Astra yang Tak Lapuk Digerus Waktu

Date:

20 Februari lalu, Astra Internatioal jangkap berusia 64 tahun. Di balik masih eksisnya perusahaan itu melampaui setengah abad zaman, di sana ada nama-nama yang tak boleh diabaikan. Tahun 1950-an, semasa awal berdiri, Tjia Kian Liong tak sendirian mengelola Astra. Malahan, sosok yang kini terlanjur dikenal dengan nama William Soerjadjaja itu mulanya hanya sekadar diajak Tjia Kian Tie, adiknya, alias Benyamin.

Maklum, William baru saja gagal bisnis ketika itu. Usai memperoleh pinjaman dengan pelunasan mengangsur sebanyak Rp 30 juta—jumlah yang tak sedikit untuk ukuran masa itu—untuk proyek hard-board di Minahasa, Sulawesi Utara, dari Yayasan Kopra ia berselisih paham dengan R.I Mantiri, partner bisnisnya. Dengan berat hati, ia keluar dari perusahaan yang sejatinya baru saja berkembang itu di tahun 1955.   

William terguncang. Batinnya terpukul, dihantui putus asa dan kegagalan. Ia pun sakit. Sekira selama tiga bulan, William dilanda lever akibat relung hati yang sedang lumpuh itu. Mendengar sang kakak tengah kesulitan, pulang dari Belanda sehabis tamat sarjana ekonomi di Gemeentelijke Universiteit van Amsterdam, Benyamin meminta William membantu pengembangan perseroan terbatas yang baru saja ia buat bersama sejumlah sejawat.

Tak ada pilihan baginya, William buru-buru mengiyakan ajakan sang adik masuk PT Astra. Kala itu, selain Benyamin serta William, 50 persen saham Astra dimiliki Liem Peng Hong, 5 persen dipegang Tapisan Sianturi, Sahat P. Nainggolan mengendalikan 5 persen, Datu P. Nainggolan menggenggam 5 persennya lagi, 5 persen sisanya dikuasai Sahut G. Parulian. 20 Februari 1957, lebih 64 tahun lalu, Astra didaftarkan ke akta notaris. Berkantor di ruang sempit di Jl. Sabang, Jakarta Pusat, Astra resmi beroperasi.

“Semula, PT Astra bergerak di bidang perdagangan umum (general trading). Mulai dari menjual soft-drink bermerek “Prem Club”, mengekspor minyak sereh, kenanga, dan menjual hasil-hasil bumi lainnya,” demikian ungkap William Soeryadjaya: Kejayaan dan Kejatuhannya, buku milik Amir Husin Daulay dkk. itu.

Tapi bersama William-lah sejarah Astra dibuat. Saat perebutan pasar kian mengetat, daya upaya telah ditumpahkan sebenarnya. Namun, dengan diurusi segelintir tenaga kerja saja waktu itu, praktis gelinding roda perusahaan ini terhambat melaju. “Sampai akhirnya Tjia Kian Liong (William Soerjadjaja) yang bergabung belakangan, mulai menggeser orientasi bisnis perusahaan menjadi pemasok barang-barang keperluan pemerintah,” lanjut cerita Amir dkk. dalam karya bertanggal rilis 1993 itu.

William berhasil. Strateginya, di proyek pemerintah berupa pembangunan Waduk Jatiluhur, berbuah Astra sebagai penyuplai utama bahan-bahan konstruksinya di kisaran tahun 1960an itu. Tak berhenti sampai di sini. Di 1967, kolaborasi bisnis dengan pemerintah berlanjut. Pada awal-awal kekuasaan Soeharto itu, Astra menjadi pengimpor truk Chevrolet. Tak tanggung, sekitar 800 truk dipesan Astra. Truk-truk ini kemudian dijual ke pemerintah yang sewaktu itu tengah habis-habisan membuat proyek besar.

“Saya sebenarnya bisa minta harga berapa saja ketika itu. Karena pemerintah pasti membelinya!,” ungkap Oom William, sapaan karibnya, pada Asia Finance saat itu.

Dua tahun berselang, pemerintah meminta bantuan Astra untuk menyelamatkan PN Gaya Motor. Berdiri tahun 1927, Gaya Motor menjadi pintu masuk terbesar Chevrolet ke Asia Tenggara, sekaligus mengoperasikan pabrik perakitan untuk kendaraan asal negeri Paman Sam itu. General Motors Corporation (GM), produsen angkutan itu, memutus kerja sama dengan Gaya Motor di 1954 seiring berkuasanya pemerintah pro-Cina Sukarno, dan Gaya Motor kemudian menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Kurangnya investasi di 1960-an telah membuat Gaya Motor berada dalam kondisi yang buruk, dengan fasilitas produksi ketinggalan zaman dan dana investasi sangat terbatas. Astra pun setuju membeli 60 persen saham Gaya Motor di tahun 1969, sementara 40 persen sisanya masih dikuasai negara.

Dua tahun berikutnya lagi, ekspansi bisnis Astra sebagai importir meluas. Kini, berkat kedekatan William dengan Soemitro Djojohadikoesoemo—Menteri Perdagangan semasa itu, Astra menjadi agen tunggal mobil-mobil Toyota di Nusantara. Lewat SK Menteri Perdagangan RI No. 83/M/III/71 tertanggal 10 Maret 1971, dibentuklah perusahaan kerja sama bernama PT Toyota Astra Motor.  

Komposisi saham dalam perusahaan gabungan itu sendiri terdiri dari PT Astra Internasional Inc dengan menguasai 21,73 persen, Toyota Motor Sales Co Ltd memegang 24,45 persen, Toyota Motor Co Ltd mengontrol 24,45 persen, PT Indonesia Motor Company/PN Gaya Motor mengendalikan 14,19 persen, sedangkan 14,78 persennya lagi untuk PT Gaya Motor.

Daftar kontrak keagenan eksklusif Astra bertambah setelah itu. Antara lain, agen tunggal sepeda motor Honda pada tahun 1970, Peugeot dan Renault di 1972, juga Daihatsu di 1973. Pada akhir dekade di ketika itu, Astra berhasil mengendalikan sekitar 40 persen dari total pasar kendaraan Indonesia.

Tapi area bisnis Astra tak sekadar menyediakan alat transportasi pribadi. 1976, misalnya, melalui anak perusahaan PT Astra Graphia, Astra menjadi agen tunggal berbagai macam mesin foto kopi dan alat perkantoran milik Fuji-Xerox. Sedangkan di 1973, dengan anak perusahaan PT United Traktornya, Astra didaulat sebagai perakit eksklusif alat berat merek Komatsu.

Memasuki tahun 1980-an, produksi komponen Astra berkembang mencakup sasis mobil pada 1980, sistem pengereman di 1981, as roda dan propeller shafts di 1982, juga transmisi di 1983. Sementara di 1990-an, Astra mulai mengelaborasi bisnis ekspor komponen otomotif, termasuk busi, aki mobil, dan forklift. Di tahun-tahun ini pula, Astra go public dengan melantai di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Surabaya—kini, dua bursa dijadikan satu dalam Bursa Efek Indonesia.

Kendati sebagian besar masih dipegang William, 45 persen saham Astra kemudian berada di bawah kendali keluarga Suharto dan kroninya jelang tahun penutup abad 20. Tapi dengan separuh kekuasaan beralih ke Keluarga Cendana, ekspansi bisnis Astra malah makin masif. Pada titik ini, strategi bisnis baru pun diambil. Demi mengurangi ketergantungannya pada pasar otomotif, Astra memperluas ke berbagai bidang, yang antara lain membeli sejumlah perkebunan sawit, teh, karet, kakao, dan  merambah sektor telekomunikasi di 1995.

Sayang, ekspansi Astra itu justru telah menempatkannya dalam pusaran utang. Runtuhnya perekonomian kawasan Asia dan devaluasi drastis rupiah membuat Astra tidak mampu lagi melunasi utang luar negeri senilai USD 2 miliar yang kebetulan sudah jatuh tempo. Saat bersamaan, Indonesia tengah tergelincir ke dalam resesi, memangkas barang impor termasuk untuk industri otomotif, dan menenggelamkan Astra ke dalam kerugian sekitar USD 200 juta di 1998.

Di era kegelapan ekonomi Indonesia itu, 45 persen saham Astra akhirnya disita negara seturut penggulingan Soeharto. Untuk mengurangi beban utang luar negerinya, setahun kemudian negara berusaha menjualnya ke Newbridge & Gilbert. Namun, akuisisi oleh perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat itu gagal.

Pemerintah, melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ketika itu, belakangan menemukan pelamar baru untuk Astra. Di tahun 2000, 40 persen saham Astra resmi milik Jardine Strategic Holdings Hong Kong lewat perusahaannya Cycle & Carriage Ltd yang berkantor di Singapura itu. Saat ini, perusahaan yang sejatinya sudah membuat beberapa penawaran selama tahun 1990-an itu memegang mayoritas saham Astra sebesar 50,11 persen sejak 2018 lalu, sementara saham sisanya dimilki masyarakat.

Hari-hari ini, betul William dan keluarga sudah tak lagi menjadi pengendali Astra. Tapi, tak ada yang bisa memungkiri bahwa berkat keringat dan dedikasi sosok yang tak punya foto pernikahan itulah Astra bisa melesat hingga sejauh ini.