Kejatuhan Bitcoin dan Strategi Investasi THR

Date:

[Waktu baca: 6 menit]

CEO Tesla Inc. Elon Musk kemarin memberikan pernyataan melalui Twitter yang sangat mengejutkan terkait penggunaan kripto Bitcoin untuk transaksi mobil Tesla. Musk mengumumkan tidak lagi menerima bitcoin sebagai alat pembayaran untuk pembelian mobil Tesla.

Pernyataan ini seketika merontokkan pasar bitcoin hingga sempat turun lebih dari 15% ke level US$46.045 pada perdagangan kemarin, Kamis (13 Mei 2021), meskipun setelahnya naik lagi ke level US$50.000. Sebelumnya, beberapa hari ini bitcoin masih bergerak di level US$59.000.

Alasan Musk, proses penambangan bitcoin selama ini telah meningkatkan penggunaan bahan bakar fosil, khususnya batu bara, untuk energi listriknya sehingga tidak cocok dengan misi Tesla untuk mengurangi tingkat emisi karbon.

Musk mengamini bahwa kripto memiliki masa depan yang menjanjikan, tetapi seharusnya tidak menimbulkan efek buruk yang begitu besar terhadap lingkungan hidup.

Musk juga menegaskan bahwa Tesla tidak akan menjual bitcoin mereka dan akan segera menggunakannya sebagai alat transaksi begitu proses penambangannya mulai menggunakan energi yang lebih ramah lingkungan.

Berikut ini screenshot yang dikicaukan oleh Musk:

Menariknya, Musk juga mengungkapkan bahwa Tesla sedang menjajaki kripto lainnya yang menggunakan kurang dari 1% energi yang digunakan bitcoin per transaksi. Musk juga melampirkan tingkat konsumsi listrik penambangan bitcoin yang meningkat pesat akhir-akhir ini.

Peristiwa ini sekali lagi menunjukkan besarnya ketidakpastian di dunia investasi, terutama di aset kripto. Setelah euforia selama ini mengerek harga aset digital ini hingga meningkat pesat, dalam sekejap pembalikkan arah pergerakan harga bisa saja terjadi.

Selama ini, euforia yang mengantar harga bitcoin melambung adalah keputusan Tesla membeli  kripto ini dan menjadikannya alat transaksi di ekosistem. Kini, Tesla juga yang membawa sentimen negatif bagi bitcoin.

Pengumuman Elon Musk yang dilakukan tepat saat hari raya Lebaran dan Kenaikan Isa Almasih ini tentu menggelisahkan para investor bitcoin yang tengah liburan dan merayakan hari raya keagamaan masing-masing.

Penurunan sekejap bitcoin kemarin telah merontokkan kapitalisasi pasar  kripto hingga lebih dari Rp5.000 triliun.

Dilansir dari cnbcindonesia.com yang mengutip Coinmarketcap, kapitalisasi pasar cryptocurrency pada pukul 05.00 WIB kemarin masih di level US$2,43 triliun, tetapi pada pukul 07.45 WIB nilainya tinggal US$2,06 triliun.

Artinya, ada sekitar US$365,85 miliar yang hilang dari pasar. Dengan asumsi kurs Rp14.200 per dolar AS, nilai aset yang menguap dalam waktu kurang dari 3 jam tersebut setara dengan Rp5.183 triliun.

Di antara nilai aset yang hilang itu, mungkin saja ada dana tunjangan hari raya (THR) sejumlah investor yang baru diterima pada awal bulan ini dan dibelikan bitcoin. Nilainya rontok seketika tepat di puncak hari raya. Tentu saja itu bukanlah kabar kemenangan yang menggembirakan. 

Pelajaran di Hari Raya

Harga bitcoin memang kembali membaik setelah terjatuh, tetapi gejolak harga yang terjadi kemarin memberikan pelajaran berharga. Jika investor tidak memiliki ketahanan risiko yang kuat, kejutan seperti itu mudah memantik kepanikan yang berujung pada kesalahan mengambil keputusan.

Aset  kripto memang memiliki risiko yang sangat tinggi, sehingga seharusnya hanya investor yang memiliki toleransi risiko yang tinggi pula yang bisa ikut berinvestasi di jenis aset ini.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sudah mengingatkan besarnya risiko instrumen ini, sebab berbeda dibandingkan dengan jenis instrumen lain,  kripto tidak memiliki aset dasar atau underlying yang jelas. Aset ini murni komoditas, bukan alat pembayaran yang sah di Indonesia.

OJK sendiri tidak melakukan pengawasan terhadap aktivitas investasi di aset kripto ini. Pengawasan dilakukan oleh Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Kementerian Perdagangan.

Berinvestasi di instrumen ini seharusnya disertai dengan pemahaman yang memadai, bukan sekadar ikut-ikutan. Prinsip yang sama sebenarnya berlaku pada semua jenis investasi. Hanya saja, di antara jenis investasi yang ada, instrumen yang paling tinggi risikonya mestinya dipelajari dengan lebih dalam.

Sayangnya, beberapa orang baru belajar setelah terjun langsung dan menderita kerugian sendiri. Hal ini justru bisa berujung pada kekapokan untuk kembali berinvestasi. Ini seharusnya tidak perlu terjadi jika sejak awal seorang investor paham profil risiko masing-masing.

Umumnya, profil risiko terbagi atas tiga kategori, yakni konservatif, moderat, dan agresif.

Investor konservatif adalah kelompok investor yang tidak siap menanggung potensi kerugian dalam jumlah besar. Investor jenis ini sebaiknya berinvestasi di aset-aset yang minim risiko, kendati memang konsekuensinya tingkat keuntungan yang didapatkan bisa sangat rendah. Aset yang dipilih bisa deposito, obligasi ritel, sukuk ritel, atau emas. 

Investor moderat adalah kelompok investor yang sedikit lebih berani dalam menanggung potensi risiko investasi, demi mendapatkan tingkat keuntungan yang lebih besar. Aset-aset yang dipilih bisa berupa reksa dana campuran atau saham-saham defensif.

Sementara itu, investor agresif adalah kelompok investor yang berani mengambil risiko tinggi demi mendapatkan potensi keuntungan yang tinggi pula.

Investor jenis ini biasanya memiliki modal yang cukup atau sudah memiliki diversifikasi portofolio investasi di berbagai instrumen, sehingga kerugian investasi tidak sampai membuat dirinya sepenuhnya bangkrut. Mereka juga umumnya sudah memiliki tingkat pemahaman investasi yang tinggi. 

Investasi Pakai THR, Bagaimana Strateginya?

Momentum hari raya Lebaran umumnya identik dengan THR dan mudik. Di tengah larangan mudik saat ini, THR yang diterima masyarakat kemungkinan besar menjadi cukup berlebih karena tidak ada pos pengeluaran mudik.

Oleh karena itu, besar kemungkinan kelebihan dana masyarakat akan mengalir ke berbagai instrumen investasi jika tidak dikonsumsikan pada hal lain. Umumnya, THR tahun ini baru diterima pada awal Mei 2021 atau sekitar 10 hari sebelum Lebaran.

Bagi sebagian orang, dana THR itu kemungkian belum sepenuhnya dihabiskan. Beberapa mungkin tengah mempertimbangkan keputusan pilihan investasi mana yang paling baik, meskipun beberapa mungkin sudah terlanjur membeli bitcoin dan menderita kerugian akibat cuitan Elon Musk.

Dalam berinvestasi, baik itu menggunakan pendapatan rutin maupun THR, prinsip yang sama tetap berlaku, yakni mengenali tingkat toleransi risiko pribadi dan mengenal jenis instrumen yang ingin diinvestasikan.

Dana berlebih dari THR akibat tak adanya mudik dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk lebih mengenal karakter tiap instrumen investasi. Bagi pemula, sebaiknya mencoba berinvestasi dengan jumlah kecil, semata-mata untuk belajar dan mengenal karakter instrumen.

Dengan demikian, gejolak harga yang terjadi pada tiap instrumen tidak sampai menimbulkan kerugian yang terlampau besar. Barulah setelah nanti lebih mengenal karakter tiap instrumen, nilai investasi bisa dinaikkan secara bertahap.

Kamu bisa memulai dengan menyisihkan 15% hingga 30% dari THR untuk berinvestasi, dengan pengandaian sisanya digunakan untuk berbagai keperluan lain seperti konsumsi hari raya, zakat, dll.

Namun, jika kebutuhan konsumsi sudah bisa dipenuhi dari gaji, kamu dapat mengalokasikan porsi yang lebih besar dari THR untuk berinvestasi.

Jenis instrumen berisiko rendah yang bisa dipilih antara lain adalah reksa dana pasar uang dan reksa dana pendapatan tetap. Kedua jenis instrumen ini memberikan tingkat pendapatan yang pasti dari pembayaran kupon atau bunga rutin, meskipun juga ada risiko penurunan harga dari aset dasarnya.

Jika kamu ingin sedikit mengambil risiko yang lebih besar, reksa dana campuran bisa jadi pilihan, yakni instrumen yang menggabungkan saham yang berisiko tinggi dan obligasi yang berisiko sedang dalam satu keranjang.

Sementara itu, jika kamu ingin mulai mempelajari jenis instrumen yang lebih berisiko, kamu dapat mencoba membeli reksa dana saham, atau langsung membeli saham-saham yang ada di Bursa Efek Indonesia. Pilihan lainnya yang kini tengah populer tentu saja adalah kripto.

Jika tujuannya adalah untuk belajar, kamu dapat mulai dengan mengalokasikan sekitar 30% dari porsi investasimu pada aset-aset berisiko tinggi ini, sedangkan 70% sisanya dialokasikan ke instrumen lain yang lebih rendah risikonya. 

Alokasi THR, Pilih Saham atau Kripto?

Jenis investasi dengan risiko paling tinggi umumnya juga menjanjikan keuntungan paling besar. Oleh karena itu, akhir-akhir ini aset saham dan kripto makin populer sebab kenaikan harganya bisa sangat tinggi sehingga memberikan keuntungan besar dalam waktu singkat.

Kedua jenis aset investasi ini pun pilihannya sangat beragam di pasar. Di Bursa Efek Indonesia, jumlah saham yang ditransaksikan kini mencapai 722 emiten, sedangkan di pasar fisik aset kripto jumlah kripto yang diakui Bappebti ada 229 jenis. Daftarnya bisa dilihat di sini

Di antara daftar 229 jenis itu, ada bitcoin, ethereum, tether, dogecoin, polkadot, chainlink, lightcoin, dan litecoin. Namun, di dunia, jumlah jenis kripto yang beredar sudah mencapai ribuan jenis.

Lantas, jika investor pemula ingin belajar sembari mengoptimalkan potensi keuntungan pada instrumen yang lebih berisiko, aset mana yang sebaiknya dipilih, saham atau kripto?

Dari sisi konsep, saham jelas lebih mudah untuk dipahami. Saham adalah bentuk kepemilikan seseorang terhadap perusahaan tertentu.

Secara fisik, perusahaan itu ada, lokasinya jelas, produksnya jelas, bahkan kita gunakan sehari-hari, ada manajemen dan karyawannya, serta ada laporan keuangan rutin yang menunjukkan kinerja perusahaan itu.

Keseluruhan perusahaan tersebut menjadi aset dasar dari saham. Risiko terbesarnya adalah kebangkrutan dari perusahaan tersebut. Jika perusahaan tersebut bangkrut, investor dapat memperoleh kembali investasinya melalui likuidasi aset yang dimiliki oleh perusahaan itu.

Selain itu, saham sendiri dulunya ada bentuknya, yakni berupa sertifikat fisik yang bisa disimpan oleh investor. Hanya saja, kini saham di Bursa Efek Indonesia tidak lagi menggunakan kertas fisik, melainkan dalam bentuk elektronik yang disatukan di Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI).    

Bagi investor yang ingin mempelajari saham tertentu, seluruh datanya tersedia di Bursa Efek Indonesia atau di website resmi perusahaan tersebut. Selain itu, pemberitaan oleh media pun cukup luas sehingga memudahkan investor untuk selalu memantau perkembangan bisnisnya.

Hal ini jauh berbeda dibandingkan dengan aset kripto. Tidak begitu mudah untuk memahaminya sebab kripto bukanlah produk yang sehari-hari digunakan oleh masyarakat. Hanya kalangan tertentu yang menggunakannya dalam transaksi digital.

 Kripto tidak memiliki aset dasar seperti halnya saham. Oleh karena itu, sulit juga untuk mengukur fundamentalnya untuk menentukan nilai intrinsik dari tiap jenis aset kripto. Tidak ada rasio-rasio keuangan yang bisa dijadikan patokan untuk mengukur kinerjanya.

Tidak adanya aset dasar yang menjadi rujukan bagi nilainya menyebabkan fluktuasi harga aset kripto bisa sangat tinggi. Nilainya bisa turun menjadi sangat rendah, tetapi juga bisa melambung sangat tinggi. Pergerakannya sangat ditentukan oleh mekanisme pasar serta sentimen yang tengah berkembang.

Kripto sendiri terbentuk dari aktivitas transaksi di dunia digital melalui platform blockchain. Transaksi dilakukan secara peer-to-peer dari pengirim langsung ke penerima, tanpa pihak perantara seperti bank.

Seluruh transaksi tercatat dalam sistem yang ada di jaringan kripto, sehingga tidak lagi tersentralisasi. Pencatatan ini dilakukan menggunakan komputer canggih oleh “penambang”  kripto. Mereka akan mendapatkan komisi berupa mata uang digital yang dipakai dalam transaksi itu.

Di Indonesia, mana uang kripto ini bisa disimpan sebagai aset, tetapi tidak dapat digunakan sebagai alat pembayaran. Oleh karena itu, fungsinya sebagai mata uang tidak dapat diaktualisasikan. Fungsinya hanya terbatas menjadi sekadar komoditas.

Dapat disimpulkan bahwa baik saham maupun kripto sama-sama merupakan aset dengan fluktuasi harga yang tinggi. Namun, saham memiliki aset dasar berupa perusahaan yang menjadi landasan bagi penilaian terhadap harganya, sedangkan aset kripto sepenuhnya ditentukan oleh mekanisme permintaan dan penawaran di pasar.

Mempelajari individu saham tertentu relatif lebih mudah ketimbang kripto yang belum digunakan di Indonesia. Risiko saham pun relatif lebih terukur dan sudah diatur oleh regulasi yang ketat di Indonesia, sedangkan kripto belum teregulasi.

Kendati demikian, dengan tingkat fluktuasi harganya yang sangat tinggi, kripto memang membuka peluang keuntungan yang sangat besar dalam waktu singkat. Lagi pula, transaksinya dilakukan secara global, sehingga relatif lebih likuid atau mudah ditransaksikan karena banyaknya pelaku pasar yang ikut.

Di pasar saham, saham-saham yang pergerakan harganya di luar batas wajar biasanya dikendalikan oleh segelintir pihak tertentu dan cenderung tidak begitu likuid. Saham-saham ini harganya bisa meningkat sangat tinggi dalam waktu singkat, tetapi selanjutnya terjun bebas dengan cepat pula.

Investornya cenderung tidak mudah untuk melepasnya ketika harganya sedang turun, lantaran tidak likuidnya saham tersebut.

Jadi, masing-masing instrumen memiliki karakter yang khas. Instrumen mana yang sebaiknya dipilih sangat bergantung pada tujuan investasi dan ketahanan risiko tiap investor.
 
 
 
 
 
 
 

Tags: