dan obat-obatan lain. 

Dikutip dari Tirto, fenomena panic buying sebelumnya juga terjadi saat pandemi SARS tahun 2003 di China dan Hong Kong yang menyebabkan kelangkaan garam, beras, cuka, masker, dan obat-obatan dalam waktu singkat.

5. Andai IPO, saham Nestle Indonesia bisa melambung

Mari kita berandai-andai. Jika Nestle Indonesia selaku produsen susu beruang sudah melantai di bursa, bukan mustahil harga sahamnya bisa melambung. Sampai hari ini memang belum ada laporan resmi mengenai realisasi peningkatan penjualan produk susu beruang. 

Namun dengan kelangkaan yang terjadi di pasaran dan harganya yang naik di berbagai marketplace dan warung-warung, maka bisa dipastikan penjualannya memang meningkat tajam. Masyarakat memang butuh asupan gizi untuk meningkatkan imun tubuh. 

Kendati produknya laris manis, pihak Nestle Indonesia menyampaikan siaran pers yang berisi bahwa perusahaan tidak menaikkan harga jual. Pihak perusahaan memang tidak punya kewenangan untuk menentukan harga jual akhir produk mereka