Prospek IPO Unicorn Indonesia, Seberapa Besar?

Date:

[Waktu baca: 5 menit]

Hembusan angin yang membawa isu IPO unicorn asal Indonesia kembali bertiup kencang pekan ini. Salah satunya diperkuat oleh pernyataan Komisaris Bursa Efek Indonesia (BEI) Pandu Patria Sjahrir.

Keponakan Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan yang juga berpredikat Komisaris Sea Group tersebut optimistis akan ada unicorn pelopor IPO tahun ini. Dia menyebut “sudah ada beberapa perusahaan yang intens berkomunikasi dengan BEI,” meski menolak menyebut secara spesifik siapa saja unicorn tersebut.

Pandu menambahkan bahwa tahun 2021 adalah momen yang tepat bagi unicorn Indonesia untuk IPO.

“Kalau kita lihat, belakangan saham bank-bank kecil saja melesat dengan mudah karena kabar kerja sama atau akuisisi e-commerce dan unicorn. Bisa kita bayangkan akan betapa tinggi kenaikan harga sahamnya kalau unicorn-unicorn itu sendiri yang ada di bursa,” tuturnya dalam salah satu webinar Rabu (10/3/2021).

Unicorn-unicorn Indonesia saat ini memang punya pertumbuhan menggiurkan. Setidaknya secara valuasi.

GoJek misalnya. Platform transportasi daring besutan PT Aplikasi Karya Anak Bangsa ini tercatat memiliki valuasi US$10,5 miliar atau setara Rp146,1 triliun bila mengacu data terkini crunchbase. Mereka lantas dibayangi PT Tokopedia. Perusahaan yang bergerak layanan ecommerce Tokopedia tersebut kini punya valuasi US$7,5 miliar atau setara Rp104,4 triliun.

Indonesia juga punya perusahaan unicorn kandidat IPO BEI lain macam PT Trinusa Travelindo alias Traveloka yang bervaluasi US$3 miliar (setara Rp44,2 triliun) hingga PT Bukalapak.com yang punya valuasi US$2,5 miliar (setara Rp36,8 triliun).

Belum lagi dua nama kuda hitam yang juga potensial kendati jarang disebut-sebut dalam rumor IPO, yakni PT Visionet Internasional yang menggawangi OVO (valuasi US$2,9 miliar) serta PT Ritel Bersama Nasional pemilik ecommerce JD.ID yang punya valuasi US$1 miliar.

Bila dikalkulasi total valuasi keenam unicorn tersebut hampir menyentuh Rp370 triliun. Ini jelas bukan nominal main-main.

Sebagai informasi, mengacu data akhir pekan lalu, kapitalisasi pasar 720 emiten yang terdaftar di BEI per 30 Desember 2020 berada pada angka 7.352 triliun. Artinya, valuasi keenam unicorn tersebut—yang berkisar Rp370 triliun—setara dengan 5 persen valuasi seluruh emiten di BEI. 

Itu baru berpatokan pada valuasi.

Perlu diketahui bahwa secara konsep valuasi tidak bisa sepenuhnya mencerminkan daya tarik perusahaan ketika kelak melantai di bursa. Sebab, ada perbedaan landasan penghitungan antara indikator tersebut dengan kapitalisasi pasar, yang biasa dipakai untuk mengukur perkembangan suatu perusahaan.

Valuasi lazimnya dihitung berdasarkan seberapa besar pendanaan yang telah disuntikkan investor ke startup atau perusahaan tertutup sejenis. Artinya, angka ini murni mencerminkan modal material yang dimiliki suatu perusahaan.

Sementara itu, kapitalisasi pasar dihitung berdasarkan jumlah saham terbit dikalikan harga saham saat penghitungan dilakukan. Harga saham, di saat yang sama, sifatnya lebih akomodatif. Naik turunnya tidak melulu dipicu oleh hal-hal yang sifatnya materialistik. Faktor-faktor seperti prospek di masa depan, aksi korporasi, bahkan hal-hal politis bisa mempengaruhi pergerakannya secara langsung.

Sebagai contoh, perusahaan yang secara keuangan memiliki aset Rp30 triliun bisa saja berkapitalisasi tak sampai Rp1 triliun jika harga sahamnya anjlok sedemikian rupa sehingga hasil pengaliannya dengan jumlah saham beredar menghasilkan angka di bawah 1 triliun. Sebaliknya, perusahaan dengan aset tak seberapa sangat mungkin masuk jajaran big caps ketika sahamnya digoreng hingga angka naik puluhan kali lipat.

Sederhananya, kapitalisasi pasar menggambarkan penilaian umum masyarakat terhadap perusahaan. Sifatnya lebih subjektif, namun dasar-dasar pertimbangannya lebih luas.

Lantas, akan sejauh mana perusahaan-perusahaan bervaluasi tinggi—dalam hal ini adalah para unicorn—dihargai secara kapitalisasi pasar?

Salah satu cara untuk melihat gambaran kapitalisasi pasar perusahaan yang belum melantai di bursa adalah berpatokan pada para pendahulunya yang sudah lebih dulu melakukan IPO.

Di Indonesia, memang belum ada satupun unicorn yang berstatus perusahaan publik. Tapi di lingkup global, menemukan unicorn-unicorn yang telah terjun ke bursa bukan perkara sulit.

Contoh paling aktual adalah Airbnb. Melantai di Bursa AS pada 11 Desember 2020, berdasarkan harga penawaran perdananya valuasi perusahaan online travel agency (OTA) ini ditaksir punya valuasi US$47 miliar. Menariknya, ketika melantai di bursa dan penilaian diubah ke “kapitalisasi pasar,” terjadi lonjakan signifikan.

Dalam kurun sebulan misal, harga saham Airbnb membengkak dari US$68 jadi US$139,25. Ini secara otomatis membuat kapitalisasi pasar Airbnb ikut naik jadi US$102,5 miliar, setara dua kali lipat lebih valuasi perusahaan sewaktu IPO. Di pengujung bulan kedua, kapitalisasi perusahaan ini bahkan bengkak lagi sampai menyentuh hampir US$150.

Tren euforia kapitalisasi unicorn bukan cuma dialami Airbnb. Sepanjang tahun lalu, beberapa unicorn lain yang menggelar IPO seperti Snowflake, DoorDash bahkan Asana juga mengalami fenomena tidak beda jauh, sebagaimana terilustrasi di tabel berikut:
 

Pergerakan valuasi dan kapitalisasi pasar unicorn sejak IPO (dalam US$ miliar)

Sumber: berbagai sumber, diolah

Baca juga: Tokopedia dan Antisipasi Euforia Saham Startup

 Dari ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa dari valuasi IPOnya, rata-rata kapitalisasi pasar suatu unicorn lazimnya mampu terkerek 2-3 kali lipat dalam kurun 2-3 bulan sejak IPO.

Tren euforia pasar terhadap IPO diprediksi masih akan bertahan pada 2021. Maka, dengan asumsi serupa, bukan hal berlebihan jika setelah IPO GoJek, misalnya, bisa menembus kapitalisasi pasar Rp280 hingga Rp420 triliun hanya dalam kurun beberapa bulan.

Atau, dalam kasus Tokopedia dan Traveloka misal. Seandainya kedua perusahaan ini melantai di bursa, dalam kurun 2-3 bulan bukan mustahil kapitalisasi pasar mereka berlipat ganda dari valuasi saat ini.

Bila itu terealisasi, tentu bakal terjadi pergeseran posisi besar-besaran di BEI. Bukan mustahil bila Gojek atau Tokopedia bahkan bisa masuk deretan 5 besar big caps.

Saat ini mengejar dua emiten dengan kapitalisasi pasar terbesar di bursa, yakni Bank BCA (BBCA) dan BRI (BBRI) agaknya misi yang sukar. Namun bila mengacu hitungan kasar di atas, masih relatif mungkin bagi GoJek untuk menggasar TLKM, atau bagi Tokopedia untuk menggusur Bank Mandiri (BMRI).

Peringkat Kapitalisasi Pasar di BEI per Kamis (11/3)


Sumber: Trading View  

Potensi munculnya apresiasi kapitalisasi pasar besar-besaran juga sangat mungkin ikut terdorong oleh pengaruh penilaian masyarakat terahdap startup unicorn.

Di Indonesia, unicorn cenderung dianggap sebagai sesuatu yang prestisius lantaran jumlahnya yang langka. Jumlah perusahaan yang telah menyandang status tersebut di Indonesia bahkan baru 6 perusahaan.

Bandingkan, misalnya, dengan negara-negara seperti AS dan China.

Di AS, negara terdepan, jumlah unicorn mereka telah menyentuh angka 265 per 2020. Sementara unicorn di China diperkirakan ada 204 perusahaan per Januari 2020. 

Belum lagi rapor over-reaksi di BEI yang cenderung di atas rata-rata. Kebanyakan saham IPO di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir kerap mengalami lonjakan besar-besaran di awal.

Laporan CNBC per pertengahan 2020 kemarin bahkan sempat menyimpulkan bahwa dalam 2,5 tahun terakhir rata-rata kenaikan harga saham total 143 perusahaan pendatang baru paling muda di BEI mencapai 493 persen.

Artinya, bahkan dalam kurun 2,5 tahun setelah IPO, tren menunjukkan sangat kecil kemungkinan harga suatu saham baru mencapai level lebih rendah dari harga penawaran awalnya.

Sekali lagi, hitung-hitungan tersebut hanyalah gambaran tren terkini. Belum ada jaminan bila perusahaan-perusahaan unicorn bakal mendulang kesuksesan serupa.

Untuk itu, patut dinanti akan sejauh apa startup-startup raksasa seperti GoJek dan Tokopedia bakal berbicara seandainya berhasil menuntaskan misi IPO mereka.
 
 

Tags: