Mengenal Short Selling Dalam Investasi Saham

Date:

[Waktu baca: 4 menit]

Menjelang akhir Januari 2021, istilah short selling banyak dibahas oleh para investor/trader saham di Indonesia dan juga di luar Indonesia, khususnya Amerika Serikat karena adanya "perang" seru antara investor ritel dan investor besar dalam saham GameStop (GME) di Bursa AS.

Short selling sebenarnya adalah transaksi yang legal dan diatur oleh sejumlah peraturan. Namun, otoritas bursa melarang transaksi ini dalam situasi tertentu, seperti situasi saat pasar saham sedang bergejolak akibat pandemi virus corona sejak kuartal I/2020. 

Apa itu short selling? Apa risikonya? Mari kita ulas dalam artikel ini.

Short Selling

Dalam bahasa regulasi, transaksi short selling adalah transaksi penjualan efek dimana efek yang dimaksud tidak dimiliki oleh penjual pada saat transaksi dilaksanakan. Regulasi yang dimaksud antara lain regulasi yang pernah dikeluarkan oleh Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (kini bernama Otoritas Jasa Keuangan) pada 2008.

Dalam bahasa sederhana, short selling adalah transaksi penjualan saham dimana investor tidak memiliki saham tersebut. Dalam prakteknya, investor meminjam saham dari pihak lain (perusahaan sekuritas, misalnya) dan biasanya berharap harga saham itu turun.

Contoh sederhananya begini. Pak Joko adalah seorang investor saham. Dia ingin melakukan short selling saham XXX. Dia memutuskan untuk meminjam saham XXX ke perusahaan sekuritas dimana harganya saat itu sebesar Rp15.000 per lembar. Setelah meminjam, saham XXX tersebut lalu dijual di pasar dengan harga Rp15.000.

Sesuai prediksinya, harga saham XXX kemudian turun menjadi Rp13.000 per lembar. Pak Joko yang memiliki uang hasil penjualan saham pinjaman sebesar Rp15.000 itu kemudian membeli saham XXX itu di harga Rp13.000 per lembar.

Baca juga: Mengenal Margin Trading Saham di BEI

Karena Pak Joko awalnya meminjam saham kepada perusahaan sekuritas, saham yang dibelinya tersebut kemudian harus dikembalikan kepada pemberi pinjaman. Dari mana keuntungan yang diperoleh Pak Joko? Dari selisih antara Rp15.000 dan Rp13.000 yaitu Rp2.000.

Bagaimana jika harganya bukan turun tapi malah naik, misalnya, menjadi Rp16.000? Ini adalah salah satu risiko yang dihadapi oleh short sellers. Dalam kondisi ini, short sellers harus merogoh kocek lagi untuk membeli saham tersebut. 

Tidak mengherankan jika short seller seperti Pak Joko menginginkan harga saham tersebut cenderung turun, bukannya naik. Istilah short selling sering diatrikan dengan frasa "jual kosong".

Sebagai gambaran, tidak semua saham dapat ditransaksikan dengan short selling. Hanya saham-saham tertentu yang ditetapkan oleh otoritas bursa yang dapat ditransaksikan secara short selling. 

Di samping itu, tidak semua investor saham dapat melakukan short selling ini. Regulator menetapkan setidaknya tiga syarat (1) punya rekening efek reguler supaya riwayat transaksi dapat diketahui (2) Punya rekening efek khusus short selling (3) sudah setor jaminan awal dengan nilai minimal Rp200 juta.

Dalam situasi pasar saham yang terguncang seperti pada kuartal I/2020 hingga akhir 2020, BEI melarang tindakan short selling tersebut. Keputusan BEI itu dapat dipahami karena short selling berpotensi menekan harga saham kian dalam. Sampai awal 2021, keputusan itu belum dicabut. 

Sebelum 2020, BEI juga pernah melarang short selling pada 2008 dan 2015. Salah satu kondisi dimana BEI melarang short selling adalah ketika IHSG turun drastis dalam kurun waktu yang relatif singkat. Short selling seperti ini tidak disarankan untuk para investor pemula.