Mengapa Perdebatan Soal Gaji Tak Pernah Usai?

Date:

Saya tinggal di sebuah wilayah pinggiran Jakarta, tak ada yang luar biasa dari tempat tersebut selain judi, akses terhadap barang haram dan tentu saja pekerja komersial. Saya sempat berpikir, apakah ini satu-satunya wilayah paling tertinggal setelah Citayam?

Jika ada waktu senggang, saya coba mencari tahu asal-usul kota yang dengan pedenya mendirikan paguyuban dan melepaskan belenggu dari jeratan ormas. Ah sudahlah!

Andai, Indonesia hanya dua tempat, yaitu Parung dan Citayam. Saya pikir angka harapan hidup Citayam akan lebih tinggi, pembangunan akan lebih terpusat di daerah yang mayoritas memiliki trah Betawi dan hampir pasti masyarakatnya sejahtera.

Namun, sebagai orang asli Parung, tak elok jika mengolok-olok daerah sendiri. Ada satu hal yang saya pelajari dan terlalu keliru jika mendiskreditkannya. Mungkin ini terdengar utopis, tapi orang Parung tak peduli soal ‘Gaji’. 

Ya, segepok uang yang kamu tunggu tiap akhir bulan untuk bayar pay later atau beli croffle kekinian. Jika kita sering berdebat soal berapa nominal gaji yang ideal untuk hidup di Jakarta. Lalu, keluhan soal UMR Jogja yang dianggap terlalu kecil sebagai kota istimewa. Hingga, perbincangan di twitter soal besar-kecil bayaran seorang influencer.

Bagi kami, itu semua hanya perbincangan yang lebih buruk dari adu jotos. Bahkan, kalau Westerling masih hidup dan berinisiatif membangun jalan Banda Aceh sampai Bakauheni seperti Anyer-Panarukan, diskusi soal gaji tak akan pernah usai.

Sebenarnya, ketika berbicara masalah soal upah, orang kadang lupa meletakan kebutuhan dasar dan kebiasaan melamun. Bagi kebanyakan orang, mungkin menerima gaji setara UMR tidaklah cukup. Tetapi cukup, menurut saya, adalah ukuran yang abstrak. 

Belajar untuk menerima dan merasa bahagia atas gaji yang diterima, boleh jadi adalah perjuangan yang tak ada garis akhirnya. Meski beberapa riset menunjukan bahwa nominal gaji tertentu akan memberikan rasa bahagia, namun keinginan untuk lagi dan lagi akan tetap ada. Wajar, karena itu sifat alamiah. 

Persol Kelly, perusahaan yang bergerak dalam konsultan kepegawaian merilis sebuah panduan tentang besaran gaji individu berdasarkan jenis dan industrinya. Saya terguncang saat pertama kali membaca. Ada rasa kesal, iri dan rasa syukur ketika melihat laporan setebal 76 halaman tersebut.

Setelah bertahun-tahun selalu merasa tak punya cukup uang untuk hidup dan merantau. Saya mengerti mengapa orang-orang di Parung tak begitu peduli soal gaji. Keterbukaan dan berhenti membandingkan adalah kunci utamanya. 

Seorang teman kecil menceritakan bahwa kehidupan di Pasar Parung adalah wajah yang bisa kamu temui dimanapun bekerja. Walaupun segalanya berantakan, mulai dari lokasi pedagang, akses transportasi umum, kemacetan, hingga tindak kriminal. Tapi, tak ada yang ribut soal besaran upah. Bahkan kita bisa dengan mudah belajar soal competitive market lewat pedagang ayam yang bersebelahan.

Persepsi bahwa gaji Anda lebih rendah dari rekan sejawat, adalah hal yang harus dibuang jauh-jauh. Sebab, kita tak akan pernah merasa puas jika terus membandingkan. Bayangkan saja perang dingin fans Ayu Ting-Ting dan Nagita Slavina yang tak kunjung usai. Alih-alih memperoleh popularitas, drama tersebut justru menimbulkan banyak celah tentang kepribadian sang aktris.

Pada kesempatan lain, jika Anda ingin merasa puas, cukup dan bahagia. Mari fokus dengan apa yang Anda punya, berhenti membandingkan dan mulai menyusun rencana keuangan. Manfaatkan instrumen keuangan agar upahmu likuid. Ingat, gaji memang tak cukup untuk memenuhi seluruh keinginan. Sebab, manusia punya sifat imajiner yang ingin terus memproduksi kepuasan. 

Sekali waktu, saya pernah dapat wejangan dari preman pasar. “Bung, hanya kepada keringat kita bisa menyembah dan berserah diri.”

 

------------------------------

Tulisan ini pertama kali tayang di nawala Big Alpha. Jika kamu ingin berlangganan nawala kami, silahkan daftar di sini

Semua orang berhak mendapatkan akses informasi keuangan. Kami bertujuan untuk terus menyampaikan informasi tanpa adanya potensi konflik kepentingan. Menganalisa sebuah isu agar mudah dipahami dan mengapa hal tersebut penting. Kontribusi dari kamu memastikan kami untuk tetap independen serta terus memproduksi konten secara inklusif. Jika kamu suka dengan tulisan ini, kamu bisa traktir kami satu gelas kopi yang biasa kamu beli.

Tags: