Gaji Itu Ibarat Penis

Date:

[Waktu baca: 4 menit]

Ada pepatah kuno yang mengatakan, gaji itu ibarat penis. Sebesar apapun yang kamu miliki, jangan pernah ditunjukkan ke orang lain. Kecil, apalagi. Apapun ukurannya, baiknya hanya ditunjukkan ke pasangan.

Jadi, simpan baik-baik slip gajimu, jangan beri tau siapa-siapa. Begitulah kurang lebih arti dari pepatah kuno di atas.

Namun di dunia dengan keterbukaan informasi seperti sekarang ini, kadang tanpa sengaja, kita mengetahui besar gaji orang lain. Lewat social media atau artikel media massa, kita terpapar informasi besaran pendapatan suatu jenis pekerjaan atau kisaran gaji yang ditawarkan dari suatu industri.

Sebutlah, IT developer atau data engineer. Di era menjamurnya tech start up dan kuda-kuda unicorn, hukum supply demand jaman kuda gigit besi tentu masih berlaku. Ketika permintaan (demand) tinggi dan penawaran (supply) sedikit, maka harga naik.

Prinsip inilah yang menimpa beberapa jenis pekerjaan, contohnya ya IT developer tadi. Tingginya permintaan mengerek naik rentang gaji yang ditawarkan untuk pekerjaan ini. Membuat pekerjaan-pekerjaan old school macam akuntan atau personalia hanya bisa menelan ludah.

Berdasarkan laporan Kelly Indonesia Salary Guide 2020, data engineer dengan pengalaman 1-3 tahun saja, sudah bisa mendapatkan gaji Rp 10-15 juta. Posisi licensed engineer dengan pengalaman 3 tahun, sudah bisa menembus Rp 30 juta ke atas.

Product owner dengan pengalaman 4 tahun bisa mendapatkan gaji sebesar Rp 60 juta hingga Rp 90 juta. Project manager, IT infrastructure disebutkan mendapat gaji sebesar Rp 23 juta hingga Rp 44 juta. Untuk senior IT consultant mulai dari Rp 15 juta hingga Rp 25 juta dan software developer sebesar Rp 16 juta hingga Rp 45 juta.

Baca juga: Gaji Rp250 Juta, Ini Gaji Rata-rata Pekerja di Indonesia

Dibandingkan dengan UMK tertinggi se-Indonesia (Kabupaten Karawang) yang sebesar Rp 4,8 juta, maka angka-angka tadi terbilang fantastis. Dan juga, informasinya akan angka-angka tadi terbilang mudah untuk ditemui.

Cukup dengan mengetik beberapa kata kunci di mesin pencari, semua informasinya terbuka lebar. Berbagai artikel dari media massa terkemuka sampai opini-opini personal berderet rapat di hasil mesin pencari. Di Twitter Big Alpha saja, ada banyak DM yang masuk, mulai dari orang-orang yang berkeluh kesah sampai mereka yang pongah akan gajinya.

Jadi, jika mengacu kembali ke pepatah kuno di atas, penis sudah berceceran di mana-mana.

Respon masyarakat setelah mendengar besaran gaji orang lain biasanya terbagi dua. Pertama, mereka yang terbakar semangatnya. Mungkin merasa ada ruang untuk mengubah arah. Mumpung masih muda, mumpung masih banyak waktu dan tenaga.

Tapi sebagian besar justru terkaget-kaget. Lalu mulai membandingkan diri dengan orang lain. Kok cuma segini sementara dia segitu, kenapa smartphone-ku begini sementara dia begitu, kenapa traveling-ku ke sini sementara dia ke situ, dan seterusnya. Lalu berkecil hati dan demotivasi. Merasa hidupnya salah arah dan sudah terlalu lelah untuk mengubahnya.

Masyarakat kita memang refleknya membanding-bandingkan. Tanpa diajari, kita gemar membandingkan uang dan pencapaian orang lain dengan diri sendiri. Jangankan soal uang, saat teman bercerita sedih pun, kita suka membalasnya dengan, “Itu mah masih mending. Kalo gue…”

Lalu bagaimana baiknya kita merespon semua ini?

Dalam buku The 7 Habits of Highly Effective People, Stephen Covey menjelaskan ada dua lingkaran dalam hidup: Circle of Concern (lingkaran kekhawatiran) dan Circle of Influence (lingkaran pengaruh). Circle of Concern adalah hal-hal yang kita khawatirkan namun kita tidak punya kendali atas hal tersebut. Sementara Circle of Influence adalah hal-hal yang kita khawatirkan namun kita punya pengaruh untuk mengubahnya.

Ambil contoh, pandemi COVID-19. Sampai kapan pandemi ini berakhir ada dalam Circle of Concern. Untuk mengakhiri pandemi, kuncinya adalah vaksin. Kita tidak mempunyai kendali penuh bagaimana vaksin diproduksi dan didistribusikan. Yang bisa kita lakukan adalah mematuhi protokol kesehatan, berkegiatan di rumah saja, dan ikut serta dalam program vaksin. Itu adalah Circle of Influence kita.

Perkara gaji, kita tidak bisa meminta orang-orang untuk tidak membagikan angka gaji mereka. Kita tidak bisa menuntut media massa untuk jangan pernah membahas ini atau memaksa lembaga survey untuk tidak merilis hasil riset tentang gaji. Kita tidak punya kendali atas itu.

Yang bisa kita lakukan, yang ada dalam Circle of Influence kita, adalah bagaimana kita merespon setiap informasi tersebut.

Yang pertama, kita harus menyadari bahwa tidak ada hal di dunia ini yang sepenuhnya an apple to apple comparison. Tidak ada hal yang bisa dibandingkan dengan sempurna. Setiap orang punya titik mulai yang berbeda, punya tantangan yang berbeda, dan punya kondisi yang berbeda. Jadi, membandingkan apel dengan motor Supra adalah hal yang sia-sia.

Misal, kita bekerja sambil menyisihkan gaji untuk biaya pendidikan dua orang adik. Ketika membandingkan diri dengan dia yang anak tunggal dan masih disokong orang tua, menjadi kegiatan yang hanya lelah semata. Pun dengan mereka yang sama-sama membiayai dua orang adik, ada faktor-faktor lain yang kita tidak akan pernah tau. Membandingkan dengan informasi terbatas juga percuma.

Namun jangan jadikan ini alasan, sebagai justifikasi atas kegagalan untuk maju. Gunakan ini sebagai pondasi awal untuk hal yang kedua yang harus kita sadari. Bahwa hidup bukanlah pertandingan antara kita dengan orang lain. Seyogyanya, hidup ini adalah sebuah perlombaan antara kita hari ini dengan kita di masa lalu.

Jadikan pecapaian orang lain hanya sebagai referensi. Lewat mereka, kita bisa belajar langkah-langkah mana yang harus dihindari atau kesempatan-kesempatan apa yang bisa dicari. Pencapaian orang lain bukanlah musuh yang harus dikalahkan.

Sejatinya, lawan tanding kita hanyalah diri kita sendiri.

Tags: