PPN, Ketahui Aturannya yang Berlaku Saat Ini

Date:

Sebuah badan usaha juga diwajibkan untuk melakukan pembayaran Pajak Pertambahan Nilai atau PPN, di samping Pajak Penghasilan alias PPh. PPN punya dua jenis: PPN Masukan dan PPN Keluaran. 

PPN Masukan ialah PPN yang dibayar ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP) membeli, memperoleh, maupun membuat Barang/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP). PPN jenis ini dibebankan langsung pada pengusaha/badan yang masuk kriteria PKP. 

PPN Keluaran merupakan PPN yang dipungut ketika PKP menjual BKP/JKP, dan dipungut oleh PKP dari pembeli atau konsumen.

Perlu dicatat, yang masuk kriteria PKP ialah pengusaha perorangan dan badan usaha di mana pendapatan bruto (omzet) bisnisnya dalam 1 tahun buku mencapai Rp 4,8 miliar. 

Bisa diasumsikan, jika kurang dari Rp 4,8 miliar, maka tidak masuk kiteria PKP. Aturan PKP ini sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan No.197/PMK.03/2013, dan masih berlaku hingga detik ini.

Objek PPN

Objek PPN ialah BKP/JKP yang dikenai pajak, dan berikut daftarnya:

1. Penyerahan BKP/JKP di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha. 
2. Impor BKP.
3. Pemanfaatan BKP tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
4. Pemanfaatan JKP dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
5. Ekspor BKP berwujud atau tidak berwujud dan ekspor JKP oleh PKP. 

Yang dimaksud dari poin satu hingga lima bisa dilihat di UU No. 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM juga di kluster perpajakan pada bab empat bagian ketujuh dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. 

Yang Bukan Objek PPN

Barang atau jasa yang tidak dikenai pajak diistilahkan dengan negative list, dan di bawah ini adalah daftar barang negative list:

1. Segala barang hasil pertambangan atau pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, kecuali barang hasil pertambangan batu bara. 
2. Barang kebutuhan pokok sehari-hari, seperti nasi dan sayur-sayuran.
3. Makanan atau minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, katering, atau jasa boga lainnya.
4. Uang, emas batangan, dan surat berharga. 

Sementara jasa negative list ialah jasa pelayanan kesehatan medis; jasa pelayanan sosial; jasa pengiriman surat dengan perangko; jasa keuangan; jasa asuransi; jasa keagamaan; jasa pendidikan; seluruh jenis jasa kesenian dan hiburan; seluruh jenis jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan; dan jasa angkutan umum dalam negeri baik di darat, air, dan udara. 

Jasa tenaga kerja, jasa perhotelan, jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum, jasa penyediaan tempat parkir, jasa telepon umum menggunakan uang logam, jasa pengiriman uang lewat wesel pos, dan jasa boga atau katering, semua ini juga masuk bagian jasa negative list.    

Perlu diingat, jika wacana barang kebutuhan pokok sehari-hari dan jasa pendidikan akan dikenakan PPN jadi diberlakukan, maka ia tidak lagi masuk negative list.

Tarif PPN

Seperti yang tertulis dalam UU No. 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM dan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, tarif PPN di Indonesia menggunakan tarif tunggal sebesar:

1. 10% untuk penyerahan dalam negeri.
2. 0% untuk ekspor BKP berwujud maupun tidak berwujud, dan ekspor JKP.
3. Tarif pajak tersebut dapat berubah minimal sebesar 5% dan maksimal sebesar 15% sebagaimana diatur oleh pemerintah.

Maksud dari poin satu hingga tiga bisa dilihat lebih jelas di UU No. 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM atau di UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada kluster perpajakan.

Tapi demikian, apabila keinginan pemerintah menaikkan tarif PPN multitarif jadi dijalankan, maka tarif pajak untuk setiap barang dan jasa baik ekspor maupun impornya akan dibeda-bedakan.

E-Faktur

Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Masa PPN ialah formulir laporan pembayaran atau pelunasan pajak yang wajib dibuat tiap akhir bulannya oleh PKP. Sejak 1 Juli 2016, pemerintah sudah menyediakan pembuatan SPT Masa PPN dalam format e-Faktur atau faktur pajak elektronik.

Jatuh tempo pelaporan SPT Masa PPN adalah pada hari terakhir (tanggal 30 atau 31) bulan berikutnya setelah akhir masa pajak yang bersangkutan. Gagal melaporkan akan berakibat denda sebesar Rp 500.000,00, seperti mana termaktub dalam Pasal 7 ayat 1 pada UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.