Persaingan Sengit Kompetisi Streaming Audio (Spotify, Apple Music, Joox)

Date:

[Waktu baca: 6 menit]

Industri music on demand atau layanan music/audio streaming berbayar menjadi salah satu lini industri yang cukup berkembang selama pandemi, sama seperti layanan subscription video on demand (SVOD) yang sudah sempat kami kupas sebelumnya di sini: Bagaimana Masa Depan Video on Demand (Netflix, Vidio, VIU) Pasca Pandemi?  

Dinamika yang dialami oleh industri audio streaming pun relatif tidak jauh berbeda dibandingkan dengan layanan SVOD, kendati tentu industri ini tetap memiliki ciri pembeda. Oleh karena itu, kekhawatiran yang sama seperti pada SVOD juga berlaku untuk layanan audio streaming.

Pertanyaannya serupa, apakah setelah peningkatan bisnis yang signifikan selama pandemi, layanan audio streaming masih bakal mampu menikmati tren pertumbuhan serupa setelah pandemi berlalu?

Peningkatan permintaan terhadap layanan audio streaming terkonfirmasi oleh hasil riset oleh Counterpoint Research. Seiring meningkatnya waktu yang dihabiskan masyarakat di rumah, permintaan terhadap layanan-layanan hiburan digital pun meningkat.

Pada kuartal pertama 2020, yakni ketika pandemi mulai merebak secara global dan banyak negara memberlakukan lockdown atau pembatasan sosial, jumlah langganan audio streaming secara global naik 35% menjadi 394 juta.

Covid-19 dikonfirmasi menjadi faktor utamanya. Selain itu, momentum yang dihadirkan oleh pandemi dimanfaatkan dengan cukup baik oleh berbagai platform aplikasi audio streaming dengan memberikan promo free trials dan diskon biaya langganan.

Selain itu, perkembangan podcast sebagai alternatif produk selain musik atau lagu pada layanan audio streaming menjadi daya pikat tersendiri yang menyebabkan banyak pengguna mulai mencoba layanan audio streaming.

Hal ini tidak terlepas pula dari perubahan tren konsumsi audio streaming yang semula terjadi di kendaraan atau moda transportasi publik sepanjang perjalanan, kini beralih ke rumah. Selain layanan podcast, audio meditasi, motivasi, relaksasi, juga turut menjamur dan banyak peminatnya.   

Riset tersebut juga menemukan bahwa pertumbuhan pengguna aktif bulanan pada saat yang sama justru lebih rendah, yakni 20% yoy. Itu artinya, peningkatan langganan audio streaming justru kebanyakan berasal dari pengguna yang melakukan upgrade dari semula pengguna layanan gratis menjadi berbayar.

“Ini juga mengindikasikan bahwa relatif sulit untuk membawa masuk pengguna ke dalam sistem, tetapi segera setelah mereka mencobanya, relatif mudah untuk membuat mereka melakukan upgrade,” ungkap Abhilas Kumar, analis Counterpoint.

Di antara banyaknya penyedia jasa audio streaming, Spotify masih menjadi juaranya, yakni dengan pangsa pasar pendapatan sebesar 30% dan pelanggan 33%. Di posisi kedua ada Aplle Music dengan pangsa pasar pendapatan 25% dan pelanggan 21%.

Sementara itu, di posisi ketiga ada Amazon Music dengan pangsa pasar pendapatan 12%, setelah pelanggannya tumbuh 104% yoy.

Counterpoint lalu melakukan update atas risetnya pada kuartal kedua 2020. Hasilnya, pertumbuhan permintaan layanan music streaming mulai melambat. Dibandingkan dengan kuartal sebelumnya, pendapatan industri ini turun 2% quarter on quarter (qoq) menjadi US$6,7 miliar.

Ini adalah penurunan pertama yang terjadi secara qoq di industri ini. Kendati demikian, nilai tersebut masih bertumbuh jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 13% year on year (yoy).

Sementara itu, jumlah pelanggan juga hanya tumbuh 29% yoy, lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang mencapai 35% yoy. Meskipun begitu, ini masih merupakan tingkat pertumbuhan yang tinggi. Jumlah pelanggan layanan audio streaming kini tembus 400 juta pelanggan.

Ada beberapa hal yang dapat menjelaskan fenomena penurunan ini. Pertama, makin banyak platform yang memberikan diskon guna menarik pengguna baru, mumpung lockdown masih banyak diberlakukan.

Penurunan harga juga dilakukan demi mencegah pelanggan yang sudah ada tidak meninggalkan layanan mereka atau beralih ke layanan gratisan.

Kedua, pendapatan dari iklan juga menurun, seiring dengan kinerja perusahaan-perusahaan pengiklan yang melemah selama pandemi.

Counterpoint mengamati bahwa mulai akhir Juni 2020, tingkat pertumbuhan di industri ini mulai kembali seperti sebelumnya. Lembaga riset ini meyakini bahwa pada kuartal terakhir 2020, tingkat pertumbuhan industri ini sudah kembali ke level sebelum Covid-19.

Sayangnya, Counterpoint belum merilis riset terbaru lagi setelah periode kuartal kedua 2020.

Masih Ada Harapan

Meskipun demikian, prospek di industri ini bukannya tanpa harapan. Lembaga riset lain, yakni Grand View Research mencatat pangsa pasar industri music streaming global pada 2019 mencapai US$20,9 miliar, sedangkan pada 2020 hingga 2027 akan tumbuh rata-rata 17,8% per tahun.

Adapun, proyeksi nilai pasar tersebut mencakup audio musik, podcast, dan video musik. Proyeksi peningkatan ini tidak terlepas dari makin meluasnya penetrasi smartphone dan internet secara global, serta bertambahnya pemain baru dan peralihan tren konsumsi musik global.

Selain itu, perkembangan internet menuju generasi baru 5G bakal secara signifikan menentukan masa depan industri ini. Tren-tren baru seperti live streaming dan broadcasting, serta virtual reality music live show juga akan menjadi pendorong pertumbuhan.

Sementara itu, riset lain dari International Federation of the Phonographic Industry (IFPI) menunjukkan bahwa sepanjang 2020 pendapatan industri musik global mencapai US$21,6 miliar, tumbuh 7,4% yoy. Sebagian besar pendapatan tersebut berasal dari layanan audio streaming berlangganan.

Pendapatan dari layanan music streaming naik 19,9% yoy menjadi US$13,4 miliar, dengan pendorong utamanya dari layanan music streaming berbayar yang tumbuh 18,5% yoy. Pendapatan dari segmen ini berkontribusi sebesar 62,1% terhadap total pendapatan industri musik global.

Secara total, jumlah pelanggan berbayar secara global sudah mencapai 443 juta akun.

Sementara itu, pendapatan dari download berbayar dan digital lainnya turun 15,7% yoy, sedangkan khusus download berbayar turun 17,3% menjadi US$1,2 miliar. Kontribusinya secara total kurang dari 6% terhadap pendapatan industri musik.

Pendapatan dari penjualan fisik seperti CD dan vinyl, turun 4,7% menjadi US$4,2 miliar. Adapun, pada 2019 pun pendapatan di segmen ini turun 5,3% yoy. Penjualan CD pada 2020 turun 11,9% yoy, sedangkan vinyl masih tumbuh cukup tinggi hingga 23,5% yoy.

Selanjutnya, pendapatan dari penampilan publik dan konser turun 10,1% yoy, sedangkan pendapatan dari sinkronisasi (penggunaan musik untuk iklan, film, games, dan televisi) turun 9,4% yoy.

Ini tidak terlepas dari faktor pandemi yang mengharuskan pembatasan aktivitas fisik, serta penundaan produksi akibat pembatasan jam kerja dan kapasitas kantor.

