Prospek Neo Bank dan Rontoknya Saham Calon Bank Digital

Date:

[Waktu baca: 6 menit]

Saham bank-bank kecil yang selama ini kerap mengalami lonjakan harga sangat tinggi melampaui valuasi fundamentalnya kini mulai berbalik mendingin. Hal ini sekali lagi membuktikan tingginya spekulasi di pasar saham dan betapa berisikonya membeli saham yang harganya naik secara tak wajar.

Hingga awal bulan ini, saham-saham bank kecil menjadi incaran banyak pelaku pasar. Harganya pun naik secara fantastis hingga ratusan persen hanya sepanjang tahun ini saja, atau kurang dari 3 bulan. Kinerja mereka jauh berbeda dibandingkan kinerja IHSG yang cenderung sangat terbatas.

Kenaikan harga saham-saham ini sering kali dikaitkan dengan isu pengembangan bank digital atau neo bank yang akhir-akhir ini makin menghangat. Neo bank sendiri merupakan generasi baru perbankan yang beroperasi secara sepenuhnya digital, sehingga tidak membutuhkan kehadiran kantor cabang.

Sejauh ini, kalangan perbankan besar sebenarnya sudah serius merambah ke digital untuk meningkatkan kualitas layanan mereka. Namun, defisini neo bank lebih dari sekadar bank konvensional yang mengembangan layanan ke sistem digital.

Jika sama saja, BCA mungkin tidak akan mengakuisisi Bank Royal untuk menjadikannya Bank Digital BCA. Neo bank bakal memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) sebagai garda terdepan untuk menciptakan pengalaman pengguna yang lebih unggul dibandingkan dengan bank biasa.

Bank digital cenderung lebih fokus pada pengembangan infrastruktur teknologi informasi digitalnya dan berupaya menjangkau pengguna yang lebih luas yang selama ini sulit dijangkau oleh bank biasa. Di negara lain, neo bank sudah banyak bermunculan, sedangkan di Indonesia kini mulai berkembang.

Beberapa neo bank itu antara lain Aspire Bank dan You Trip di Singapura, lalu Kakao Bank di Korea Selatan. Australia memiliki Judo Bank dan Volt, sedangkan China memiliki dua neo bank, yaitu WeBank dan My Bank. Di Inggris ada Atom dan Monzo, di AS ada Juno dan Axos, serta di Jepang ada Jibun Bank.

Akhir-akhir ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga makin serius mengembangkan landasan hukum bagi pendirian dan pengoperasian neo bank ini di Indonesia, sebab selama ini memang belum ada regulasi yang cocok untuk jenis perbankan baru ini.

Nah, perkembangan yang serius ini pun beralih menjadi spekulasi bahwa neo bank akan banyak muncul di Indonesia. Bank-bank kecil yang selama ini memiliki keterbatasan dari sisi jaringan fisik digadang-gadang bakal beralih menjadi neo bank dan fokus pada layanan digital.

Lagi pula, akan lebih mudah untuk mengembangkan bank kecil untuk menjadi bank digital, sebab aset fisiknya belum terlalu banyak. Dengan demikian, modal dapat difokuskan pada pengembangan infrastruktur TI.

Hal ini juga yang menjadi landasan BCA mengambil alih Bank Royal, atau Akulaku yang mengambil alih Bank Yudha Bhakti untuk diubah jadi Bank Neo Commerce. Alasan yang sama juga yang menyebabkan Bank Artos diakuisisi oleh Jerry Ng dan Patrick Walujo untuk diubah menjadi Bank Jago, yang kini masuk dalam ekosistem Gojek.

Lantas, bagaimana dengan bank-bank kecil lain yang selama ini ikut terseret oleh sentimen neo bank ini? Beberapa isu yang beredar antara lain akan ada aksi akuisisi lanjutan terhadap bank-bank ini untuk menjadikan mereka bank digital.

Apalagi, kini OJK telah mewajibkan bank-bank untuk menaikkan modal inti mereka menjadi Rp3 triliun, paling lambat pada akhir 2022 nanti. Oleh karena itu, pasar merger dan akuisisi pun kini terbuka lebar di industri perbankan.

Ditambah adanya tren baru neo bank, spekulasi makin membesar bahwa banyak konglomerat, perusahaan besar, startup, hingga unicorn tengah mengincar bank-bank kecil ini untuk sedini mungkin masuk ke pasar neo bank. Hal ini menjadikan hampir semua saham bank kecil melonjak harganya.

Baca juga: Sampai 6.000%! Bank Digital dan Lonjakan Sahamnya

Mulai Memerah

Namun, akhir-akhir ini saham bank-bank kecil yang selama ini dikaitkan dengan transformasi neo bank ini justru mulai memerah. Karakter pergerakan harga saham-saham ini selama ini terlihat sangat khas bercorak saham gorengan.

Selama beberapa hari, bahkan beberapa pekan, saham-saham ini harganya naik luar biasa hingga menyentuh level tertinggi yang diizinkan dalam satu hari, atau terkena auto rejection atas (ARA). Namun, setelah harganya tinggi, pergerakannya berbalik jatuh hingga terkena auto rejection bawah (ARB).

Berikut ini data pergerakan harga saham sejumlah emiten bank kecil, atau bank dengan modal di bawah Rp5 triliun, yang dikaitkan dengan isu neo bank pada perdagangan Selasa, 23 Maret 2021:

Dari data tersebut, terlihat bahwa mayoritas saham-saham tersebut harganya turun hingga terkena ARB, atau mendekati -7% dalam sehari. Kondisi ini bukan baru terjadi pada hari kemarin, melainkan sudah berlangsung beberapa hari pada beberapa emiten.

Sementara itu, beberapa emiten lainnya masih fluktuatif, kadang turun hingga terkena ARB, kadang naik lagi. Kendati demikian, penurunan harganya belum sampai mengembalikan harga saham mereka seperti posisi akhir tahun lalu. Saham-saham ini masih tercatat naik ratusan persen secara year to date (ytd).

Apa Artinya Ini?

Kejatuhan harga saham-saham calon bank digital ini tampaknya semata-mata karena perkembangan aksi spekulasi di pasar. Mungkin para bandar saham menilai harga saham-saham ini sudah sesuai dengan target mereka, sehingga kini mulai melepasnya untuk merealisasikan keuntungan.

Hal tersebut bukan berarti kini prospek bank digital mulai diragukan. Kenaikan harga saham-saham tersebut selama ini memang tak wajar, sehingga maklum juga jika kini mengalami penurunan secara tak wajar juga. Valuasinya memang sudah terlalu tinggi.

Sebagai gambaran, kapitalisasi pasar saham PT Bank Jago Tbk. atau ARTO bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan saham PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. atau BBNI, yakni R[129,9 triliun berbanding Rp68,48 triliun. Padahal, aset ARTO hanya Rp2,18 triliun, sedangkan BBNI Rp68,48 triliun.

Selain itu, kinerja keuangan aktual mereka, yang seharusnya menjadi legitimasi bagi kenaikan harganya, selama ini tidak begitu mengesankan. ARTO beberapa tahun terakhir masih rugi. Kerugian masih berlanjut pada akhir 2020 senilai Rp189,57 miliar.

Kerugian juga masih dibukukan oleh PT Bank IBK Indonesia Tbk. (AGRS), sedangkan beberapa bank lain labanya relatif sangat kecil, kurang dari Rp20 miliar per tahun.

Sementara itu, bank digital atau neo bank sendiri prospeknya masih sangat menjanjikan. Karakter geografi Indonesia yang dicirikan oleh kepulauan akan menjadikan bank digital sarana yang efektif untuk menjangkau masyarakat hingga ke pelosok-pelosok, yang selama ini sulit dijangkau bank biasa.

Dalam Laporan Fintech and Digital Banking 2025 (Asia Pacific) IDC InfoBrief edisi kedua yang dilakukan oleh Backbase, jumlah masyarakat tanpa rekening bank di Indonesia akan berkurang hingga menjadi di bawah 20% pada 2025 nanti. Hal ini terjadi berkat penetrasi layanan digital di sistem perbankan.

Persaingan di bisnis perbankan digital juga akan makin tinggi di masa mendatang, sebab makin banyak pemain baru di industri ini yang bakal menantang posisi bank konvensional yang selama ini menjadi pemimpin pasar.

Pada 2019/2020, bank digital di Asia Pasifik mengalami pertumbuhan jumlah nasabah sebesar tiga kali lipat lebih besar dibandingkan dengan bank konvensional. Diperkirakan akan ada 100 kompetitor baru di industri bank digital ini yang bakal masuk ke pasar hingga 2025 nanti.

Rata-rata akan ada dua bank digital yang akan menjadi penantang tiap pemimpin pasar perbankan yang sudah ada.
Laporan  tersebut menyebutkan bahwa 60% bank di Asia Pasifik akan memanfaatkan AI untuk pengambilan keputusan berbasis data.

Transformasi ke model digital juga bakal sangat menghembat anggaran belanja modal bank rata-rata hingga 10% per tahun. Ini akan menjadi daya tarik yang mendorong bank-bank segera beralih ke sistem digital. 

Bank-Bank Kecil Punya Peluang?

Pengaruh sentimen neo bank selama ini seolah hanya berfokus pada bank-bank kecil, padahal bank-bank besar kini jauh lebih gesit mengembangkan ekosistem digital mereka, meskipun belum sepenuhnya meninggalkan operasional kantor fisik.

Kalaupun bank-bank kecil ini nantinya benar-benar beralih menjadi bank digital, tentu tidak serta merta prospek bisnisnya menjadi lebih menjanjikan. Sebab, persaingan di industri perbankan tetap saja akan ketat, apalagi setelah semua bank mengembangkan layanan digital.

Benar bahwa pasar Indonesia yang belum terjangkau layanan perbankan masih sangat besar, tetapi biaya investasi infrastruktur TI untuk menjangkau layanan yang luas juga tentu tidak sedikit. Bank-bank kecil ini selama ini masih sangat terbatas dari sisi permodalan dan kapasitas SDM, sehingga jelas tantangannya masih sangat besar.

Jika benar ada pemodal baru yang bersedia menyuntikkan modal dalam jumlah besar pada bank-bank tertentu untuk mengubahnya menjadi neo bank, tetap saja butuh waktu untuk berhasil. Selama prosesnya, akan banyak ujian yang akan dialami di pasar perbankan. 

Lagi pula, regulasi di industri perbankan sangat ketat. Bisnis bank juga adalah bisnis kepercayaan, sehingga perlu kerja keras oleh bank-bank kecil ini jika ingin menarik banyak nasabah.

Sementara itu, bank-bank besar yang sudah ada juga tentu tidak akan tinggal diam menghadapi tantangan kehadiran neo bank. Bank-bank yang sudah lebih kuat secara permodalan ini tentu bakal lebih gesit menangkap peluang baru.

Oleh karena itu, kenaikan harga saham-saham bank kecil akibat sentimen neo bank selama ini memang sangat spekulatif. Belum ada landasan yang cukup kuat untuk meyakini bahwa mereka akan sukses menjadi bank digital nantinya.

Kejatuhan harganya akhir-akhir ini justru layak menjadi bahan pembelajaran baru bahwa spekulasi di pasar saham memang tak ada habis-habisnya.

Oleh karena itu, setiap investor sebaiknya selalu berhati-hati dan tidak tergiur dengan kenaikan harga yang terlihat sangat fantastis.