Prospek Nikel Indonesia di Tengah Sorotan Global (Seri 1 dari 3 Tulisan)

Date:

Artikel ini adalah bagian pertama dari tiga artikel yang membahas perkembangan komoditas nikel pada awal 2021. Simak bagian kedua dari laporan berseri ini dengan mengklik tautan berikut: Saham Nikel: Dari Sentimen Mobil Listrik Hingga Kerusuhan di Kaledonia Baru

[Waktu baca: 6 menit]

Nikel menjadi buah bibir yang tak habis-habisnya dibahas akhir-akhir ini di Indonesia, terutama seiring dengan peningkatan popularitas mobil listrik dan rencana investasi pembangunan pabrik baterai kendaraan listrik di Indonesia.

Wajar saja, Indonesia saat ini menjadi negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Nikel sendiri adalah komoditas logam penting sebagai bahan baku produksi baterai untuk kendaraan listrik. Bahkan sebelum mobil listrik popular, nikel sudah menjadi kebutuhan pokok untuk bahan baku baja tahan karat.

Dalam banyak aspek kehidupan kita sehari-hari, pasti akan berhubungan dengan produk-produk yang memiliki komponen nikel di dalamnya. Intinya, logam ini sangat penting dan strategis. Sebagai negara dengan pemilik cadangan nikel terbesar, wajar jika Indonesia akhir-akhir ini menjadi sorotan.

Indonesia makin menjadi sorotan setelah kebijakan pemerintah telah melarang ekspor bijih nikel sejak awal tahun 2020 lalu, maju dari rencana semula yang sedianya baru akan berlaku pada 2022. Sontak kebijakan Indonesia ini menyulut protes dari banyak pihak, terutama produsen baja Uni Eropa.

Pada kesempatan ini, kita akan membahas seberapa strategisnya komoditas ini serta perkembangan terkini kebijakan pemerintah untuk melindungi aset berharga ini untuk setinggi-tingginya kepentingan nasional. 

Baca juga: Sektor Saham Jawara 2020: Tambang!

Cadangan Nikel Indonesia

Berdasarkan pemetaan Badan Geologi pada Juli 2020, Indonesia memiliki sumber daya bijih nikel sebesar 11.887 juta ton (tereka 5.094 juta ton, terunjuk 5.094 juta ton, terukur 2.626 ton, hipotetik 228 juta ton) dan cadangan bijih sebesar 4.346 juta ton (terbukti 3.360 juta ton dan terkira 986 juta ton).

Sepanjang 2019, produksi nikel murni dunia mencapai 2,6 juta ton. Indonesia saja menyumbang lebih dari 800 ribu ton di antaranya. Di posisi kedua ada Filipina dan Rusia, masing-masing 420 ribu ton dan 270 ribu ton

Jika mengacu pada data US Geological Survey, total cadangan nikel murni Indonesia adalah sekitar 21 juta ton. Dengan cadangan sebesar itu, Indonesia berada di urutan pertama negara dengan cadangan nikel murni terbesar di dunia, disusul Australia dan China.

Berikut ini data produksi dan cadangan nikel global tahun 2020 yang diolah CNBC Indonesia:

Menurut perhitungan tim riset CNBC Indonesia, total cadangan nikel Indonesia tersebut setara dengan US$366,1 miliar jika mengacu pada harga mineral acuan nikel bulan Februari 2021 di level US$17.434 per dry metric ton (dmt).

Sementara itu, jika yang dihitung adalah cadangan bijihnya, nilainya hampir mencapai US$400 miliar, atau setara Rp5.705,76 triliun.

Sebelum adanya larangan ekspor, Indonesia menguasai sekitar 27 persen pasar global. Namun, selama bertahun-tahun Indonesia hanya mengekspor nikel mentah. Mayoritas tujuan ekspor Indonesia adalah ke China.

Besarnya kontribusi ekspor Indonesia ini menyebabkan banyak pelaku industri logam di Eropa yang terancam akibat kebijakan larangan ekspor tersebut. Sementara itu, China yang menjadi pasar terbesar Indonesia justru sudah lebih siap dengan mengamankan cadangan nikel sejak jauh-jauh hari.

Baca juga: Prospek di Balik Rekor Transaksi Saham ANTM

Potensi Besar Nikel

Nikel sendiri adalah komoditas mineral yang sangat berharga dan berpeluang makin dicari di masa mendatang karena pesatnya perkembangan kendaraan listrik. Nikel merupakan komponen logam yang dominan dalam komposisi baterai listrik.

Harga nikel relatif murah, sedangkan kemampuannya menampung energi listrik justru sangat tinggi. Hal ini menjadikan mineral ini pilihan ideal untuk baterai mobil listrik. Makin banyak nikel dalam komponen baterai, makin padat energinya, sehingga baterai yang dihasilkan memiliki kapasitas energi yang lebih besar untuk meningkatkan jarak tempuh mobil.

Bagi Indonesia, nikel adalah salah satu komoditas ekspor unggulan selain batu bara dan timah. Pada tahun 2020, produksi nikel Indonesia diperkirakan mencapai sekitar 760 ribu ton atau setara 30% dari total produksi global yang diperkirakan sekitar 2,5 juta ton.

Namun, jika hanya mengekspornya dalam bentuk mentah, keuntungan yang diperoleh Indonesia akan sangat terbatas. Oleh karena itulah, pemerintah menekankan pentingnya hilirisasi di dalam negeri dan memutuskan untuk menghentikan ekspor bijih nikel mentah.

Kebutuhan nikel ke depan akan makin besar, seiring berkembangkan industri mobil listrik. Tahun lalu saja, di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi dan lesunya penjualan otomotif, penjualan mobil listri global justru melesat 43% year on year (yoy) menjadi 3,24 juta unit.

Jika permintaan komoditas ini terus meningkat, harganya tentu akan makin tinggi ke depan, sebab pasokannya pun dari waktu ke waktu akan kian terbatas.

Permintaan nikel sendiri tidak saja ditopang oleh mobil listrik, tetapi juga baja tahan karat yang merupakan produk strategis. Industri di seluruh dunia membutuhkan produk ini. Nikel adalah bahan baku strategis untuk industri baja di seluruh dunia. Tanpa nikel, tidak akan ada lagi baja tahan karat.

Dengan menahan ekspor material ini, Indonesia berpeluang meningkatkan daya saing di industri baja tahan karat. Sebagai gambaran, nikel berkontribusi sekitar 45% dari produksi baja tahan karat. Industri baja sendiri adalah industri yang sangat strategis di dunia.

Dengan mengamankan pasokan nikel, Indonesia berpeluang menguasai rantai pasok industri baja tahan karat di masa mendatang.

Kebijakan Hilirisasi dan Larangan Ekspor

Presiden Jokowi resmi menghentikan ekspor nikel sejak 1 Januari 2020. Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11 Tahun 2019 Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.

Stok nikel dalam negeri diperkirakan akan habis dalam 8 tahun jika penambangan untuk ekspor terus dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk memfokuskan cadangan yang ada untuk diolah sendiri di dalam negeri untuk menciptakan nilai tambah.

Ekspor bijih nikel sebenarnya sudah dilarang pada awal 2014, tetapi pada 2017 pemerintah memberikan relaksasi melalui Peraturan Menteri ESDM No. 5 Tahun 2017. Dalam aturan itu, bijih nikel kadar rendah diizinkan ekspor selama 5 tahun alias hingga 2022.

Berikut ini data perkembangan ekspor nikel sebelum dilarang:

Izin relaksasi ekspor pun diberikan kepada perusahaan tambang, tetapi dengan syarat harus membangun fasilitas pemurnian mineral (smelter) nikel dari hasil ekspor tersebut. Hal inilah yang belakangan juga menuai protes.

Pasalnya, pelaku usaha menghitung modal membangun smelter akan berasal dari hasil relaksasi ekspor 2017-2022. Namun, dengan larangan ekspor dimajukan menjadi tahun 2020, belum semua pelaku usaha berhasil memenuhi kebutuhan modal untuk membangun smelter.

Ada sekitar 51 perusahaan yang sedang membangun smelter ketika aturan itu dirilis, sedangkan yang sudah beroperasi baru 15 unit. Dengan demikian, sekitar 36 smelter terkena imbas percepatan relaksasi ekspor ini. Hal ini menimbulkan ketidakpastian investasi.

Kebijakan larangan ekspor ini memang menuai keberatan dari pelaku usaha, tetapi toh akhirnya diterima juga. Keberatan terutama karena tata niaga penjualan nikel di dalam negeri tidak sebaik di pasar ekspor. Harga jualnya pun jauh lebih murah.

Sebagai pembanding, di dalam negeri bijih nikel dijual dengan harga US$11/ton, sedangkan di pasar ekspor mencapai US$34/ton. Selain itu, izin ekspor hanya diberikan bagi bijih nikel dengan kadar rendah kurang dari 1,7%. Harganya pun makin terkikis sebab kandungannya sangat rendah.

Selain itu, proses pembayaran di pasar dalam negeri butuh waktu hingga berbulan-bulan, sedangkan di luar negeri mereka dapat memanfaatkan fasilitas letter of credit (LoC) sehingga arus kasnya lebih baik untuk kebutuhan operasional.

Meskipun memang ada poin negatifnya, tetapi keputusan pemerintah ini bersifat sangat strategis, sebab hal ini memaksa pelaku industri dalam negeri untuk tidak lagi mengekspor produk mentah, tetapi berusaha memberikan nilai tambah.

Dengan mengolah bijih nikel menjadi feronikel, misalnya, nilai tambahnya dapat melonjak hingga 400%. Dalam jangka pendek, adaptasi ini tentu akan memberatkan pelaku industri, tetapi dalam jangka panjang manfaatnya besar bagi perekonomian secara keseluruhan.

Protes Uni Eropa dan Sikap Pemerintah Indonesia

Strategisnya peran komoditas nikel menyebabkan keputusan pemerintah Indonesia mempercepat batas akhir relaksasi ekspor nikel ini menuai protes dari sejumlah negara tujuan ekspor Indonesia di Eropa.

Sejak akhir 2019, atau menjelang batas akhir relaksasi ekspor, Uni Eropa sudah menyampaikan pemberitahuan terkait gugatan mereka ke WTO. Keputusan Indonesia itu dinilai melanggar ketentuan WTO. Keputusan Uni Eropa itu juga didukung oleh EUROFER atau asosiasi produsen baja Eropa.

Negara tujuan ekspor Indonesia yang lebih besar sebenarnya adalah China. China sendiri memiliki cadangan nikel besar juga, tetapi selama bertahun-tahun memilih mengimpor dari negra lain.

Berbeda dibanding Eropa, China bersikap lebih kooperatif terhadap kebijakan Indonesia dengan cara sejak jauh-jauh hari mengamankan pasokan feronikelnya. China juga menanamkan banyak modal untuk pembangunan smelter di Indonesia.

Pada awal tahun ini, tepatnya Kamis (14 Januari 2021), Uni Eropa menyampaikan notifikasi bahwa sengketa ini akan dilanjutkan melalui pembahasan di WTO pada 25 Januari 2021. Namun, pemerintah Indonesia bergeming. Pemerintah menegaskan akan tetap memperjuangkan kepentingan Indonesia di tingkat multilateral.

Adapun, proses konsultasi dan mediasi terus berjalan sejak 2019 hingga 2020 lalu, tetapi toh tidak membuahkan kesepakatan. Oleh karena itu, pemerintah pun menerima penyelesaian sengketa di WTO akan menjadi tempat yang tepat untuk menguji kesesuaian kebijakan Indonesia dengan prinsip-prinsip WTO.

Pemerintah Indonesia sendiri berkeyakinan kebijakan tersebut telah sesuai dengan komitmen ataupun prinsip-prinsip di tingkat internasional.
Indonesia sendiri tetap terbuka dengan negara-negara Eropa terkait peluang kerja sama dan investasi dalam menciptakan nilai tambah di sektor industri baja. Indonesia sendiri kini adalah penghasil besi baja kedua terbesar di dunia setelah China.

Di WTO, perwakilan Indonesia yakni Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno berargumen bahwa larangan ekspor seharusnya bisa diterima oleh Uni Eropa, sebab beberapa tahun belakangan pembelian Uni Eropa terhadap bahan baku mentah tersebut tergolong rendah.

Pada tahun 2008, Uni Eropa hanya membeli 2,3 persen nikel dari Indonesia. Tahun 2009-2013 rata-rata hanya 5%, sedangkan pada tahun 2014 bahkan 0,31%. Sejak pembatasan ekspor bijih nikel dengan kandungan tinggi, yakni pada 2015-2017, Uni Eropa tidak pernah membeli dari Indonesia.

Keinginan untuk menghentikan ekspor nikel sendiri sebenarnya sudah ingin direalisasikan sejak 2009, tetapi mundur hingga 2014 dan direlaksasi lagi sejak tahun 2017 untuk ekspor kelas rendah. Namun, mayoritas ekspor memang ke China.

Larangan ekspor bijih nikel berkadar rendah ini diatur dalam Undang-Undang Mineral dan Batu Bara Nomor 4 Tahun 2009, di mana dalam aturan disebut larangan akan berlaku pada tahun 2022 untuk kadar nikel kurang dari 1,7%.

Lewat Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 kebijakan larangan ekspor bijih nikel berakhir 31 Desember 2019.

Konsultasi di WTO pun akhirnya gagal menyelesaikan perselisihan. Indonesia memberikan tanggapan yang komprehensif dan terlibat penuh secara konstruktif dalam proses konsultasi itu, tetapi permintaan Uni Eropa terlihat premature untuk dibahas di Dispute Settlement Body (DSB atau Badan Penyelesaian Sengketa).

Alhasil, Indonesia menyatakan tidak bisa menyetujui permintaan UE, tetapi bersedia terlibat dalam pembahasan lanjutan untuk menyelesaikan masalah ini.

Konflik Penambang dan Pelaku Smelter

Pemerintah tidak hanya berurusan dengan protes negara lain ihwal keputusan larangan ekspor ini. Keluhan yang lebih besar justru datang dari pelaku industri di dalam negeri. Kesepakatan soal harga jual bijih nikel menjadi pokok bahasan yang belum selesai.

Kenyataannya, meskipun kini sudah ada smelter di dalam negeri, tetapi penambang nikel merasa belum mendapatkan harga yang layak yang sebanding dengan pendapatan ekspor. Masalah harga ini bahkan terus berlanjut hingga akhir 2020.

Adapun, kepentingan pelaku smelter selama ini terwakilkan melalui Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian (AP3I), sedangkan penambang nikel tergabung dalam Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI).

Sebenarnya, pemerintah sudah menerbitkan aturan tentang tata niaga nikel di dalam negeri dan menetapkan harga patokan mineral (HPM). Namun, realisasi di lapangan tidak sesuai harapan. Mekanisme pasar tidak berjalan baik. Pengawasannya pun relatif lemah.

Banyak pihak menilai aturan HPM hanya bagus di atas kertas, tetapi implementasinya jauh panggang dari api. Salah satu kelemahannya adalah model pengawasan yang terpusat di tangan pemerintah pusat, padahal aktivitas bisnis nikel ini tersebar di luas di berbagai daerah. Sanksi selama ini pun tampaknya masih kurang tegas.

APNI menilai pengaturan HPM relatif kurang menguntungkan bagi pelaku penambang nikel. Penetapan harganya jauh dari harga pasar yang berlaku secara internasional.

Pada Januari 2021, misalnya, harga bijih nikel berkadar 1,8% secara free on board hanya US$37 per wet metric ton (wmt), sedangkan di pasar internasional harganya US$108 per wmt. Realisasi di lapangan bisa lebih parah lagi.

Pada 20 Juli 2020, pemerintah lalu membentuk satuan tugas (satgas) untuk mengawasi tata niaga bijih nikel. Satgas ini pun memberikan batas waktu hingga 1 Oktober 2020 kepada seluruh perusahaan smelter untuk menyesuaikan pembelian bijih nikel dengan HPM.

Bagi perusahaan smelter yang tidak patuh, Satgas meminta Kementerian ESDM dan Kementerian Perindustrian untuk memberikan sanksi administratif berupa surat peringatan hingga pencabutan izin usaha.

Rekomendasi lainnya yakni meminta pemerintah melakukan peninjauan fasilitas fiskal berupa tax holiday pajak penghasilan dan kajian pembatasan ekspor hasil smelter kepada perusahaan smelter yang tidak patuh.

Pelanggaran lain yang juga ditemukan adalah adanya perusahaan penyurvei atau surveyor yang belum terdaftar di Kementerian ESDM tetapi digunakan oleh perusahaan penambang dan smelter. Kementerian ESDM pun belakangan merespon hal ini dengan mengeluarkan surat edaran yang mengatur tentang sanksi bagi perusahaan-perusahaan itu.

Tags: