Mencermati Kinerja SAPX di Balik Kejatuhan Sahamnya

Date:

Bisnis jasa kurir, khususnya layanan last mile delivery menjadi salah satu lini bisnis yang diuntungkan selama pandemi, sebab ketergantungan masyarakat terhadap layanan kurir meningkat akibat pembatasan mobilitas.

Salah satu emiten yang fokus menjalankan bisnis ini adalah PT Satria Antaran Prima Tbk. Sayangnya, emiten berkode saham SAPX seakan ketinggalan kereta dengan emiten-emiten sektor jasa transportasi dan logistik.

Sepanjang tahun berjalan hingga sesi pertama perdagangan sahamnya hari ini, Kamis (7 Oktober 2021), saham SAPX sudah anjlok 51,60% year-to-date (YtD) ke level Rp1.060. Saham emiten ini memang sempat melesat sangat tinggi tahun lalu dari kisaran Rp700-an ke level Rp2.340 di tengah tahun.

Harga tinggi itu cenderung bertahan hingga akhir tahun lalu. Namun, pada awal tahun ini, harga saham SAPX mendadak turun tajam hingga sempat kembali ke level 700-an. Sekarang, sahamnya cenderung bergerak mendatar di kisaran Rp1.000 - Rp1.200-an.

Oleh karena itu, menarik untuk memahami perkembangan bisnis SAPX dan sentimen yang sebenarnya tengah mempengaruhi bisnisnya. Seiring dengan itu, kita dapat menilai apakah pergerakan sahamnya tergolong baik-baik saja atau tidak.

 

Bisnis Jasa Kurir Naik Daun

Meningkatnya bisnis jasa kurir sejatinya tidak sulit untuk dipahami, sebab tren belanja online kini makin marak. Jasa kurir menjadi mata rantai paling penting dalam memastikan model bisnis e-commerce agar dapat berjalan dengan baik.

Selama pandemi, masyarakat dituntut untuk tetap di rumah dan mengurangi interaksi sosial di area publik. Oleh karena itu, sudah tentu tingkat kunjungan ke pusat-pusat perbelanjaan berkurang.

Meski begitu, masyarakat tetap perlu untuk memenuhi kebutuhannya, sehingga belanja online pun menjadi pilihan. Alhasil, setiap kali ada kebijakan pembatasan mobilitas baru entah itu PSBB atau PPKM, justru menjadi angin segar bagi bisnis jasa kurir.

Platform e-commerce pun hingga kini masih gencar memberikan promo untuk meningkatkan transaksi masyarakat di platform mereka. Hal ini menjadi salah satu pendorong peningkatan kebutuhan terhadap jasa kurir.

Namun, seiring dengan meningkatnya kebutuhan terhadap layanan kurir, pemain-pemain baru penyedia jasa pun bermunculan. Sejumlah perusahaan yang semula fokus di sektor transportasi pun mencoba mendiversifikasikan bisnisnya ke layanan kurir ini. Ujungnya, persaingan pada sektor ini pun mulai mengetat.

SAPX sendiri memiliki layanan jasa kurir yang dikenal dengan brand SAP Express. Perseroan pun tidak ketinggalan dalam upaya memanfaatkan momentum peningkatan permintaan terhadap layanan kurir saat itu. Perseroan berupaya meningkatkan investasi untuk kapasitas bisnisnya dan mempertahankan daya saing.

Perseroan pun memperluas jaringan kemitraan guna meningkatkan daya saing dan keunggulan kompetitifnya. Terbaru, perseroan menandatangani kerja sama dengan Yusen Logistics Indonesia. Mitra perseroan tertarik untuk bekerja sama sebab SAP Express sudah menjangkau hingga pelosok Indonesia.

Adapun, Yusen Logistics Indonesia merupakan salah satu perusahaan multinasional di bidang logistik berskala besar yang menyediakan jasa freight forwarder. Kemitraan dengan SAP Express dinilai bakal saling menguntungkan, sebab akan saling melengkapi jaringan jasa yang ditawarkan keduanya.

SAPX sendiri sudah memiliki sekitar 204 kator cabang dan subcabang dengan lebih dari 5.000 agen tenaga kurir di seluruh Indonesia. Hingga akhir tahun ini, perseroan menargetkan memiliki 7.000 agen. Kerja sama ini memungkinkan SAPX untuk memperluas sayap bisnisnya hingga ke pasar global.

Sembari menjajaki prospek pasar global, perseroan juga tetap berupaya memperluas jaringan di dalam negeri dan menargetkan untuk memiliki kantor cabang dan subcabang di setiap kabupaten. Untuk tahap awal, perseroan menargetkan dapat menjangkau setiap kabupaten di Pulau Jawa.

Fokus pengembangan kantor cabang dan subcabang selain di Jawa adalah di Bali dan Sumatra, serta daerah lain yang dianggap potensial. Pengembangan kantor cabang dan subcabang di luar Jawa akan dilakukan secara bertahap seiring dengan perkembangan industri dan usaha perseroan.

Tahun ini, perseroan menganggarkan belanja modal atau capital expenditure antara Rp50 miliar hingga Rp60 miliar yang bersumber dari kas internal. Jika tidak cukup, perseroan tidak menutup kemungkinan untuk mencari sumber dana segar lain.

Anggaran tersebut akan digunakan selain untuk menambah jaringan infrastruktur kantor cabang dan subcabang, juga untuk gudang untuk usaha fulfillment, menambah armada kendaraan, serta jumlah kurir. Singkatnya, untuk meningkatkan operasional bisnis secara keseluruhan.

Perseroan akan fokus di bisnis last mile delivery dan hanya memperluas bisnisnya pada segmen usaha turunannya seperti layanan warehouse dan fulfillment, bulk shipment, dan bisnis ritel. Dengan upaya ini, perseroan menargetkan dapat menikmati pertumbuhan kinerja hingga 20% pada akhir tahun ini.

Adapun, seiring dengan perkembangan masif tren belanja online, perseroan tidak begitu khawatir dengan potensi penurunan permintaan jasa kurir ketika pandemi berakhir dan aktivitas bisnis kembali normal.

Justru, seiring dengan kembali dibukanya tempat belanja offline serta kantor-kantor, kebutuhan terhadap jasa kurir SAP Express juga akan meningkat, sebab jasa kurir tidak saja dibutuhkan oleh para pebisnis online.

Jadi, perseroan akan diuntungkan oleh permintaan dari online yang diharapkan tetap stabil serta dari offline yang mulai meningkat lagi. Adapun, sebelum merambah ke segmen belanja online dan e-commerce, pangsa pasar utama SAPX sebelumnya memang adalah korporasi.

Perseroan mengembangkan sayap bisnisnya ke layanan kurir ritel yang terkait dengan belanja online sebab melihat besarnya peluang di lini itu. Oleh karena itu, sejatinya perseroan belum masuk pada semua platform e-commerce. Namun, secara bertahap perseroan ingin masuk ke semua ekosistem dari e-commerce yang beroperasi di Indonesia.

 

Kinerja Keuangan SAPX

Perkembangan bisnis sekaligus upaya pengembangan kapasitas perseroan tercermin dengan cukup jelas pada kinerja keuangannya. Perseroan menikmati pertumbuhan pendapatan selama masa pandemi. Namun, kinerja laba masih tergerus akibat kebutuhan operasional yang meningkat selama ekspansi.

Tampaknya, sentimen laba yang tergerus inilah yang menjadi salah satu penekan utama kinerja saham perseroan sehingga justru turun, di samping pergerakan harga yang memang sudah terlalu tinggi pada tahun lalu dan kini mulai mendingin.

Berikut ini kinerja keuangan SAPX:

Dari data tersebut, terlihat bahwa kinerja keuangan SPAX cenderung terus membaik dari tahun ke tahun, terutama dari sisi pendapatan. Perseroan masih rugi pada 2017-2018, tetapi berhasil berbalik untung pada 2019. Namun, pada 2020 keuntungan yang dikantongi perseroan berkurang.

Tren penurunan laba itu masih berlangsung pula pada awal tahun ini. Pada semester I/2021, pendapatan perseroan berhasil tumbuh 24,3% year-on-year (YoY), sebaliknya laba bersih tergerus tipis -0,4% YoY.

Jika melihat laporan kinerja keuangannya secara lebih terperinci, akan terlihat bahwa meskipun pendapatannya meningkat pesat, perseroan juga mengalami peningkatan yang tak kalah tingginya dari sisi aneka beban.

Beberapa komponen beban langsung yang meningkat signifikan antara lain yakni beban gaji, tunjangan, dan manfaat lainnya yang melonjak 60% YoY dari Rp45 miliar menjadi Rp72 miliar. Biaya angkutan dan kurir juga meningkat 13,6% YoY menjadi Rp85,7 miliar.

Sementara itu, di kelompok beban usaha, peningkatan signifikan juga terjadi di sejumlah komponen. Biaya telepon, air, komunikasi, dan listrik melonjak 69% YoY menjadi Rp4,1 miliar, penyusutan naik 55,4% YoY menjadi Rp3,9 miliar, kantor naik 38,6% YoY menjadi Rp2,2 miliar, dan bahan bakar & transport naik 34% YoY menjadi Rp2,25 miliar.

Secara total, beban langsung perseroan naik 30,3% YoY menjadi Rp179 miliar, sedangkan beban usaha naik 20,6% YoY menjadi Rp71,3 miliar. Dengan demikian, kenaikan beban yang lebih tinggi ketimbang pertumbuhan pendapatan ini menyebabkan laba perseroan tertekan.

Kenaikan beban ini tentu tidak terlepas dari upaya perseroan meningkatkan kapasitas bisnisnya, mulai dari peningkatan kapasitas armada dan kurir, penambahan kantor cabang dan subcabang, serta penjajakan terhadap bisnis turunan.

Dengan langkah agresif yang berupaya ditempuh perseroan selama masa pandemi ini, diharapkan kinerjanya akan dapat tumbuh lebih pesat selepas pandemi. Apalagi jika mengingat proyeksi pertumbuhan ekonomi digital dan e-commerce Indonesia yang bakal pesat di masa mendatang.

Meskipun demikian, penurunan laba juga tetap saja mencerminkan adanya inefisiensi yang terjadi di tubuh perseroan. Hal itu bukanlah sesuatu yang disukai investor, kendati sejatinya peningkatan beban perseroan masih cukup wajar dan memiliki alasan yang masuk akal.

Koreksi yang terjadi pada saham perseroan tahun ini tampaknya lebih disebabkan oleh pendinginan harga usai lonjakan pesat tahun lalu. Dengan level harga terkininya, price to earning ratio (PER) SAPX juga masih cukup tinggi, yakni 25 kali. Adapun, rata-rata PER IHSG saat ini di kisaran 12,2 kali.

Sementara itu, price to book value (PBV) SAPX saat ini sudah mencapai 6,3 kali. Artinya, harga sahamnya 6,3 kali lebih tinggi ketimbang nilai ekuitas per sahamnya. Bandingkan dengan PBV IHSG yang hanya 2,4 kali.

Namun, jika dibandingkan dengan saham PT Adi Sarana Armada Tbk. (ASSA) yang juga menjalankan bisnis kurir tahun ini, valuasi SAPX sejatinya jauh lebih murah, sebab PER ASSA sudah di level 77,89 kali sedangkan PBV-nya 8,32 kali. Sepanjang tahun ini, saham ASSA sudah melejit 424,41% YtD.

Apa yang menyebabkan investor terus mengapresiasi ASSA, sebaliknya justru meninggalkan SAPX? Hal ini cukup sulit dijawab sebab pasar sering kali punya logika sendiri yang tidak selalu masuk akal.

Namun, indikator yang cukup jelas adalah kinerja pendapatan dan laba ASSA yang berhasil tumbuh jauh lebih pesat ketimbang SAPX. ASSA berhasil meningkatkan pendapatannya hingga 50,4% YoY pada paruh pertama tahun ini menjadi Rp2,11 triliun, dengan laba bersih meroket 68,8% YoY menjadi Rp72,6 miliar.

Meskipun demikian, di luar tingkat pertumbuhan yang tinggi, margin laba bersih ASSA sejatinya sangat tipis, yakni hanya 3,4%. Sementara itu, margin SAPX lebih tebal yakni 6,5%. Jadi, SAPX sejatinya masih lebih efektif dalam menghasilkan keuntungan ketimbang ASSA.

Hanya saja, ketidakmampuan SAPX untuk menghasilkan tingkat pertumbuhan bisnis yang massif seperti ASSA selama masa pandemi tampaknya sedikit mengecewakan. Namun, ini tidak berarti bahwa prospek jangka panjang SAPX tidak cukup cerah.

Tampaknya, masih butuh lebih banyak waktu bagi SAPX untuk mampu mendorong pertumbuhan kinerjanya lebih pesat lagi sembari pada saat yang sama mengefisienkan proses bisnisnya. Semoga saja waktunya tidak terlalu lama.