Untung-Buntung Industri Asuransi Jiwa

Date:

Bisnis asuransi jiwa tidak sekadar menerima pembayaran premi dan membayar klaim terhadap nasabahnya. Bisnisnya ditentukan oleh kemampuan pengelolaan dana premi yang dikumpulkan, dana tersebut akan masuk dalam instrumen investasi guna mengoptimalkan keuntungan.

Krisis yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 murni karena masalah kesehatan. Sepintas, hal ini bakal menguntungkan bagi industri asuransi jiwa. Sebab, akan makin banyak orang yang membutuhkan proteksi dan bersedia membeli asuransi, bahkan dalam nilai besar. Orang semakin peduli dengan masalah kesehatan. 

Meskipun hal itu benar, bisnis asuransi jiwa tidak semata-mata bergantung pada pendapatan premi. Misalnya, akibat pandemi orang-orang kehilangan pekerjaan atau simpanannya semakin tergerus. Alhasil pandemi meningkatkan risiko klaim asuransi. Jika tak berhati-hati, nilai klaim nasabah bisa jadi lebih besar ketimbang total pendapatan premi yang diperoleh industri asuransi jiwa. 

Oleh karena itu, kemampuan mengoptimalkan dana melalui investasi di berbagai instrumen menjadi penentunya.

Tahun lalu, kita menyaksikan kejatuhan pasar modal hingga titik terdalam. Koreksi tidak saja terjadi di pasar saham, tetapi juga di pasar surat utang. Pada saat yang sama, Bank Indonesia cenderung menurunkan suku bunga acuan, sehingga bunga deposito pun tak lagi menarik.

Dalam kondisi ini, sulit bagi industri asuransi jiwa untuk mengoptimalkan dana kelolaannya. Alih-alih untung, industri ini justru menderita kerugian besar, sebab mereka tidak dapat serta merta melakukan cut loss yang berisiko menurunkan portofolionya secara signifikan.

Oleh karena itu, beberapa asuransi tetap mempertahankan investasinya dalam posisi potential loss atau rugi potensial. Di atas kertas, mereka rugi karena turunnya hasil investasi mereka. Namun, instrumen itu belum dijual, kerugian itu masih bersifat potensial.

Berkah muncul ketika pasar modal mulai berbalik arah. Kebijakan-kebijakan pemerintah memberikan harapan bahwa pandemi dapat diatasi, entah cepat atau lambat. Seiring dengan itu, kinerja industri asuransi jiwa pun membaik.

Pandemi mungkin mendorong perkembangan industri asuransi jiwa cukup pesat. Masyarakat kini makin menyadari pentingnya proteksi terhadap risiko kesehatan dan mulai ramai memburu produk asuransi.

Di satu sisi, kondisi ini menyebabkan pertumbuhan premi industri asuransi jiwa meningkat pesat. Namun, di sisi lain klaim juga meningkat, terutama terkait kondisi ekonomi, kesehatan, dan kematian dari tertanggung.

Pada kuartal pertama tahun ini, pendapatan industri asuransi jiwa tercatat Rp63,12 triliun, berbanding terbalik ketimbang kuartal I/2020 yang justru minus Rp460 miliar. Pendapatan pada kuartal I/2021 bahkan lebih tinggi dibanding kondisi sebelum pandemi, yakni kuartal I/2019 yang sebesar Rp60,34 triliun.

Peningkatan kinerja ditengarai akibat naiknya hasil investasi secara signifikan seiring dengan membaiknya kondisi pasar. 

Tekanan pasar pada awal pandemi 2020 lalu menyebabkan hasil investasi industri ini anjlok hingga rugi Rp47,83 triliun. Namun, pemulihan pasar tahun ini menjadikan keuntungan hasil investasi mencapai Rp2,44 triliun. Artinya, ada peningkatan Rp50,27 triliun.

Selain itu, pertumbuhan pendapatan premi industri asuransi jiwa juga sangat tinggi pada kuartal pertama tahun ini, mencapai 28,5% yoy (Rp12,73 triliun) menjadi Rp57,45 triliun. Peningkatan kinerja juga disokong oleh meningkatnya item pendapatan lain seperti klaim reasuransi.

Dengan kondisi terkini yang positif tersebut, pelaku di industri ini pun optimistis kinerja bakal terus membaik hingga akhir tahun ini. Hanya saja, tantangan terbesar saat ini adalah dalam hal pemasaran.

Selama ini, industri asuransi jiwa mengandalkan kehadiran agen di lapangan untuk memasarkan produk mereka melalui tatap muka dengan calon pelanggan. Kondisi pandemi yang membatasi mobilitas seseorang, menjadikan metode ini sulit diterapkan.

