Pandemi Belum Usai, tapi Bisnis Grup Djarum Sudah Pulih

Date:

Masih hangat dalam ingatan ketika Robert Budi Hartono mengirimkan surat kepada Presiden tentang keputusan menerapkan PSBB ulang September silam. Atas aksinya, Budi Hartono dan Grup Djarum menjadi buah bibir karena dianggap mementingkan nilai ekonomis dibanding kemanusiaan. 

Kala itu, berbagai sektor bisnis memang tengah terpukul dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sedang merah-merahnya. Dan, situasi itu turut mengikis kekayaan salah satu bos Grup Djarum tersebut.

Sempat menyentuh US$18 miliar di awal tahun, data Bloomberg Billionaire Index menunjukkan nilai kekayaan Robert ambles jadi US$9,6 di bulan Maret.  Nilai tersebut sempat melesat lagi jadi US$14,8 miliar di bulan Agustus, tapi saat pemerintah kembali menarik rem PSBB harta Robert mlempem lagi jadi US$12 miliar pada paruh kedua September.

Menariknya, pelan tapi pasti tekanan yang dialami Robert semakin lemah. Seiring berjalannya waktu, data Bloomberg Billionaires Index menunjukkan dengan jelas betapa bisnis-bisnis Robert masih perkasa melawan pandemi. 

Per akhir pekan kemarin, total harta Robert telah membaik ke level US$15,3 miliar dan harta Michael menyentuh US$14,3 miliar. Bila digabung, nilai kekayaan kedua bos besar kini sudah setara Rp433,55 triliun dengan asumsi kurs Rp14.500 per US$.

Bangkitnya kekayaan dua sosok generasi kedua Grup Djarum tersebut sebenarnya merupakan buah dari pohon yang mereka tanam. Pohon itu adalah anak-anak mereka sendiri, yang sejauh ini mampu mempertahankan reputasi kinerja bisnis-bisnis peninggalan bapaknya

Solidnya kinerja bisnis-bisnis itulah yang kemudian membuat harga saham dan valuasi bisnis Grup Djarum cenderung pulih lebih cepat dibandingkan kompetitor mereka.

Djarum terjun dalam bisnis yang terdiversifikasi ke hampir semua lini. Mulai dari rokok, elektronik, makanan dan minuman, perkebunan termasuk sawit, pulp dan kertas, investasi digital, telekomunikasi, jaringan ATM, hingga perbankan.

 

Pulihnya Bisnis Terbesar

Bisnis yang terakhir disebut digeluti lewat PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), yang juga merupakan lokasi aset terbesar Grup Djarum saat ini. Bank sekaligus emiten dengan kapitalisasi pasar terbesar di Bursa Efek Indonesia (BEI) tersebut saat ini dipimpin oleh Jahja Setiaatmadja. Namun, dari lingkaran keluarga, Robert dan Michael memprospek Armand Wahyudi Hartono sebagai calon penerus.

Armand merupakan putra bungsu Robert Hartono. Dia kini sudah terjun langsung mewakili bapaknya di BCA dan menjabat sebagai Wakil Direktur. Di bawah pengawasannya, bisnis BBCA bertumbuh lumayan pesat.

Tahun lalu, di tengah pandemi, BBCA memang mengalami penurunan kinerja bottom line 5,14 persen. Laba berkisar Rp27,13 persen. Namun, penurunan ini cenderung lebih landai bila dibandingkan kinerja rata-rata industri perbankan di tahun yang sama. Rapor penurunan BBCA juga lebih landai bila dibandingkan bank-bank big caps BUMN seperti Mandiri (turun 38 pesuren), BNI (turun 63,9 persen) ataupun BRI (turun 45,65 persen).

Tahun ini, kinerja BCA sukses menghadapi pandemi dan besar kemungkinan lebih tinggi lagi. Berdasarkan laporan bulanan, hingga akhir Mei 2021, bank dengan total nilai aset Rp1.100 triliun lebih itu telah membukukan pendapatan bunga bersih Rp22,1 triliun dan membukukan rapor laba tahun berjalan sebesar Rp10,62 triliun.

Pendapatan dan laba BCA hingga akhir Mei telah tumbuh 3,37 persen dan 10,95 persen bila dibandingkan rapor 2020, serta 16,31 persen dan 7,05 persen lebih baik bila dibandingkan catatan periode yang sama sebelum pandemi (Januari-Mei 2019).

 

Portofolio Tahan Banting

Armand tidak sukses sendiran. Dua kakaknya alias anak-anak Robert yang lain yakni Victor Rachmat Hartono dan Martin Basuki Hartono juga sukses mengembangkan bisnis-bisnis kelolaannya.

Victor yang merupakan putra sulung Robert kini memegang core bisnis sekaligus bisnis tertua Grup Djarum yakni PT Djarum. Perusahaan ini bukan cuma bergerak di sektor tembakau, tapi juga memiliki saham sejumlah entitas lain yang dipegang adik-adik dan saudara sepupu Victor.

Konon, Victor juga telah memprospek salah satu putranya sekaligus calon pewaris generasi keempat Grup Djarum yakni Benny Setiawan Santoso. Menurut berbagai sumber, Benny saat ini telah menjadi salah satu orang penting di dalam bisnis milik konglomerasi lain yakni Grup Salim.

Selain memegang kemudi PT Djarum, Victor juga mengemban posisi kunci di Djarum Foundation, yayasan yang dikelola oleh Grup Djarum. Selain memberikan program beasiswa dan kegiatan sosial, di dalam yayasan ini bersemayam pula akademi bulu tangkis PB Djarum.

Adapun anak tengah Robert Hartono alias adik Victor, Martin Basuki Hartono, saat ini mengelola bisnis-bisnis digital Grup Djarum lewat GDP Venture.

Bila PT Djarum dan PB Djarum adalah bisnis tertua keluarga dan BCA adalah bisnis masa kininya, GDP Venture adalah bisnis yang digadang-gadang bakal jadi masa depan Grup Djarum.

Saat ini GDP telah berinvestasi di berbagai startup dan perusahaan digital yang tersebar ke berbagai segmen. Dalam bisnis media misal, GDP Venture adalah investor Narasi TV, Kumparan, Lokadata, Grup IDN, Daily Social, Kaskus, dan masih banyak lagi.

GDP juga berinvestasi di perusahaan-perusahaan perdagangan digital alias ecommerce seperti Blibli, Tiket.com (unicorn), Gojek (decacorn) hingga Halodoc.

Sedangkan di bidang solusi, beberapa contoh portofolio GDP adalah Cermati.com, Qlue, Ublikan dan masih banyak lagi.

Total, menurut data Pitchbook, GDP Venture telah melakukan 65 kali investasi dan memiliki portofolio 51 startup. 

 

Si Kecil yang Jadi Besar

Di luar bisnis perbankan, tembakau dan yayasannya berikut investasi digital, Djarum juga punya perusahaan elektronik PT Hartono Istana Teknologi alias Polytron, perusahaan makanan PT Savoria Kreasi Rasa alias Yuzu dan PT Sumber Kopi Prima atau Caffeino dan perusahaan perkebunan sawit PT Hartono Plantation Indonesia (HPI).

Ada pula pabrikan pulp dan kertas PT Fajar Surya Swadaya dan PT Bukit Muria Jaya; perusahaan properti dan perhotelan seperti Grand Indonesia, Mangga Dua, hingga Hotel Management; perusahaan jaringan ATM PT Daya Network Lestari; dan emiten menara raksasa PT Sarana Menara Nusantara Tbk. (TOWR).

Belum dapat dipastikan bagaimana peran generasi ketiga Djarum di bisnis-bisnis tersebut. Namun, besar kemungkinan di bisnis-bisnis terakhir inilah garis keturunan Michael Hartono memegang peran kunci.

Tidak seperti Robert yang lebih terbuka, Michael—sosok yang dikenal sederhana dan punya hobi olahraga bridge itu—adalah sosok tertutup dan jarang mengumbar garis keturunannya.

Namun, dari beberapa sumber dokumen perusahaan, ada beberapa sosok pemegang jabatan kunci di entitas Grup Djarum dan memiliki nama marga Hatono. Nama-nama inilah yang menggantikan peran Michael dalam beberapa tahun terakhir, termasuk di tengah pandemi.

Roberto Setiabudi Hartono salah satunya. Putra Michael yang satu ini terlibat dalam bisnis Polytron. Belakangan, selain memproduksi barang elektronik, Polytron juga mengelola sebuah saluran televisi berbayar Mola TV yang kondang karena kepemilikan hak siar segudang kompetisi olah raga kelas dunia.

Beberapa hak siar yang sukses digenggam Mola TV misalnya adalah Liga Inggris, Bundesliga hingga Piala Eropa. Mereka juga memiliki hak siar beberapa tayangan yang terafiliasi dengan bisnis Djarum Foundation seperti kompetisi bulu tangkis hingga program pembinaan sepak bola Garuda Select.

Mola TV merupakan bisnis Grup Djarum dengan pertumbuhan paling pesat di masa pandemi. Tahun lalu, hanya dalam kurun sembilan bulan, pelanggan layanan ini mengalami pertumbuhan dari 300.000 pelanggan menjadi 1 juta pelanggan alias naik 200 persen lebih. Dengan harga rata-rata berlangganan Rp65.000 per bulan, pendapatan kotor Mola TV dari kantong pelanggan diperkirakan mencapai Rp65 miliar per bulan, belum termasuk dari sumber-sumber pemasukan lain. 

Di bisnis properti, salah satu sosok klan Hartono yang memegang peran kunci dan diduga kuat merupakan anak Michael yang lain adalah Tessa Natalia Hartono. Tessa adalah pemilik salah satu bisnis pusat perbelanjaan yang juga Grup Djarum, PT Grand Indonesia. Nama Tessa bocor ke publik setelah disebut-sebut dalam ucapan terima kasih sejumlah atlet bulu tangkis seperti Jonatan Christie dan Anthony Ginting usai mentraktir belanja di gerai-gerai Grand Indonesia. 

Nama yang ditengarai sebagai garis keturunan Michael lain adalah Stefanus Wijaya Hartono, Vanessa Ratnasari Hartono, Alicia Hartono, Jacqueline Hartono dan Marco Krisna Hartono. Nama-nama ini sebagian di antaranya masih menempuh studi di universitas mancanegara, namun sudah mulai dilibatkan dalam perusahaan.

Hal tersebut tampak dari keberadaan mereka dalam dokumen laporan keuangan PT Profesional Telekomunikasi Indonesia (Protelindo), anak usaha emiten menara Grup Djarum PT Sarana Menara Nusantara Tbk. (TOWR). 

Seperti halnya Mola TV, TOWR merupakan salah satu aset Grup Djarum yang nilainya meningkat pesat selama pandemi.  Tahun ini saja contohnya, hanya dalam kurun 6 bulan kapitalisasi pasar emiten ini meningkat 40,21 persen menuju Rp69,38 triliun.

Lonjakan valuasi perusahaan terjadi seiring kinerja cemerlangnya. Sepanjang 2020, TOWR melaporkan laba mereka mencapai Rp2,83 triliun alias tumbuh 21,09 persen dibanding rapor tahun sebelumnya. Dari segi pendapatan, nominal Rp7,44 triliun yang dilaporkan perusahaan juga naik 15,35 persen dari catatan 2019.

Pertumbuhan pesat TOWR terjadi beriringan dengan peningkatan aset perusahaan.

Terhitung hingga akhir 2020, TOWR tercatat sudah memiliki 21.373 menara telekomunikasi dengan jumlah tenant alias penyewa mencapai 38.615. Jumlah ini sudah meningkat jauh dibandingkan akhir 2019, ketika perusahaan memiliki 19.319 menara dan 33.346 tenant.

Saat awal-awal berdiri hingga akhir 2007, perusahaan bahkan baru punya 781 menara dan 984 tenant.

Pertumbuhan yang dialami TOWR pun tampaknya masih akan berlanjut. Apalagi, belum lama ini kencang berhembus rumor yang menyebut bahwa perusahaan dalam proses mengakuisisi emiten menara lain yakni PT Solusi Tunas Pratama Tbk. (SUPR). 

Dalam sebuah riset yang diterbitkan Fitch Ratings pada Maret lalu, Fitch Ratings menyebut anak usaha terkuat TOWR yakni Protelindo sebagai kandidat terkuat emiten telekomunikasi dengan ekspansi terbesar tahun ini, berjejer dengan emiten milik Saratoga PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG).

“Kami memperkirakan akan lebih banyak konsolidasi di industri menara Indonesia, dengan dua pemain terbesar yakni TBI dan Protelindo sebagai pihak yang akan terus memonetisasi perusahaan kecil,” tulis Fitch. 

Pada akhirnya, proyeksi itu seolah mengafirmasi bahwa Grup Djarum, grup konglomerasi terkaya di Indonesia saat ini, masih bisa mencapai level kekayaan yang lebih tinggi lagi