Kisah Juragan Setrum dari Monopoli hingga Usaha Mencari Laba

Date:

PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN merupakan BUMN yang mengendalikan bisnis paling vital di Indonesia, yakni energi. PLN menjadi distributor tunggal sekaligus kepanjangan tangan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan energi yang terjangkau bagi seluruh masyarakat. Sama seperti semua perusahaan BUMN lainnya, PLN pun dituntut untuk mencari laba. Namun, pada saat yang sama, PLN mengemban beban yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja. Subsidi listrik pemerintah menjadi penyokong bagi PLN untuk menutupi sebagian biaya operasional.

Jika mengacu pada laporan keuangannya, kemampuan PLN dalam mendulang laba tidak begitu besar. Pada 2020, total pendapatan PLN, termasuk dari subsidi pemerintah, mencapai Rp345 triliun, turun 3,9% secara tahunan atau year on year (yoy). Kondisi ini tampaknya tidak terlepas dari penurunan aktivitas industri yang biasanya menyerap energi besar. PLN cukup mampu menekan beban usahanya tahun lalu, tetapi sayangnya rugi kurs perseroan mencapai Rp7,7 triliun, berbalik dari kondisi 2019 yang justru untung Rp9,5 triliun.

Alhasil, laba sebelum pajak PLN anjlok 53% yoy dari Rp26 triliun menjadi hanya Rp12 triliun. Namun, untungnya, beban pajak PLN 2020 lalu hanya Rp6,3 triliun, turun tajam 71% yoy dibanding 2019 yang mencapai Rp21,8 triliun. Penurunan tajam di beban pajak inilah yang menjadikan PLN mampu membukukan laba bersih Rp5,95 triliun, melonjak 39,3% yoy dari sebelumnya Rp4,3 triliun. Meskipun demikian, margin laba bersih atau net profit margin (NPM) PLN hanya 1,72%. Ini hanya meningkat tipis dibanding 1,19% pada 2019.

Margin PLN ini bahkan jauh lebih rendah ketimbang bunga deposito perbankan besar papan atas yang kini berkisar pada 3% per tahun. Artinya, lebih untung menempatkan dana di deposito ketimbang berinvestasi di PLN atau berbisnis listrik. Jangan lupa pula bahwa kinerja keuangan PLN ditopang oleh subsidi besar-besaran dari pemerintah. Pada 2020 lalu, nilai subsidi listrik pemerintah mencapai Rp48 triliun, hanya sedikit turun dibanding tahun sebelumnya yang mencapai Rp51,7 triliun. Tanpa itu, PLN rugi besar.

Seketika terbesit, apakah salah jika PLN untungnya kecil atau bahkan rugi karena tertekan program pemerintah? PLN mengemban misi sosial untuk turut menyejahterakan masyarakat serta menghadirkan listrik hingga ke seluruh penjuru Indonesia. PLN pun menjadi pembeli tunggal atas listrik yang diproduksi oleh perusahaan swasta. Energi listrik menjadi salah satu komponen biaya terbesar dalam produksi dan aktivitas ekonomi pada umumnya. Oleh karena itu, biaya listrik menjadi sangat sensitif bagi banyak pihak. Tidak mudah bagi PLN untuk begitu saja menaikkan tarif listrik, sebab ada konsekuensi politis di baliknya.

Dalam prosesnya, ongkos produksi PLN jelas tidak murah. Namun, sebagai korporasi, PLN tetap dituntut untuk menemukan cara-cara inovatif agar perseroan mampu mengoptimalkan potensi keuntungannya, tanpa mengorbankan misi yang ditugaskan. Baru-baru ini, PLN memperkenalkan layanan barunya, yakni jasa solusi konektivitas berupa komunikasi data atau internet fixed broadband. Bisnis baru ini dijalankan melalui anak usahanya, yakni PT Indonesia Comnets Plus (Icon+). Layanan ini dikenal dengan brand Iconnet.

PLN memiliki keunggulan kompetitif sebab menjangkau hampir seluruh masyarakat Indonesia dengan infrastruktur kelistrikan yang memadai. Semua pelanggan PLN tentu menjadi pangsa pasar potensial bagi PLN untuk menawarkan jasa baru ini sebagai tambahan atas jasa kelistrikan yang sudah dinikmati selama ini. Setelah menerangi masyarakat dengan listrik, kini PLN ingin menerangi masyarakat dengan akses informasi yang cepat melalui internet.

Saat ini, prospek pasar digital di Indonesia sedang berkembang dengan sangat pesat. Pandemi Covid-19 memaksa adopsi berbagai layanan digital menjadi lebih cepat. Konsumsi data internet pun melonjak pesat. Ini tampaknya bakal menjadi tren yang akan terus berlanjut, bahkan setelah pandemi berlalu. Jelas, potensi di bisnis penyedia jaringan telekomunikasi internet ini sangat besar. Selain itu, tampaknya cocok pula bagi karakter bisnis PLN yang selama ini sudah unggul dalam pengembangan jaringan listrik. Pada laporan keuangan 2020, komponen pendapatan PLN terdiri atas penjualan tenaga listrik, penyambungan pelanggan, subsidi listrik pemerintah, pendapatan kompensasi, dan pendapatan lain-lain.

Pada lini pendapatan lain-lain, pendapatan PLN berasal dari jaringan dan jasa telekomunikasi, sewa transformator, perubahan daya tersambung dan administrasi, penjualan batu bara, dan lain-lain. Pendapatan dari jaringan dan jasa telekomunikasi nilainya Rp1,6 triliun, hanya 0,47% dari total pendapatan PLN. Dengan kehadiran Iconnet, sumber pendapatan PLN akan menjadi lebih terdiferensiasi dan diharapkan dapat menjadi motor bagi pertumbuhan bisnisnya, sebab dari bisnis kelistrikan penghasilan PLN tampaknya akan di situ-situ saja. Setidaknya, tarif layanan internet broadband tidak sesensitif tarif listrik. PLN dapat bersaing dari sisi kualitas jaringan dan keterjangkauan serta memanfaatkan keunggulan kompetitifnya untuk menjaring lebih banyak pelanggan dan menaikkan harga.

 

Prospek Bisnis Internet Broadband

Untuk dapat mengetahui prospek bisnis internet broadband yang dijalankan PLN, kita dapat membandingkannya dengan lini bisnis yang sama seperti yang dijalankan pesaingnya, yakni Indihome dari PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. Berdasarkan laporan keuangan emiten dengan kode saham TLKM itu, pendapatan Indihome pada 2020 mencapai Rp22,2 triliun, tumbuh 21,2% yoy dari capaian 2019 lalu yang sebesar Rp18,3 triliun. Jika mengacu pada total pendapatan TLKM senilai Rp136,5 triliun, kontribusinya setara 16,3%.

Dengan kontribusi sebesar itu, menempatkan Indihome sebagai kontributor pendapatan terbesar kedua TLKM setelah pendapatan data, internet, dan jasa teknologi informatika yang senilai Rp75,8 triliun. Nilainya bahkan lebih tinggi ketimbang pendapatan telepon yang tercatat Rp21,6 triliun. Berikut ini perkembangan pendapatan lini bisnis Indihome TLKM dalam 3 tahun terakhir:

Terlihat bahwa pertumbuhan bisnis ini cukup tinggi, setidaknya dalam 3 tahun terakhir. Hingga akhir 2020, Indihome sudah memiliki pelanggan sebanyak 8,02 juta, tumbuh 14,5% yoy dari sekitar 7 juta pada 2019. Keputusan PLN untuk masuk ke bisnis ini bakal bersaing langsung dengan kerabatnya di keluarga besar BUMN ini. PLN menargetkan dapat mengakuisisi 20 juta pelanggan hingga 2024 nanti. Saat ini, jumlah pelanggan listrik PLN sudah mencapai lebih dari 79 juta. Dalam jangka panjang, perseroan menargetkan dapat menjangkau semua pelanggannya. Di mana ada listrik, di situ ada Iconnet.

PLN bakal lebih unggul ketimbang semua kompetitornya, sebab PLN sudah menjangkau daerah-daerah yang selama ini masih sulit dimasuki oleh penyedia jasa lainnya. Meskipun demikian, pekerjaan rumah bagi PLN adalah untuk memperkenalkan dan mempromosikan bisnis barunya ini di kalangan pelanggan.

Umumnya pasar potensial kelas menengah di kota-kota besar yang paling empuk justru sudah dikuasai banyak pesaingnya. PLN membutuhkan upaya ekstra jika ingin mengakuisisi pelanggan-pelanggan ini. Selain itu, bisnis baru ini pun tidak serta-merta bakal langsung berkontribusi besar bagi PLN. Sebab, untuk dapat mengoptimalkan layanannya, tetap saja Iconnet harus berinvestasi untuk mengembangkan jaringan serat optik sendiri. Artinya, ada biaya besar di awal operasional.

Sejauh ini, Iconnet memang memiliki daya tarik unggul, terutama karena menawarkan harga langganan yang lebih murah ketimbang pesaingnya. Namun, kualitas layanan Iconnet masih harus diuji. Bagaimanapun, pesaingnya saat ini adalah pemain yang sudah lebih lama malang melintang di bisnis tersebut dan cukup fokus di sana. Selain itu, masuknya Iconnet dalam persaingan di bisnis ini kemungkinan bakal mendorong perang harga yang tidak sehat. Jika demikian, potensi pendapatan dari lini bisnis ini pun kemungkinan bakal seret. PLN harus mampu kreatif mengakali tantangan ini nantinya.

 

Efisiensi Jadi Tantangan Utama

Alih-alih mencari sumber pendapatan tambahan, PR besar PLN sebenarnya juga terletak pada tingginya beban operasional. Jika mampu mengendalikan komponen biaya, PLN dapat berhemat setara dengan potensi pendapatan dari lini bisnis baru. Langkah ini bukannya tidak ditempuh, tetapi tantangannya memang besar. Belum lagi, PLN sekarang sedang dalam misi pengembangan energi hijau. Ongkos pengembangan energi baru ini tentu tidak murah jika dibandingkan sumber energi lama yang selama ini sudah matang.

Salah satu tantangan efisiensi PLN adalah meningkatkan efektivitas penyediaan listrik bagi masyarakat, terutama dengan menekan tingkat susut jaringan tenaga listrik. Susut jaringan merupakan kerugian energi akibat masalah teknis dan nonteknis pada penyaluran energi listrik.

Selama ini perhitungan susut pada penyulang dilakukan dengan cara menghitung selisih kWh beli dan kWh jual pada penyulang. Tahun ini, PLN menargetkan susut jaringan tenaga listrik 9,01%. Adapun, berdasarkan data sementara, tingkat susut jaringan hingga kuartal III/2020 lalu sebesar 8,39%. Tahun 2019 lalu, tingkat susut jaringan mencapai 9,35%, sedangkan pada tahun sebelumnya 9,55%. Artinya, sudah ada tren penurunan.

Tingginya susut jaringan akan berdampak langsung pada peningkatan beban pokok penyediaan (BPP) listrik. Penurunan setiap 1% susut jaringan tenaga listrik akan berpengaruh pada penghematan BPP hingga Rp3,9 triliun. Nilai ini setara lebih dari separuh laba bersih PLN 2020 lalu. Saat ini, tingkat susut jaringan Indonesia tergolong sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Pada 2019, misalnya, tingkat susut jaringan di Singapura hanya 2,02%, Brunai 6,41%, Malaysia 5,79%, Thailand 6,11%, dan Vietnam 9,29%.

Menurut manajemen PLN, tingginya tingkat susut jaringan disebabkan karena struktur pelanggan dan jaringan kelistrikan PLN. Sederhananya, makin tinggi tingkat konsumsi listrik per kapita, makin rendah tingkat susut jaringan. Nah, sayangnya tingkat konsumsi listrik per kapita di Indonesia masih sangat rendah. Hal ini karena mayoritas konsumsi listrik adalah untuk rumah tangga dengan tegangan rendah (TR), yakni mencapai 61%, padahal di negara-negara tetangga mayoritas menggunakan tegangan menengah (TM) dan tegangan tinggi (TT) untuk kebutuhan industri. Umumnya, tingkat susut jaringan TR mencapai 10% hingga 15%, sedangkan TM 2%-3% dan TT kurang dari 1%. Di negara maju, konsumsi TT berada pada kisaran 70%, sehingga tingkat susut jaringannya sangat rendah.

 

Meringankan Beban PLN

PLN memiliki peran vital dan menyangkut hajat hidup orang banyak. Beruntung bahwa hingga kini PLN masih mampu membukukan keuntungan, meskipun bebannya sebagai penyedia tunggal kebutuhan listrik nasional sangat berat. Apalagi, sejak awal pemerintahan Presiden Joko Widodo, ditargetkan tambahan pasokan pembangkit listrik hingga 35.000 MW.

Saat ini, upaya untuk mengurangi beban PLN tengah dibahas intensif, antara lain yakni rencana untuk melibatkan lebih banyak peran swasta dalam pengembangan jaringan transmisi listrik. Dengan demikian, beban investasi PLN dapat berkurang. Adapun, jaringan transmisi adalah infrastruktur yang dibutuhkan untuk menyalurkan pasokan listrik yang berlebih di suatu daerah ke daerah lain yang mengalami kekurangan pasokan.

Sebagai gambaran, hingga akhir 2020 aset PLN mencapai Rp1.589 triliun, relatif tidak banyak berubah dibandingkan dengan kondisi 2019. Dari total aset tersebut, modal atau ekuitas PLN mencapai Rp940 triliun, sedangkan beban atau liabilitasnya lebih kecil yakni Rp649 triliun. Meskipun aset PLN besar, tetapi kas dan setara kasnya relatif terbatas, hanya Rp54 triliun. Mayoritas asetnya adalah aset fisik yang tidak mudah dicairkan dengan segera. Oleh karena itu, jika hanya mengandalkan dana PLN, pengembangan jaringan ini bakal berlangsung lambat.

Sementara itu, percepatan pengembangan jaringan oleh swasta malah dapat membuka peluang baru, seperti ekspor tenaga listrik berlebih ke negara tetangga, khususnya Singapura dan Malaysia. Saat ini, pemerintah sudah menyiapkan empat ruas proyek transmisi 2021-2027 senilai total US$3,1 miliar. Dengan mengalihkan beban ini ke swasta, PLN dapat fokus pada pengembangan prioritas. Tahun ini saja, anggaran investasi PLN dipatok Rp165,7 triliun. PLN berencana membangun sekitar 3.132 MW pembangkit listrik, 6.776 km sirkuit jaringan transmisi, dan 6.810 MVA gardu induk.

Hanya saja, tantangannya, proyek transmisi bukanlah proyek yang menguntungkan, apalagi listrik merupakan energi vital yang tidak dapat dinaikan begitu saja harganya untuk mengejar keuntungan. Alhasil, untuk dapat menarik minat swasta di proyek ini, butuh skema investasi yang menarik pula. Pembangunan transmisi berisiko tinggi dengan kebutuhan investasi yang besar pula, sedangkan periode pengembalian keuntungannya sangat panjang. Oleh karena itu, pemerintah dan PLN memiliki PR untuk merancang skema kerja sama yang menarik dengan swasta.

Jika mengacu pada Undang-Undang No. 30/2009 tentang Ketenagalistrikan, usaha penyediaan listrik dilakukan secara terintegrasi yang meliputi pembangkit, transmisi, distribusi, dan penjualan tenaga listrik. Kegiatan itu dilakukan oleh satu badan usaha dalam satu wilayah usaha. Artinya, jika swasta diminta membangun transmisi yang hanya merupakan salah satu komponen, ujung-ujungnya harus tetap PLN yang mengoperasikannya. Sebab, selama ini, praktis PLN menjadi pemain tunggal di sebagian besar wilayah Indonesia.

Sementara itu, jika menimbang tingkat margin atau NPM PLN yang hanya di kisaran 1%, jelas bisnis listrik bukanlah bisnis yang menarik bagi swasta. Oleh karena itu, tampaknya swasta tidak akan berminat jika ingin mengoperasikan bisnis kelistrikan secara terintegrasi, mulai dari produksi, distribusi, hingga penjualan. Dengan demikian, monopoli PLN di bisnis kelistrikan tidak saja semata-mata demi menjaga kontrol negara pada energi vital, tetapi juga karena memang tidak diminati oleh perusahaan lain. Bahkan, dengan monopolinya pun, PLN tidak cukup mampu untuk meraup untung besar dari bisnis ini dan harus mencari sumber pendapatan dari bisnis baru.

Tags: