Mengenal Paris Agreement, Keterlibatan Indonesia dalam Menekan Emisi Karbon

Date:

Perjanjian Paris atau yang lebih sering disebut sebagai Paris Agreement kembali dijadikan objek diskusi belakangan ini. Alasannya, poin-poin dalam Paris Agreement menjadi salah satu latar belakang penerapan pajak karbon di Indonesia. 

Penerapan pajak karbon sendiri masuk dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang kini oleh pemerintah dan DPR. Kebijakan ini berupa pungutan pajak, lebih tepatnya cukai, terhadap produk-produk energi fosil. 

Lantas apa itu Paris Agreement? Sejauh mana keterlibatan Indonesia di dalam Paris Agreement? Big Alpha merangkumnya untuk kamu. 

 

1. Apa itu Paris Agreement?

Paris Agreement adalah perjanjian yang termuat dalam Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim PBB atau United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Perjanjian ini fokus terhadap mitigasi emisi gas rumah kaca, adaptasi, dan keuangan. Tujuan dari perjanjian ini adalah menekan laju pemanasan global alias global warming yang disebabkan oleh perubahan iklim alias climate change. 

Ada 195 negara yang ikut menegosiasikan Paris Agreement pada Konferensi Perubahan Iklim ke-21 PBB di Paris pada 2015 lalu. Setelah negosiasi yang cukup panjang, Paris Agreement akhirnya resmi disepakati pada peringatan Hari Bumi, 22 April 2016 lalu di New York, Amerika Serikat. 

Indonesia, dikutip dari dokumen yang dirilis Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, menjadi salah satu yang menandatangani perjanjian yang efektif berlaku sejak Januari 2020 itu. Indonesia menyampaikan komitmennya untuk meratifikasi gas rumah kaca sebesar 1,49%.

2. Peran kunci Paris Agreement

Dikutip dari dokumen yang sama, dijelaskan bahwa Paris Agreement merupakan kesepakatan global untuk menghadapi perubahan iklim. Komitmen negara-negara dinyatakan melalui Nationally Determined Contribution (NDC) untuk periode 2020-2030, ditambah aksi pra-2020. 

Perjanjian Paris didukung 195 negara, berbeda dengan periode pra-2015, yang ditandai absennya negara-negara kunci seperti AS dan Australia.

Perjanjian Paris hanya berlaku apabila diratifikasi oleh setidaknya 55 negara yang menyumbangkan setidaknya 55% emisi gas rumah kaca. Sebagai informasi, negara-negara dengan tingkat emisi tinggi seperti AS, Cina, UE, Rusia, Jepang, dan India juga menandatangani Paris Agreement.

3. Indonesia dan Paris Agreement

Dalam pidato yang sempat disampaikan Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar, disebutkan bahwa komitmen ratifikasi Indonesia terhadap emisi gas rumah kaca sudah sesuai dengan UUD 1945. Negara, ujarnya, perlu menyediakan lingkungan yang baik bagi warga negara.

Indonesia sendiri memahami bahwa kehutanan dan pemanfaatan lahan adalah sektor yang paling signifikan dalam pengendalian perubahan iklim, terutama karena kawasan hutan yang luasnya mencapai 65% dari luas wilayah negara Indonesia, yakni seluas 187 juta km2.

4. Langkah Indonesia merespons Paris Agreement

Sejumlah kebijakan sudah ditelurkan pemerintah Indonesia sebagai respons atas Paris Agreement. Di antaranya, pembentukan Badan Restorasi Gambut pada Januari 2016. Pendirian BRG sekaligus menjawab kebakaran lahan dan hutan yang masif pada 2015. 

Indonesia juga melanjutkan kebijakan moratorium perizinan pada hutan primer dan lahan gambut. Presiden Jokowi juga melakukan moratorium perizinan sawit dan tambang.

Yang terbaru, pembahasan mengenai pajak karbon yang masih dilakukan bersama DPR. Kebijakan pajak karbon memang menuai pro dan kontra karena imbasnya terhadap perekonomian diyakini cukup tinggi. Kenaikan harga bahan bakar fosil diprediksi bakal menaikkan harga barang.  

5. Tujuan Paris Agreement

Dikutip dari Otoritas Jasa Keuangan mengenai keuangan yang berkelanjutan, tujuan Paris Agreement adalah sebagai berikut:

 

  • Menahan laju peningkatan temperatur global hingga di bawah 2 derajat celcius dari angka sebelum masa Revolusi Industri, dan mencapai upaya dalam membatasi perubahan temperatur hingga setidaknya 1.5 derajat Celcius, karena memahami bahwa pembatasan ini akan secara signifikan mengurangi risiko dan dampak dari perubahan iklim.
  • Meningkatkan kemampuan untuk beradaptasi terhadap dampak dari perubahan iklim, meningkatkan ketahanan iklim, dan melaksanakan pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca tanpa mengancam produksi pangan.
  • Membuat aliran finansial yang konsisten demi tercapainya pembangunan yang bersifat rendah emisi gas rumah kaca dan tahan terhadap perubahan iklim.