Krisis Energi dan Momentum Eksplorasi Batu Bara

Date:

Perekonomian global saat ini tengah ditandai oleh krisis energi di banyak negara. Hal ini terjadi seiring dengan lompatan ekonomi yang mulai kembali bergeliat setelah pandemi bisa dikendalikan. Hal ini memicu permintaan besar-besaran terhadap energi, utamanya batu bara.

Belum lagi, dalam waktu dekat negara-negara di belahan bumi utara bakal memasuki musim dingin yang tentu bakal meningkatkan kebutuhan terhadap energi.

Namun, pada saat yang sama, ketersediaan pasokan dan kapasitas produksi belum mampu mengimbanginya. Maklum, selama pandemi dan pembatasan mobilitas, apalagi ditambah kondisi cuaca yang tidak mendukung, aktivitas produksi tambang energi cenderung terganggu.

Banyak produsen komoditas energi sejak tahun lalu memangkas produksi mereka karena harga yang rendah dan permintaan yang terbatas. Kondisi La Nina yang menyebabkan curah hujan yang tinggi juga mengganggu proses tambang.

Kini, ketika permintaan mendadak naik, tidak mudah bagi para produsen itu untuk melakukan penyesuaian kapasitas produksi dengan cepat. Alhasil, krisis terjadi.

Sebagai salah satu komoditas energi yang paling diandalkan di dunia, tentu saja batu bara seketika mengalami lonjakan permintaan. Kondisi tersebut pun mendorong harganya naik pesat, bahkan mencapai rekor tertinggi setelah lama terpuruk.

Namun, untuk setiap gelombang selalu ada bukit dan lembah. Artinya, untuk setiap lonjakan kenaikan harga, akan disusul pula oleh penurunan. Jangan sampai, setelah para produsen ramai-ramai meningkatkan produksi, pasar justru berbalik menjadi kelebihan pasokan dan menjatuhkan harga.

Meskipun begitu, momentum kenaikan harga yang terjadi saat ini tentu menjadi berkah bagi kalangan pengusaha emas hitam, termasuk emiten-emiten batu bara di pasar saham. Kondisi ini juga tentu berpeluang menguntungkan ekonomi Indonesia secara keseluruhan karena naiknya ekspor.

 

Ancaman Krisis Energi

Semua komoditas energi saat ini mengalami lonjakan harga, baik itu minyak bumi, gas alam, maupun batu bara. Kenaikan harga semula terjadi di komoditas gas alam.

Harga komoditas ini mendadak naik dari kisaran US$2,5 per satu juta British thermal unit (mmBtus) pada kuartal I/2021 lalu, kini sudah di kisaran US$5,4 per mmBtus, bahkan sempat menyentuh US$5,6 per mmBtus.

Harga gas semula meningkat karena cuaca ekstrim selama musim panas tahun ini sehingga memicu permintaan gas untuk kebutuhan energi AC. Alhasil, pasokan gas untuk energi musim dingin, terutama untuk pemanas ruangan, kini berkurang.

Kondisi ini terutama terjadi di Eropa, termasuk Inggris. Pasokan gas yang diterima dari Rusia selaku pengekspor gas terbesar ke Eropa relatif terbatas di tengah cuaca yang panas. Belum lagi kebutuhan listrik untuk kendaraan yang makin membengkak karena aktivitas ekonomi yang menggeliat lagi.

Di sisi lain, gas alam juga adalah komoditas penting pendukung industri. Seiring dengan kebangkitan industri, permintaan terhadap komoditas ini pun melonjak.

Nah, seiring dengan naiknya harga komoditas ini, sejumlah konsumen pun mencoba beralih ke energi minyak bumi. Alhasil, harga minyak ikut terkerek. Harga minyak jenis brent kini sudah bergerak di atas level US$80 per barel, padahal setahun yang lalu harganya hanya separuhnya.

Seiring dengan itu, harga batu bara sebagai energi alternatif juga naik pesat. Harga batu bara bahkan sempat menyentuh US$280 per ton pekan lalu, sebelum akhirnya kini turun lagi ke kisaran US$244 per ton.

Kondisi krisis energi saat ini pun kemungkinan bakal mendorong Amerika Serikat untuk mempertimbangkan kembali meningkatkan konsumsi terhadap batu bara, berlawanan dengan komitmennya selama ini untuk menekan konsumsi energi kotor.

Kondisi krisis yang terjadi akhir-akhir ini juga tidak terlepas dari adanya persoalan di logistik laut. Peningkatan aktivitas industri juga turut meningkatkan aktivitas perdagangan global sehingga terjadi antrean pengiriman dan kenaikan biaya logistik.

Hal ini menjadi faktor tambahan lainnya yang kian memanaskan harga komoditas.  Naiknya harga komoditas energi ini pun akhirnya menyebabkan biaya listrik meningkat dan mendorong terjadinya pemadaman listrik bergilir di Eropa dan Asia, bahkan kemungkinan akan melanda juga Amerika Serikat.

Hal ini tentu menjadi kondisi yang sangat berbahaya memasuki musim dingin tahun ini. Oleh karena itu, Amerika Serikat diperkirakan bakal menambah konsumsi batu bara sebesar 23% lebih tinggi tahun ini dibandingkan konsumsi tahun lalu.

Padahal, kapasitas tambang batu bara di Amerika Serikat sudah turun selama beberapa tahun terakhir seiring dengan komitmen pemangkasan konsumsi energi batu bara di sana. Sejauh ini, belum dapat dipastikan apakah penambang di sana akan mampu untuk meningkatkan kapasitasnya dengan segara.

Di China, kondisinya sedikit berbeda dibandingkan dengan Eropa dan Inggris atau Amerika Serikat yang lebih disebabkan karena lonjakan kebutuhan rumah tangga. Krisis energi di China lebih didorong oleh peningkatan aktivitas industri yang mendorong konsumsi listrik berlebihan.

China mengalami pertumbuhan ekonomi yang pesat. Namun, produksi batu bara untuk industri, terutama pembangkit listrik, tidak dapat terpenuhi dengan optimal.

Negara ini tengah mengalami dilema, sebab di satu sisi China menghadapi tekanan global untuk mengurangi konsumsi energi kotor batu bara, tetapi di sisi lain negara ini terdesak untuk memenuhi kebutuhan energi bagi manufakturnya guna memulihkan lagi ekonominya.

Alhasil, setelah selama ini menekan tingkat produksi batu bara dalam negeri, China mau tidak mau meningkatkan permintaan impor dari negara lain, termasuk dari Indonesia. Di sisi lain, China masih melakukan embargo impor batu bara dari Australia sehingga laju pasokan makin terbatas.

 

Indonesia Untung, Tetapi Harus Waspada

Melesatnya kinerja industri dan ekonomi negara-negara di dunia, terutama China, tentu menguntungkan bagi Indonesia. Demikian juga kondisi krisis energi di negara tersebut.

China adalah negara pengimpor batu bara terbesar dari Indonesia. Oleh karena itu, peningkatan kebutuhan batu bara di China tentu bakal meningkatkan ekspor komoditas tersebut dari Indonesia. Seiring dengan itu, penerimaan devisa negara pun tentu meningkat.

Adapun, Bank Indonesia (BI) mencatat posisi cadangan devisa per September 2021 adalah sebesar US$146,9 miliar, meningkat dibandingkan dengan posisi pada akhir Agustus 2021 sebesar US$144,8 miliar.

Sementara itu, per Agustus, volume ekspor batu bara Indonesia ke China melonjak secara bulanan sebesar 32,7% secara bulanan (month-to-month/mtm), dan 236% secara tahunan (year-on-year/yoy).

Namun, kondisi ini juga bukannya tanpa bahaya. Kondisi krisis yang berlebihan tentu berpotensi menekan laju pertumbuhan aktivitas industri di sana. Alhasil, permintaan terhadap komoditas lain asal Indonesia, terutama bahan baku industri seperti feronikel, CPO, dan stainless steel, ikut terhambat.

Meskipun demikian, kebutuhan energi China pun tidak akan segera menurun dalam waktu dekat. Oleh karena itu, kemungkinan bagi besarnya permintaan ekspor batu bara asal Indonesia akan tetap tinggi. Ini bakal mendukung keseimbangan kinerja ekonomi Indonesia sepanjang paruh kedua tahun ini.

Tantangan bagi Indonesia tampaknya hanya sebatas itu. Kemungkinan bagi terjadinya krisis energi di Indonesia relatif lebih kecil, sebab pemerintah juga telah memiliki target tersendiri dan telah mewajibkan pelaku tambang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Berdasarkan data dari Minerba One Data Indonesia (MODI), produksi batu bara telah mencapai 458,49 juta ton dari target 625 juta ton. Kemudian 223,73 juta ton di antaranya telah diekspor dari rencana 487,50 juta ton.

Sementara itu, realisasi domestic market obligation (DMO) sudah menyentuh 63,47 juta ton dari rencana awal 137,50 juta ton. Realisasi untuk pasar domestik sudah menyentuh 141,27 juta ton.

Sejauh ini, indeks ketahanan energi Indonesia dinilai masih cukup tinggi. Dalam hal ketahanan energi ini, umumnya ada empat aspek yang perlu diperhatikan, yakni ketersediaan energi, keterjangkauan harga energi, kemampuan akses terhadap energi, dan energi yang ramah.

Kemudian terdapat 5 tingkat kondisi energi dari penilaian aspek tersebut yakni sangat rentan dengan skala nilai 0 yang berarti sangat rentan hingga 10 yang artinya sangat tahan.

Nah, menurut Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional Djoko Siswanto, indeks ketahanan energi Indonesia untuk keempat variable itu ada di angka 6,57 atau berada di kategori tahan. Tren ketahanan energi Indonesia pun cenderung terus meningkat sejak 2014 lalu. Level 6,57 ini adalah yang tertinggi.

Nilai ketahanan energi Indonesia dalam 5 tahun terakhir sejak 2014 hingga 2018 yakni berturut-turut 5,82; 6,17; 6,38; 6,4; dan 6,43.

Meskipun demikian, hal ini tidak berarti menjadikan Indonesia lenggah. Kenyataannya, sebagai bagian dari komunitas global, Indonesia tentu tidak akan luput dari dampak ekonomi yang terjadi di negara lain. Hingga kini, Indonesia juga masih bergantung pada impor untuk kebutuhan minyak bumi dan LPG.

Di sisi lain, konsumsi energi masyarakat Indonesia masih ditopang oleh subsidi negara, khususnya pada BBM dan LPG. Kenaikan harga komoditas ini dapat meningkatkan beban keuangan negara.

Hanya saja, Indonesia memang diuntungkan karena menjadi eksportir batu bara dan LNG sehingga dapat membantu menyeimbangkan neraca perdagangan. Namun, jika krisis energi terjadi berkepanjangan, Indonesia kemungkinan juga akan menghadapi peningkatan harga energi.

Seperti diketahui, kenaikan harga energi bakal berdampak pada ekonomi secara keseluruhan. Itu artinya, harga barang dan jasa pun akan ikut terkerek dan memicu inflasi yang lebih tinggi dari yang diharapkan.

Untungnya, pembangkit listrik Indonesia saat ini sebagian besar masih ditopang oleh energi batu bara, yang mana pasokan bahan bakunya masih berlimpah di dalam negeri. Stabilitas pasokan batu bara untuk PLN juga cukup terjamin, sehingga lonjakan harga listrik yang mengejutkan kemungkinan tidak akan terjadi.

Sementara itu, proses pemulihan ekonomi di Indonesia juga tampaknya tidak sedrastis negara-negara seperti China, India, Eropa, dan Amerika Serikat. Alhasil, lonjakan kebutuhan energi juga tidak begitu ekstrem. Artinya, kondisi yang terjadi di Indonesia memang berbeda dibandingkan dengan negara-negara tersebut.

 

Momentum Emas Emiten Baru Bara

Kondisi harga batu bara yang memanas tentu saja menjadi kabar yang sangat baik bagi perusahaan penambang batu bara serta industri lain yang terkait, mulai dari pengangkutan, penyedia alat berat, industri pembiayaan/perbankan, hingga catering.

Di pasar modal sendiri, harga saham emiten-emiten penambang batu bara sangat diapresiasi oleh investor dalam beberapa waktu terakhir. Tercatat, indeks IDX Sector Energy yang menjadi wadah bagi saham-saham batu bara sudah mencatatkan lonjakan nilai yang tinggi.

Indeks itu sudah naik 35,84% year-to-date (YtD) sekaligus menempatkannya sebagai indeks dengan kinerja tertinggi kedua setelah indeks IDX Sector Technology yang tercatat meningkat 712,84% YtD per Senin, 11 Oktober 2021.

Momentum tingginya permintaan dan harga batu bara global menjadi saat yang tepat bagi perusahaan tambang untuk merealisasikan rencana eksplorasi mereka dan mendongkrak produksi yang memang telah direncanakan.

Beberapa emiten pun melaporkan upaya peningkatan aktivitas eksplorasi mereka. Misalnya saja PT Indika Energy Tbk. (INDY) dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk. (ITMG).

Indika melalui anak usahanya Kideco merencanakan kegiatan eksplorasi pada Block Roto Samurangau, yaitu pada area Roto Selatan, Roto Selatan G, dan Samurangau. Kemudian pada Blok Susubang Uko, yaitu di area Uko, dan Blok Samu Biu.

Kegiatan pemboran pada Oktober 2021 direncanakan dapat menyelesaikan 35 lubang dengan target kedalaman 6,167.00 meter.

Sementara itu, ITMG melalui anak usahanya yakni PT Trubaindo Coal Mining dan PT Indominco Mandiri melakukan pemboran lubang terbuka (open hole) dan pemboran inti (coring).

PT Trubaindo Coal Mining menjalankan operasional pemboran pada area Blok Utara dan Blok Selatan di Kecamatan Muara Lawa, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur. Kemudian PT Indominco Mandiri melakukan pemboran pada Blok Barat dan Blok Timur.

Meskipun demikian, upaya menggenjot produksi pun tidak dapat dilakukan secara serampangan. Bagaimanapun, kenaikan harga batu bara saat ini adalah fenomena siklikal yang hampir pasti bakal diikuti oleh pendinginan harga setelahnya.

Di sisi lain, hingga kini batu bara masih menjadi sasaran tekanan komunitas global sebab dianggap sebagai biang pemanasan global. Oleh karena itu, prospek batu bara sebagai energi masa depan sebenarnya suram.

Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) juga memperingatkan pemerintah untuk mempersiapkan cetak biru terkait coal processing plant (CPP) untuk mengantisipasi potensi penurunan harga batu bara di masa mendatang.

Kondisi memanaskan harga batu bara saat ini memang telah menarik minat banyak pelaku usaha untuk segera terjun ke bisnis ini memanfaatkan momentum emas yang ada. Hal ini pun mendorong banyak pelaku usaha yang meningkatkan aktivitas tambang.

Saat ini, pemberian izin usaha pertambangan (IUP) terus menjamur di daerah. Bahayanya, jika harga akhirnya turun, para pelaku tambang ini akan dengan cepat meninggalkan area tambang mereka tanpa repot-repot melakukan reklamasi. Hal ini justru berdampak sangat buruk bagi lingkungan.

Kejatuhan bisnis para pelaku usaha ini dapat menimbulkan efek berantai yang berbahaya bagi ekonomi. Oleh karena itu, euforia terhadap kenaikan harga batu bara tetap harus diwaspadai agar tidak terjadi lonjakan produksi secara berlebihan.