Menerka Arah Kinerja Instrumen Investasi 2022  

Date:

Perjalanan tahun ini akan segera berakhir dan tidak lama lagi tahun 2022 akan segera dimulai. Namun, perjalanan investasi akan terus berlanjut. Bagi kalangan investor, momentum akhir tahun seperti saat ini akan menjadi saat yang tepat untuk mengukur potensi investasi tahun depan dan merancang strategi.

Satu tahun terakhir ditandai oleh upaya pemulihan ekonomi yang dilakukan oleh seluruh negara dan pelaku ekonomi di dunia. Meskipun tahun ini ditandai oleh beberapa kali puncak gelombang pandemi di banyak negara, periode terberat bagi ekonomi sejatinya sudah berlalu pada 2020 silam.

Indonesia juga mulai menikmati pemulihan ekonomi itu dan resmi mengakhiri resesi sejak kuartal kedua tahun ini. Seiring dengan itu, instrumen investasi pun kembali bangkit, terutama dalam hal ini yakni instrumen investasi di pasar modal.

Di sisi lain, kondisi pandemi pun secara unik telah meningkatkan kesadaran berinvestasi banyak masyarakat. Alhasil, banyak masyarakat yang akhirnya memutuskan untuk mendaftar menjadi investor di pasar modal Indonesia dan mulai mempelajari investasi.

Perkembangan teknologi digital memungkinkan semua ini terjadi. Dulu, upaya promosi pasar modal relatif sulit sebab media promosi sangat terbatas dan berbiaya mahal, sedangkan Indonesia begitu luas dan terpisah dalam ribuan pulau. Kini, kehadiran media sosial menjadi sarana promosi yang sangat efektif dan gratis.

Dulu, untuk dapat menjadi investor pasar modal harus memiliki modal minimal yang cukup besar dan melewati proses pendaftaran selama berhari-hari. Berkas pendaftaran harus dikirim melalui jasa pengiriman dan perlu ada tatap muka dengan petugas sekuritas untuk proses know your customer.

Kini, semuanya dapat dilakukan dengan sangat mudah melalui smartphone dan dapat selesai dalam hitungan jam. Hasrat berinvestasi di kalangan masyarakat yang sejatinya sudah lama ada, kini mendapatkan penyaluran yang tepat dan relatif jauh lebih aman.

Sebab, sejak dulu pun sudah jamak terjadi adanya penipuan investasi yang dialami oleh masyarakat karena tergoda pada instrumen-instrumen ilegal. Artinya, masyarakat sudah memiliki kemampuan untuk berinvestasi, tetapi belum memiliki pengetahuan tentang instrumen dan strategi investasi yang tepat.

Dapat dikatakan, kondisi pandemi yang memaksa banyak orang untuk lebih dalam mengadopsi teknologi digital telah menghantarkan masyarakat menuju era baru berinvestasi. Ini salah satu berkah tersamar dari pandemi.

Baru tahun ini terjadi transaksi harian di pasar saham dapat menembus hingga lebih dari Rp20 triliun dalam sehari, tepatnya pada awal tahun ini. Padahal, sebelum pandemi, umumnya transaksi harian tidak lebih dari Rp10 triliun.

Jumlah investor pasar modal yang pada 2019 lalu baru mencapai 2,48 juta single investor identification (SID), kini sudah mencapai 6,76 juta pada Oktober 2021. Aktivitas transaksi yang dulunya didominasi oleh investor institusi asing, kini beralih ke investor ritel domestik.

Memasuki 2022 mendatang, tentu dapat diharapkan kondisi ekonomi dunia sudah akan jauh lebih baik. Sementara itu, peningkatan jumlah investor yang sangat masif selama dua tahun terakhir akan sangat meningkatkan semarak di pasar modal Indonesia, jauh lebih besar ketimbang tahun-tahun sebelum pandemi.

Oleh karena itu, menarik untuk mengetahui gambaran prospek kinerja investasi tahun depan dengan berlandaskan sejumlah asumsi yang sudah dapat diukur sejak saat ini. Ulasan kali ini akan difokuskan pada instrumen investasi pasar modal, mencakup saham, obligasi, dan reksa dana.

 

Katalis Positif

Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia dan dunia sudah terhambat selama 2 tahun terakhir akibat pandemi. Oleh karena itu, jika upaya pemulihan ekonomi dan program vaksinasi serta pengendalian pandemi berjalan dengan baik, kondisi tahun depan sudah akan jauh lebih baik.

Bisa jadi, perlambatan yang terjadi selama ini, khususnya sepanjang 2020, akan segera terkompensasikan dengan laju pertumbuhan yang lebih kencang tahun depan. Bagi Indonesia sendiri, sejumlah kalangan memperkirakan ekonomi dapat tumbuh antara 5% hingga 7%.

Pemerintah memperkirakan rentang pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan akan berkisar antara 5,2% hingga 5,8%. Sementara itu, untuk akhir tahun ini diestimasikan akan berada di sekitar 3,7% hingga 4,5%.

Ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi tentu menyiratkan adanya aktivitas bisnis yang lebih hidup tahun depan. Artinya, kalangan pelaku usaha kemungkinan akan mampu memutar bisnisnya dengan lebih optimal dan menghasilkan pertumbuhan kinerja yang lebih baik.

Hal ini memberikan sinyal pula bahwa emiten-emiten yang sahamnya ada di pasar modal akan turut mengalami peningkatan kinerja juga tahun depan. Seiring dengan itu, tentu masuk akal jika sahamnya pun diapresiasi sehingga harganya meningkat. Ini tentu menjadi peluang keuntungan bagi investor.

Sejauh ini, upaya pengendalian pandemi oleh pemerintah masih berjalan dengan serius, tetapi sudah tidak lagi seketat dahulu. PPKM sudah diturunkan ke level 1 sehingga memungkinkan terjadinya pemulihan ekonomi. Dengan demikian, dapat diharapkan kinerja emiten benar-benar akan pulih.

Hal ini sudah terbukti dari laju IHSG yang sudah sempat kembali menyentuh level rekornya tahun ini. Adapun, rekor tertinggi IHSG terjadi pada Februari 2018 silam di level 6.689. Pada Kamis, 11 November 2021 lalu, rekor itu sudah sempat terlampaui dan IHSG ditutup di level rekor baru, yakni 6.691,34.

Artinya, IHSG sudah kembali seperti kondisi sebelum pandemi, bahkan sudah lebih baik ketimbang kondisi 2019 yang belum ditandai oleh pandemi. IHSG memang kembali turun usai menyentuh rekor tersebut, tetapi kalangan analis meyakini dalam waktu dekat akan segera menuju 6.700, bahkan 7.000.

Harapan ini tidak mustahil, sebab didukung pula oleh perkembangan ekonomi global. Aktivitas perdagangan dunia kini sudah kembali pulih. Bahkan saking cepatnya pemulihannya, laju rantai pasok sampai-sampai terhambat akibat membeludaknya permintaan perdagangan dunia.

Hal itu juga memicu terjadinya krisis kontainer dan krisis energi secara global yang memaksa negara-negara untuk sedikit mengerem agresivitas upaya memacu pertumbuhan mereka.

Hal ini terutama karena beberapa produsen komoditas dan bahan baku harus menyesuaikan diri lagi dengan tingkat permintaan yang tinggi, setelah selama pandemi mereka memangkas kapasitas produksi mereka.

Segera setelah titik keseimbangan ditemukan, roda perekonomian global tentu akan segera berjalan dengan lebih lancar. Ketika itu terjadi, prospek pemulihan ekonomi global dan Indonesia menjadi lebih besar lagi.

Tentu, semua itu dilandaskan pada asumsi bahwa kondisi pandemi tidak akan memburuk lagi dan sebaliknya justru makin terkendali. Selain itu, tidak ada juga kondisi luar biasa yang memicu krisis baru, entah seperti perang dagang atau kebijakan-kebijakan geopolitik lain yang mengganggu aktivitas perdagangan.

Sementara itu, bagi pasar obligasi, ceritanya akan sedikit berbeda. Sebab, dinamika di pasar obligasi turut dipengaruhi pula oleh perkembangan suku bunga acuan, kebijakan pembiayaan anggaran negara, kebijakan pemerintahan global.

Saat ini, suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI 7DRR) masih di level terendah sepanjang sejarah, yakni 3,50%. Umumnya, imbal hasil atau yield surat utang negara (SUN) cenderung akan menyesuaikan diri dengan suku bunga acuan dalam spread atau selisih yang relatif konstan.

Seiring dengan rendahnya bunga acuan, yield SUN pun ikut rendah, meskipun tetap volatil. Berdasarkan data World Government Bonds, yield SUN 10 Tahun Indonesia sekitar 6,26%. Ini salah satu level terendah sepanjang sejarah. Sebelumnya, pada akhir 2020 lalu yield ini sempat di bawah 6%.

Nah, mengingat hubungan antara yield dan harga SUN berbanding terbalik, artinya penurunan yield mencerminkan kenaikan harga. Sebaliknya, kenaikan yield mencerminkan penurunan harga.

Pemulihan ekonomi global mungkin akan diikuti oleh kenaikan suku bunga acuan bank sentral tiap negara. Jika itu terjadi, maka yield surat utang global pun akan cenderung meningkat, sehingga harganya turun.

Dengan demikian, pasar obligasi kemungkinan akan relatif tertekan tahun depan jika pemulihan ekonomi berlangsung pesat. Lagi pula, Amerika Serikat sudah memberikan sinyal kuat pengetatan moneter melalui tapering off atau pengurangan pembelian aset surat utang di pasar.

Kurangnya permintaan tentu akan berdampak pada turunnya harga US Treasury, yakni surat utang Paman Sam. Namun, pada saat yang sama, naiknya yield akibat turunnya harga akan menjadikan instrumen ini lebih menarik, sebab kini menjadi lebih terdiskon.

Hal ini berpotensi memicu terjadinya arus keluar modal asing dari pasar surat utang negara-negara lainnya menuju kembali ke Amerika Serikat untuk membeli US Treasury. Alasannya, sebab US Treasury masih dianggap sebagai instrumen safe haven atau instrumen yang paling aman untuk dimiliki.

Jika itu terjadi, tentu akan ada tekanan jual di pasar surat utang domestik Indonesia yang mendorong penurunan harga dan kenaikan yield. Jika hal ini diikuti pula oleh kebijakan kenaikan suku bunga the Fed, maka sudah tentu pasar obligasi akan tertekan tahun depan.

Faktor lain yang juga akan mempengaruhi dinamika di pasar surat utang yakni jika ekonomi benar-benar pulih dengan cepat tahun depan, tentu disebabkan oleh peningkatan penyaluran kredit oleh industri perbankan.

Selama ini, penyaluran kredit terhambat akibat permintaan yang rendah dari pelaku usaha karena adanya pembatasan mobilitas. Di sisi lain, banyak dana masyarakat dan dunia usaha yang seharusnya diputar di ekonomi riil akhirnya justru disimpan di bank, sehingga dana pihak ketiga (DPK) bank banjir.

Selama ini, kelebihan likuiditas itu digunakan oleh bank untuk membeli surat berharga negara (SBN), yakni SUN dan sukuk negara. Jadi, bank tetap dapat menikmati keuntungan dari yield. Jika nantinya ekonomi bergeliat, bank tentu akan menjual SBN mereka dan menyalurkannya sebagai kredit.

Dengan demikian, akan ada tambahan tekanan jual di pasar. Belum lagi adanya kebutuhan pembiayaan pemerintah untuk menutupi defisit anggaran yang mengharuskan adanya emisi baru SBN dalam jumlah besar.

Jadi, akan terjadi banjir pasokan SBN di pasar di tengah lemahnya permintaan. Ini berpotensi menurunkan prospek harga SBN tahun depan. Ditambah lagi dengan kenaikan inflasi, tekanan pun akan lebih besar di instrumen ini.

Hanya saja, mengingat surat utang adalah instrumen strategis negara, tentu kemungkinan akan ada intervensi pemerintah untuk memastikan gejolaknya tidak begitu besar. Hal yang sama kemungkinan akan dilakukan juga oleh pemerintah Amerika Serikat terhadap US Treasury.

Jika upaya pemerintah Indonesia untuk menekan defisit fiskal kembali ke level 3% berhasil dilakukan, tentu itu berarti ada peningkatan pada pungutan pajak dan pengurangan emisi surat utang. Jika benar, mungkin tekanan di pasar SBN akan lebih rendah.

Nah, mengingat saham dan obligasi atau surat utang adalah aset dasar untuk instrumen reksa dana, kinerja reksa dana tahun depan juga akan cenderung sejalan dengan dinamika di instrumen dasar atau underlying-nya.

Reksa dana saham kemungkinan akan berkinerja lebih baik ketimbang reksa dana pendapatan tetap yang berbasis surat utang. Sementara itu, reksa dana campuran akan relatif lebih moderat, sedangkan reksa dana pasar uang juga akan terbatas seiring dengan masih rendahnya suku bunga acuan BI 7DRR dan deposito bank.

Bank kemungkinan tidak akan segera menaikkan bunga deposito mereka yang saat ini sudah sangat rendah, sebab bank sedang kelebihan likuiditas sehingga tidak terdesak untuk kembali memupuk DPK melalui promosi suku bunga deposito yang tinggi.

Meskipun demikian, prospek keuntungan dari masing-masing instrumen investasi tahun depan akan bersifat relatif tergantung pada horizon investasi yang dipilih investor. Makin panjang durasi investasi yang dilakukan, makin minim pengaruh semua sentimen tersebut.

Di samping itu, kendati potensi keuntungan masing-masing instrumen bisa digambarkan secara umum, pada kenyataannya tiap kelompok instrumen berisi jenis-jenis instrumen yang beragam dengan prospek kinerja yang berbeda pula.

Potensi kenaikan di pasar saham tahun depan tidak berarti semua saham akan meningkat. Ada yang tetap turun, sebaliknya ada yang meningkat jauh lebih tinggi. Demikian pula di pasar obligasi dan pasar uang.