Kini, dengan kembali meningkatnya kasus baru Covid-19 serta penerapan PPKM Darurat, aktivitas agen menjadi lebih terbatas. Sementara itu, industri asuransi jiwa selama ini terkenal dengan industri yang masih minim tingkat literasi dan inklusinya di tengah masyarakat.

Meskipun sudah ada beberapa perusahaan asuransi yang memiliki channel digital untuk memasarkan produknya, masalah tidak selesai sampai di situ. Jika menilik data kanal distribusinya, terlihat bahwa perusahaan asuransi mengoptimalkan kerja sama dengan bank.

Pada kuartal I/2021, pendapatan melalui agen turun 5,8% year on year (yoy) menjadi Rp16,15 triliun, demikian pula telemarketing turun 14,3% yoy menjadi Rp0,77 triliun. Namun, pemasaran bancassurance melesat 55,9%  menjadi Rp30,47 triliun, sedangkan saluran lainnya melonjak 41,3% yoy menjadi Rp10,05 triliun. Selain itu, ada beberapa perkembangan menarik lain di industri ini:

Tipe Pembayaran

Tipe pembayaran regular, atau mencicil secara bulanan, tumbuh terbatas yakni 4,9% yoy menjadi Rp26,84 triliun (dari Rp25,57 triliun). Namun, pembayaran secara tunggal atau single melonjak 59,9% yoy menjadi Rp30,61 triliun (dari Rp19,14 triliun).

Hal ini menunjukkan makin banyak orang-orang yang mampu membayar premi satu tahun penuh secara sekaligus. Ini juga mengindikasikan makin banyak orang yang waspada terhadap kesehatan mereka dan sebisa mungkin menyiapkan proteksi yang memadai dengan manfaat optimal.

Premi Baru Mendominasi

Premi bisnis baru pada kuartal pertama tahun ini melonjak drastis 42,3% yoy menjadi Rp37,04 triliun, dari sebelumnya Rp26,03 triliun pada kuartal I/2020. Sementara itu, premi lanjutan atau renewal hanya tumbuh 9,3% yoy dari Rp18,68 triliun menjadi Rp20,41 triliun.

Seperti yang sudah dibilang sebelumnya, makin banyak pelanggan baru asuransi mencoba memanfaatkan proteksi asuransi akibat meningkatnya kekhawatiran terhadap dampak pandemi pada ekonomi dan jiwa mereka.

Unit Link Masih Mendominasi

Dari sisi tipe produk, asuransi tradisional yang sepenuhnya untuk kepentingan proteksi, tumbuh 23,4% yoy dari Rp17,52 triliun menjadi Rp21,62 triliun. Sementara itu, produk unit-linked atau asuransi yang dikaitkan dengan investasi masih tumbuh lebih tinggi, yakni 31,7% yoy dari Rp27,2 triliun menjadi Rp35,83 triliun.

Naiknya premi unit-linked juga tampaknya terkait dengan peningkatan ekspektasi kenaikan hasil investasi di pasar modal. Saat ini, kondisi pasar masih cenderung tertahan, tetapi potensi pemulihan ekonomi membuka harapan bakal naiknya kinerja pasar dalam waktu dekat.

Artinya, saat ini menjadi saat yang tepat untuk membeli produk investasi jika berharap bisa mendapatkan keuntungan optimal di masa mendatang. Alhasil, produk asuransi yang terkait dengan investasi ini menjadi banyak diminati masyarakat.

Polis Individu Melonjak

Dari sisi pemegang polis, asuransi perorangan tumbuh jauh lebih tinggi yakni 31,1% yoy menjadi Rp49,9 triliun (dari Rp38,06 triliun), sedangkan asuransi kumpulan tumbuh lebih rendah yakni 13,3% yoy menjadi Rp7,55 triliun (dari Rp6,66 triliun).

Hal ini pun mengonfirmasi kenaikan kesadaran individu untuk berasuransi di tengah kondisi krisis kesehatan saat ini. Adapun, asuransi perorangan adalah asuransi yang dibeli secara mandiri oleh individu, sedangkan asuransi kumpulan misalnya asuransi yang didaftarkan oleh perusahaan untuk seluruh karyawannya.

Jumlah Tertanggung Bertambah

Peningkatan premi tidak saja berasal dari nasabah exiting yang menambah proteksi, tetapi juga dari nasabah yang baru pertama kali mencoba produk asuransi jiwa. Pada kuartal pertama tahun ini, jumlah tertanggung asuransi jiwa nasional mencapai 63,87 juta, naik sekitar 180 ribu orang dari posisi 2020 yang sebanyak 63,69 juta.

Jika dibandingkan dengan posisi kuartal pertama tahun 2020 lalu, pertumbuhannya mencapai sekitar 460 ribu orang. Sekali lagi, ini mengonfirmasi adanya peningkatan kesadaran masyarakat Indonesia dalam berasuransi selama pandemi.

Meskipun demikian, dengan jumlah tertanggung sebanyak itu, tingkat penetrasi industri asuransi jiwa terhadap total jumlah penduduk Indonesia baru mencapai 6,7%. Ini jelas masih sangat rendah, tetapi sekaligus menunjukkan masih besarnya ruang pertumbuhan industri ini, seiring tren peningkatan kesadaran ini.

Rasio Klaim yang Sehat

Berdasarkan data-data di atas, terkonfirmasi bahwa dari sisi pendapatan, industri asuransi jiwa menikmati pendapatan yang memuaskan pada kuartal pertama tahun ini. Namun, bagaimana dari sisi klaim?

Pada kuartal I/2021 total pembayaran klaim mencapai Rp47,68 triliun, tumbuh pesat 23,5% yoy dari sebelumnya Rp38,6 triliun pada kuartal I/2020. Artinya, setiap bulan rata-rata pembayaran klaim mencapai Rp15,89 triliun pada awal tahun ini.

Jumlah itu lebih besar dari rata-rata pembayaran klaim sepanjang 2020 senilai Rp12,59 triliun per bulan, dengan total klaim Rp151,1 triliun pada tahun lalu.

Meskipun pertumbuhan klaim ini terlihat pesat, tetapi masih cukup sehat. Seperti telah disinggung sebelumnya, total premi 2020 mencapai Rp187,59 triliun dan premi kuartal I/2021 yang sebesar Rp57,45 triliun. Keduanya masih lebih tinggi ketimbang nilai klaim.

Artinya masih ada ruang gerak yang cukup besar bagi perusahaan asuransi. Rasio klaim terhadap premi pada 2020 sebesar 81%, sedangkan pada kuartal I/2021 menjadi 83%. Dengan demikian, masih ada ruang yang cukup luas untuk operasional bisnis asuransi.

Selain itu, kinerja investasi industri asuransi pun membaik seperti sudah dijelaskan sebelumnya, sehingga secara umum bisnis asuransi jiwa pada awal tahun ini cenderung cukup baik.

Peluang Besar di Tengah Pandemi

Tantangan pandemi telah memaksa industri asuransi jiwa untuk berbenah. Beruntung bagi industri ini sebab kondisi pandemi berdampak cukup positif bagi mereka. Salah satu inisiatif yang dipacu yakni teknologi pemasaran digital untuk mempermudah proses pendaftaran dan klaim.

Momentum pandemi juga menjadi kesempatan untuk meningkatkan literasi dan inklusi di industri asuransi. Pada 2019 lalu, indeks literasi asuransi hanya 19,40%, sedangkan indeks inklusinya hanya 13,15%.

Sebagai pembanding, indeks literasi keuangan nasional mencapai 38,03%, sedangkan indeks inklusi keuangan mencapai 76,19%. Artinya, di antara semua produk keuangan yang ada, asuransi menjadi salah satu produk dengan tingkat literasi dan inklusi terendah.

Saat ini, generasi milenial sudah mulai sadar berasuransi, sehingga membuka potensi besar bagi pertumbuhan industri ini. Berkembangnya industri asuransi pun bakal berdampak positif terhadap pasar modal Indonesia, sebab itu artinya dana investasi asuransi akan makin tinggi.

Dibandingkan dengan sejumlah negara tetangga, tingkat penetrasi industri asuransi jiwa Indonesia terhadap PDB per 2019 masih kalah. Sebagai contoh, tingkat penetrasi di Malaysia dan Thailand masing-masing mencapai 3,20% dan 3,54% dari PDB, sedangkan Indonesia hanya 1,21%.

Dari sisi aset, industri asuransi di Indonesia baru mencapai US$40,75 miliar, sedangkan Malaysia mencapai US$62,25 miliar dan Thailand US$116,54 miliar. Berikut ini perbandingan lengkapnya:

Indonesia jelas masih tertinggal, tetapi sekaligus memiliki potensi pertumbuhan paling besar. Jika momentum pandemi dapat dimanfaatkan dengan optimal, apalagi saat ini di tengah kenaikan kasus baru dan PPKM Darurat, bukan tidak mungkin ketertinggalan itu bisa segera disusul.