Berikut ini komposisi sumber pendapatan industri musik global sepanjang 2020 :

 

Dari sini terlihat bahwa music streaming berlangganan kini menjadi sumber pendapatan utama pelaku industri musik global. Kondisi pandemi telah menggeser cara orang menikmati musik dan tren ini masih berkembang.

Oleh karena itu, peluang di industri ini pun masih sangat terbuka, kendati hingga kini mereka masih terus mencari model bisnis yang tepat guna dapat membukukan keuntungan.

Sebagai gambaran, pendapatan Spotify pada 2020 mencapai EUR7,88 miliar, naik 16,5% yoy dari tahun sebelumnya EUR6,76. Namun, perusahaan ini masih membukukan kerugian sebesar EUR518 juta, membengkak 178,5% yoy dari kerugian tahun 2019 yang hanya EUR186 juta.

Kendati demikian, pada kuartal pertama tahun ini, Spotify sudah membukukan laba sebesar EUR23 juta. Namun, belum dapat dipastikan kinerja ini bakal konsisten hingga akhir tahun nanti. Kinerja lengkapnya dapat dicek di Investing.com.

Kendati tren konsumsi musik sudah beralih ke layanan streaming, tetapi tidak mudah bagi pemain di industri penyedia platform over the top (OTT) audio streaming untuk dapat memberikan tingkat harga langganan yang layak.

Pendapatan yang mereka terima dari biaya langganan dan iklan belum cukup untuk mengimbangi biaya operasional, terutama royalty. Namun, tidak mudah untuk menaikkan harga langganan begitu saja, tanpa risiko kehilangan pelanggan.

Apalagi, saat ini layanan musik gratis seperti dari YouTube juga sudah mudah diakses. Belum lagi situs-situs bajakan yang memberikan akses download gratis yang kian menurunkan motivasi pengguna untuk membayar mahal demi menikmati musik.

Bagaimana dengan Indonesia?

Sama seperti di pasar global, potensi bisnis di layanan audio streaming Indonesia juga tentu menjanjikan. Apalagi, Indonesia memiliki jumlah penduduk yang tinggi dengan kelas menengah yang terus meningkat.

Selain itu, pengguna internet di Indonesia pun kini makin berkembang, terutama sejak pandemi mulai merebak. Hal ini bakal kian mengakselerasi pertumbuhan pengguna aneka layanan digital di masa mendatang.

Berdasarkan riset dari Statista.com, pendapatan di industri music streaming di Indonesia tahun ini diperkirakan mencapai US$217 juta, atau sekitar Rp3 triliun dengan kurs Rp14.000 per dolar AS. Nilai ini tumbuh sekitar 19,4% dibandingkan tahun sebelumnya.

Statista juga memperkirakan pertumbuhan rata-rata untuk periode 2021 hingga 2025 pada industri ini akan mencapai sekitar 10,92% per tahun dengan nilai pendapatan mencapai US$328 juta pada 2025.

Sementara itu, dari sisi penetrasi pasar tahun ini diperkirakan akan mencapai 6,3%, sedangkan pada 2025 akan mencapai 8,6%. Rata-rata pendapatan per pengguna (ARPU) diperkirakan mencapai US$12,38 atau Rp173.000.

Riset ini hanya menghitung kinerja dari layanan music streaming berbayar atau yang pendapatannya berbasiskan biaya langganan, bukan yang berbasis iklan. Riset ini juga tidak mengikutsertakan layanan video music streaming seperti YouTube.

Jelas, potensi bisnis layanan music streaming di Indonesia sangat besar. Namun, pemain di industri ini sudah cukup banyak dan sejauh ini persaingannya cukup sengit. Indonesia memiliki platform Langit Musik, tetapi pemain global seperti Spotify, Apple Music, Guvera, Joox, sudah ikut menyerbu.

Dengan tren pertumbuhan pengguna yang terlihat segera melambat setelah memuncak pada kuartal pertama 2020, terlihat jelas bahwa tantangan di industri ini sama sekali tidak mudah.

Tags: