Menyikapi Pergerakan Harga Saham Farmasi

Date:

[Waktu baca: 8 menit] 

Emiten farmasi menjadi kelompok emiten dengan kinerja saham yang luar biasa selama periode pandemi. Di saat pasar secara umum masih terkoreksi, beberapa saham di kelompok ini justru meningkat pesat harganya.

Beberapa emiten mencatatkan kenaikan harga hingga puluhan persen hanya dalam kurun waktu satu bulan. Dalam 6 bulan terakhir, beberapa saham sudah naik harganya lebih  dari 100%. Bahkan, seluruh emiten di sektor ini sudah bergerak di zona positif dalam 6 bulan terakhir.

Jika dibandingkan dengan posisi akhir tahun lalu, hanya satu emiten farmasi yang masih mencatatkan return negatif, sedangkan 10 emiten lainnya di sektor ini sudah mencatatkan return positif, padahal IHSG masih terkoreksi 5,64% year to date (ytd).

Berikut ini kinerja 11 saham emiten farmasi sepanjang tahun ini hingga Selasa (8 Desember 2020):

 

Dalam sepekan terakhir, saham-saham emiten farmasi bergerak dengan sangat agresif, terutama setelah kabar vaksin Covid-19 telah masuk ke Indonesia. Namun, seorang investor di pasar modal perlu bersikap hati-hati dalam menghadapi saham-saham dengan kinerja yang tak wajar seperti ini.

Baca Juga: Dollar, Bitcoin dan IHSG: Outlook 2021

Berikut ini beberapa faktor yang harus diperhatikan sebelum kamu memutuskan untuk masuk ke saham farmasi saat ini.

Waspadai Euforia Pasar

Mudah untuk menebak penyebab kenaikan harga saham emiten farmasi saat ini, yakni tidak lain karena kabar baik kehadiran vaksin Covid-19. Selain sentimen itu, tidak banyak sentimen pendukung lain secara sektoral yang menjadi alasan kenaikan harganya.

Sentimen-sentimen makro lain yang mungkin bisa dikaitkan juga sebagai sentimen positif antara lain data cadangan devisa Indonesia yang masih stabil di level US$133,6 miliar per November 2020, atau inflasi yang mulai meningkat ke level 1,59% per November 2020 yang menandakan permintaan mulai meningkat.

Kabar kehadiran vaksin ini sudah diantisipasi sejak lama, sehingga saham emiten farmasi pun terus meningkat sejak beberapa bulan terakhir. Kini, ketika vaksin tersebut benar-benar tiba di Indonesia, pasar menjadi benar-benar bersemangat. Investor dan spekulan pun berbondong-bondong menyerbu saham farmasi.

Meskipun tidak semua emiten farmasi ini terkonfirmasi akan menjadi distributor vaksin, tetapi sentimen positif yang terjadi di industri ini efeknya cenderung merata ke emiten-emiten lainnya. Sementara itu, saham emiten farmasi dari keluarga BUMN mencatatkan lonjakan paling harga paling tinggi karena terkait langsung dengan distribusi awal vaksin ini.

Namun, yang namanya euforia tentu memiliki batas akhir. Cepat atau lambat, euforia itu akan mereda. Setelahnya, pasar cenderung bersikap lebih wajar terhadap emiten-emiten yang semula sangat diburu.

Salah satu langkah yang dapat dilakukan untuk menilai kewajaran harga saham adalah dengan mengamati valuasinya. Sebagai contoh, saham PT Indofarma Tbk. (INAF) menjadi salah satu saham farmasi dengan kenaikan harga tertinggi tahun ini.

Namun, perseroan masih menderita kerugian Rp18,88 miliar per September 2020. Emiten dengan kode saham INAF ini sudah menderita kerugian pada 2016-2018.

Laba Rp7,96 miliar pada 2019 belum cukup untuk menebus kerugian 3 tahun tersebut dan kini INAF kembali rugi. Apakah ada jaminan kehadiran vaksin akan memperbaiki kinerja INAF di masa mendatang? Belum tentu.

Baca Juga: Kenapa Saham ICBP dan INDF Terkapar?

Perhatikan Efek Sentimen Terhadap Kinerja

Vaksin buatan Sinovac sebanyak 1,2 juta unit tiba di Indonesia awal pekan ini. Namun, sebelum vaksin tersebut benar-benar mulai didistribusikan, vaksin tersebut masih harus melewati uji klinis oleh holding BUMN farmasi, PT Bio Farma (Persero).

Importasi vaksin pun sejauh ini masih dalam wewenang negara. Pemerintah belum mengizinkan importasi vaksin oleh pihak swasta pada masa awal distribusi. Tujuannya, untuk mengurangi kebingungan masyarakat nantinya.

Artinya, pengadaan vaksin masih akan sangat terkontrol sehingga tidak otomatis segera berdampak pada kenaikan kinerja emiten farmasi. Harga pasti dari vaksin pun sejauh ini belum ditentukan, sehingga sulit mengukur manfaatnya terhadap kinerja keuangan emiten farmasi distributornya.

Margin keuntungan dari penjualan vaksin pun kemungkinan tidak akan terlalu tebal. Apalagi, vaksin ditujukan untuk kepentingan nasional yang lebih besar dan diperuntukkan bagi semua kalangan masyarakat.

Bukan tidak mungkin, emiten farmasi, terutama yang pelat merah, justru dituntut untuk mendistribusikan vaksin secara pro-bono, atau diberikan secara cuma-cuma atau tanpa keuntungan sama sekali demi kebaikan publik. Keuntungannya mungkin akan lebih rendah lagi jika emiten farmasi hanya bertindak sebagai distributor, bukannya produsen.

Jika demikian, tentu sulit berharap kinerja keuangan emiten farmasi akan terdongkrak hanya karena vaksin. Meskipun demikian, sejauh ini hal tersebut masih berupa kemungkinan.

Jika vaksin terbukti efek dalam uji klinis, mendapatkan izin edar, dan bisa didistribusikan oleh emiten farmasi dengan margin keuntungan yang menarik, tentu akan baik bagi kinerja emiten farmasi.

Peluang Koreksi Harga Tajam Makin Terbuka

Peluang bagi kenaikan lanjutan saham emiten-emiten farmasi tentu masih terbuka, terutama jika uji klinis atas vaksin yang telah tiba terbukti efektif untuk menangkal Covid-19, serta diterbitkan izin edar.

Namun, mengingat kenaikan harga saham beberapa emiten farmasi sejauh ini sudah melampaui fundamentalnya, tampaknya akan sulit dihindari potensi koreksi harga. Cepat atau lambat, harga yang terlalu memanas akan mulai mendingin dan kembali ke level yang wajar sesuai fundamentalnya.

Selain itu, kenaikan harga yang tak wajar di pasar sering kali dipicu oleh ulah spekulan, Setelah harga naik tinggi, spekulan umumnya cenderung akan mulai merealisasikan keuntungannya (taking profit) dengan cara mulai menjual sahamnya.

Bila hal itu terjadi, investor yang terlanjur membeli saham emiten farmasi di harga tinggi akan kesulitan untuk menjual lagi sahamnya di level harga yang menguntungkan. Entah butuh waktu berapa lama lagi sebelum harga saham emiten yang bersangkutan bisa kembali ke level yang tinggi seperti semula.

Catatan Penutup

Membeli saham emiten apapun setelah harganya terlanjur melambung tinggi bukanlah keputusan yang bijak, sebab peluang bagi koreksi harga justru lebih besar ketimbang peluang kenaikan lanjutan. Apalagi, jika membeli hanya karena terdorong oleh euforia pasar.

Mungkin saja dalam waktu dekat saham emiten-emiten farmasi bisa kembali meningkat jika vaksin terbukti benar-benar efektif dan emiten farmasi bisa menikmati margin yang tinggi dari penjualan vaksin.

Namun, sebelum memutuskan masuk, kamu sebaiknya tetap lebih dahulu mengamati valuasi dari emiten yang bersangkutan dan tidak hanya tergoda oleh kemungkinan spekulatif kenaikan harganya.